Aku semakin terkejut mendengarnya. Freza berkata manis dan romantis? Setan apa yang telah merasukinya?
Freza menatapku sambil tersenyum. Sial! Mengapa dia terlihat sangat tampan sekarang!? Aku hampir jatuh dalam pesonanya.
Kedua pipiku merona merah, membuatku memalingkan wajah ke arah lain enggan menatap Freza. Hingga saat kurasakan sebuah tangan meraih tanganku, mataku menatapnya.
Freza tersenyum kembali dan segera menarik tanganku. Aku terjatuh dalam pangkuannya, wajah kami begitu dekat.
Aku tertegun cukup lama, kupandangi wajah tampan Freza membuat pria itu berbicara. "Gue tahu gue tampan tapi gak usah ditatap gitu juga."
Freza sialan! Dia berkali-kali membuatku malu, dan sekarang aku terduduk diam di pangkuannya.
"Kok diem?" tanya Freza. "Enak ya duduk diem di pangkuan orang ganteng?" imbuhnya kemudian membuatku meringis. Fiks, Freza minta dihajar.
Aku berniat untuk bangkit dan pergi, tetapi dengan segera Freza memeluk pinggang ku. Menahan agar aku tak pergi dan tetap diam.
"Lepas!" Bukan diriku namanya jika tidak keras kepala. Aku sudah terlalu malu karena Freza yang mengejekku daritadi. Untuk kali ini saja, biarkan aku membantah ucapannya.
Aku tak bisa membiarkannya terlalu jauh. Diri ini terlalu takut jatuh dan terbuai, dalam kelembutan Freza.
"Jangan pergi, ayo ikut! Kita kan mau bulan madu," ajak Freza lagi-lagi membuatku tersipu malu.
Tidak tahu jika Freza ternyata bisa romantis juga, dari pertama menikah belum pernah Freza berkata seperti ini padaku.
Batinku terus mengutuk Freza. Pria menyebalkan itu kini telah berubah menjadi pria romantis. Dan aku tidak menginginkannya!
Freza membawaku ke sebuah kamar yang terletak di lantai paling atas. Terbukti kami yang cukup lama menunggu di lift.
Kedua mataku berbinar takjub, kamar ini begitu luas dan megah. Satu tempat tidur diletakkan di tengah kamar.
Sebuah figura yang seukuran dengan tinggi badanku membuat kaget saja. Pasalnya figura itu menampakkan jelas foto pernikahan kami. Sejak kapan foto itu di sini? Ukurannya begitu besar, aku sempat tak percaya dengan penglihatanku.
Sulit dipercaya jika Freza benar-benar merencanakan hal ini. Ada apa dengan pria itu? Bertingkah sangat berbeda dari biasanya. Membuat orang lain kebingungan saja.
Apakah Freza tengah mempermainkanku? Ntahlah. Aku masih merasa Freza tak benar-benar serius. Walaupun bukti nyata sudah kulihat, aku tak bisa mempercayainya 100%.
"Enak banget ya duduk di pangkuan gue? Ya sebenernya boleh aja sih tapi kaki gue ntar pegel," Kulayangkan tatapan tajam untuk Freza. Lihatlah si pelaku hanya tertawa.
Segera aku bangkit kemudian berjalan menjauh, dia masih mempertahankan tawanya membuatku kesal saja. Aku pergi dari tempatku berdiri, meninggalkan Freza yang lantas berbincang dengan asistennya.
Kakiku melangkah menuju balkon, tepat saat pintu kaca ini dibuka, tiupan angin membelai lembut wajah serta tubuhku.
Kedua mataku membulat sempurna, pemandangan di depan mata sangatlah indah. Tak heran mengapa villa ini begitu terkenal, banyak sekali orang yang beramai-ramai datang dan menginap di sini.
Pepohonan yang rimbun dan hijau, serta langit biru yang membentang luas. Pemandangan ini benar-benar menyejukkan mata, semua beban di pundak seketika menghilang kala melihatnya.
Entah sudah berapa kali aku menghembuskan napas lega. Rasa-rasanya aku ingin tinggal di sini lebih lama. Menghabiskan waktu hanya untuk mengagumi ciptaan-Nya.
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara Freza di belakang. Dengan malas aku berbalik dan menatap datar pria di depanku.
"Lo seneng gak sama tempat ini?" Bukannya menjawab aku memilih diam. Iya, aku lebih memilih menelaah wajah Freza. Pikiranku melayang, masih menjadi misteri mengapa sikap Freza berubah drastis.
"Gue tahu gue ganteng. Lo jangan natep gue kek gitu juga kali, " sungut Freza tak suka aku menatapnya.
Aku berdecak kesal mendengarnya, Freza memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi. Bagus sih, tetapi ya gak terlalu tinggi juga. Kan aneh orang muji dirinya sendiri.
"Ya iyalah ganteng, lo kan cowok. Kali gue panggil cantik, waria dong!" Ucapanku berhasil membuat Freza terbungkam diam.
Aku berhasil membalaskan dendam., siapa suruh mengangguk kan kena batunya! Aku terkekeh geli melihat Freza yang melipat wajahnya tak terima.
Freza mendorong kursi rodanya mendekatiku, dia memilih bersanding denganku di samping kiri tubuhku. Terdiam cukup lama sebelum berkata, "Jadi ya kita bulan madu,"
Aku terke siap, "Lo yakin? Serius deh gue gak paham sama kode lo, Za. Sebenernya lo mau ngomong apa sih?" Jujur saja aku tak mengerti dengan sikap Freza. Lebih tepatnya, aku berusaha menyangkal jika Freza sudah berubah.
Diri ini masih tidak percaya dengan semua tingkah laku Freza. Si pelaku hanya tertawa renyah sebelum sorot matanya menatapku lembut. Fiks, Freza ingin membuatku gila.
"Iya gue serius lah. Malam ini kita bakal berbulan madu, lo jangan kaget kayak gitu, emang aneh apa pengantin baru berbulan madu, hm? Reaksi lo seakan gue pria hidung belang," tutur Freza membuatku menganga.
Sungguh di luar dugaan Freza mengatakan hal ini. Rasanya seperti mimpi, pria yang menolakku mentah-mentah saat malam pertama, kini mengajakku berbulan madu romantis?
Kupijat pelipis kepalaku lembut, rasanya sangat pusing karena memikirkan Freza. "Iya tapi kenapa? Maksud gue kenapa tiba-tiba kek gini? Kalau gue nggak amnesia, lo tuh nolak nyentuh gue dulu, tahu? Kok sekarang ngajak?"
Kugaruk tengkukku yang tidak gatal, aku merasa ambigu menanyakan hal ini pada Freza. Diri ini masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Freza.
Freza bersecak kesal, sepertinya dia kewalahan dengan kebodohanku. Ya itu konsekuensinya, karena bermain teka-teki denganku. "Kalau gue bilang gue suka lo, percaya kagak?"
Bagai disambar petir di siang hari, aku terdiam. Setelahnya tawahku pecah, pernyataan Freza sangatlah gila. Dia mengatakan hal yang tidak masuk akal, jangan sampai aku gila dibuatnya.
Kugelengkan kepala menolak, "Gak! Lo bohong kan, Za? Hahh iya lo bohong, sumpah gak lucu, tahu gak!"
Freza menggelengkan kepala tak mau kalah, dia menggeser posisi tubuhnya agar bisa berhadapan denganku. Tangannya yang kekar meraih tanganku, kemudian menggenggamnya lembut.
Tatapan Freza kian melembutkan, dia tersenyum menatapku. "Kalau gue bohong, gak mungkin gue ajak lo ke sini, Na. Gak mungkin juga gue siapin semuanya kalau gak serius," ucap Freza.
Aku terdiam cukup lama sebelum kesadaranku kembali. Dengan segera kulepas tangan Freza yang menggenggam tanganku. Kuputuskan untuk pergi dari sana, meninggalkan Freza-pria sejuta misteri.
Ya, aku tak mau terbuai akan kelembutan dan sikap romantisnya. Sejak malam itu aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak jatuh dalam sebuah perasaan.
Aku tidak mau jika kesalahan yang sama harus terulang kembali. Tak ada sesiapun yang dapat kupercaya selain diri sendiri.
Aku memilih untuk pergi ke taman, merenung atau sekedar melamun. Saat Freza mengatakan hal tadi, jujur aku nyaris mempercayainya. Jika saja ingatan kelam itu tidak muncul, aku akan mempercayai ucapan Freza.
Kupijat dengan lembut, hatiku berdebar tidak karuan. Ucapan Freza benar-benar membuatku gila, terus berputar dalam kepalaku. Ingatan di malam itu pun muncul, membuat tanganku bergemetar ketakutan karenanya.
Aku sangat takut sekarang, bagaimana aku mengatakan pada Freza jika diriku sudah tak suci lagi. Reaksi seperti apa yang akan diberikannya nanti? Apakah Freza akan membenciku? Atau apakah dia akan menceraikan ku?
Oh Tuhan, aku sangat kebingungan sekarang. Terlebih Freza mengatakan jika dia menyukaiku. Memang aku tidak mempercayainya di awal, tetapi ntah mengapa sekarang aku sulit untuk menyangkalnya.Freza telah membuatku menjadi orang gila dalam sekejap. Langkah seperti apa yang harus kuambil? Baru memikirkannya sudah membuatku lelah. Tidak tahu sudah berapa kali indra penciuman ku menarik napas panjang.Tiba-tiba kurasakan perut ini yang terasa sakit, aku baru sadar jika hari ini diriku belum makan sesuap nasi pun. Karena ibu Freza menyuruhku berangkat pagi datang ke kantor, membuatku melupakan sarapan.Saat di kantor pun aku tak makan apapun, dengan langkah kaki gontai aku berjalan pergi ke kamar pun. Walau hati ini sedari tadi berdegup tidak karuan, aku tetap memaksa pergi.Ketika sampai di depan pintu, ku tarik napas panjang. Tanganku meraih gagang pintu dan segera mendorongnya. Ku telusuri setiap sudut
Ingin rasanya memarahi pria labil itu. Namun, hatiku tak tega melihatnya, jelas sekali terlihat jika Freza tengah kecewa. Tidak tahu dia kecewa karena apa, tetapi dapat ku simpulkan masalah Freza sangatlah berat.Sampai kami di perjalanan pulang pun Freza tak mengajakky berbicara. Sungguh Menyebalkan! Aku tak menyukai suasana canggung seperti ini."Maaf." Aku tersentak, kutatap Freza yang tertunduk lesu. Cukup lama dia terdiam, hingga kepalanya berputar menatapku."Maaf, lo pasti nungguin gue semaleman?" tanya Freza.Aku terdiam sesaat sebelum taw aku pecah memenuhi mobil. "Ya kali gue nungguin lo, lagian kapan sih seorang Freza bisa serius?" tanyaku balik berusaha menutupi luka di hati.Kesalahan terbesarku adalah mudah percaya pada pria, yang berstatus suamiku sekarang. Apakah ini efek dari sebuah pernikahan? Mudah sekali aku percaya pada Freza.Makanya, aku mencoba berbohong pada Freza aku tidak m
Aku baru menyadarinya, sejak kedatanganku ke sini aku tak pernah melihat keberadaan Rista. Segera kubuka pintu dan menatap gadis, yang selama dua hari ini tak kujumpai dengan intens. Rista menundukan kepalanya, mengalihkan pandangannya untuk tidak beradu mata denganku. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, seolah ada sebuah perasaan tersirat yang ingin dia ucapkan padaku. "Kemana aja lo?" tanyaku penasaran. Tentu nadaku tidak ramah sama sekali, ntahlah aku tiba-tiba merasa kesal ketika Rista enggan menatapku. "Ma maaf, Nyonya. Dua hari ini Rista sibuk dengan tugas kampus. Banyak hal yang harus Rista siapkan, makanya Rista meminta cuci pada Tuan Freza. Beliau mengizinkan Rista, dengan syarat setelah ...." Rista menatapku yang tengah menatapnya balik. "Setelah apa?" Sungguh aku dibuat gila karena penasaran ini. Kenapa Rista menggantung ucapannya! Membuat sakit kepala orang saja. Rista kembali menundukan kepalanya, "Setelah Nyonya dan Tuan
Aku terdiam mematung mendengar seluruh sikap maupun ucapan Freza pada Rista. Perasaanku senang, Freza berarti memang benar peka. Tak perlu lagi aku khawatir, karena Freza membantuku. Rista menundukan kepalanya, wajahnya murung. Tangan kanannya terkepal kuat, aku tersenyum sinis melihatnya. Bisa dipastikan sekarang Rista sangat marah besar. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa. "Ba baik, Tuan," ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Freza berdua di kamar. Kutatap Rista sampai pintu benar-benar membuatnya hilang dari pandangan. Aku merasa sedikit jahat sekarang, tetapi itu lebih baik untuknya. Karena Freza tak menyukai Rista, jadi ku berusaha menyadarkannya untuk segera melupakan Freza."Ngapa lo? Seneng ya, tinggal kita berdua di sini?" Ucapan Freza berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak menjawabnya, lebih baik sekarang menatapnya. Apakah pria itu akan merasa tidak nyaman jika kutatap seperti ini? Dan jawabannya tidak!
"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak. Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku. "Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku. Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku. "Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi. Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar. Aku yang melihatnya menjadi bingung. "Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk memba
Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku. Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari. Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza. Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku. Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor. Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku. Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak mengham
"Apakah aku peduli?" tanyaku sambil memasang wajah datar menatap Freza. Sebenarnya diriku sedikit takut, tetapi aku merasa tertantang karena sikap Freza sudah cukup berbeda dari biasanya. Mungkin, ini akan menjadi hal yang sangat menarik bagiku. Freza berdecih kesal, "Baiklah, karena kamu istriku maka pijat bahu saya sekarang!" perintah Freza membuatku memelotot tajam. "Aku istrimu bukan pembantumu yang bisa seenaknya disuruh!" bantahku tidak terima. Akan tetapi bukan Freza namanya, dia menarik lenganku dan menyimpannya di bahu dirinya sendiri. "Ayo!" Aku mendengus kesal, kuturuti apa keinginannya. Sambil berpikir ada sesuatu hal yang berbeda di antara kami berdua. "Za, sejak kapan lo jadi ngomong formal gini sama gue?" tanyaku spontan ketika menyadari Freza menjadi lebih formal dari biasanya. "Suka hati lah, emang buat rugi kamu?" tanya Freza balik membuatku berdecih kesal. "Aneh tau gak? Lo biasanya gak bisa formal sekarang malah formal, dan ngapain juga lo nyuruh gue dateng
"Kalian berdua cukup hentikan!" pintaku menatap ke arah Freza dan Kak Alvian bergiliran. "Fiona, Kakak hanya ingin mengatakan padamu kalau Kakak suka sama kamu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tetapi Kakak benar-benar dengan perasaan Kakak terhadapmu," ucap Kak Alvian membuatku menatapnya tidak percaya. "Be benarkah?" tanyaku dibalas dengan anggukan dan senyuman tulus dari Kak Alvian. Freza menggertak gigi kesal, dia sampai memukul meja membuatku terkejut karena ulahnya yang tiba-tiba menjadi ganas seperti itu. "Saya akui keberanian anda menyatakan cinta pada istri saya di hadapan saya sendiri, tetapi anda perlu mengingat jika anda tengah menyatakan pada seorang istri atasan anda sendiri," tutur Freza membuat Kak Alvian menatapnya datar. Persaingan ini tiba-tiba sekali, mengapa mereka berdua memperebutkanku? Dan juga, aku baru mengetahui perasaan Kak Alvian yang sebenarnya. "Aku harus membawamu pergi dari sini, mari Sayang kita pergi dari sini. Ada banyak hal yang perlu kita
"Apa yang kau katakan!?" Segera kulepas genggaman tangannya.Aku tidak mengerti dengan Ardi yang tiba-tiba mengatakan seperti itu.Ardi menarik nafas panjang, dia menatapku dengan tatapan yang serius."Dengarkan aku dulu Fiona.""Aku benar mencintaimu, aku bahkan siap dengan masalalumu. Aku akan membesarkan anak yang tengah kau kandung dan mengatakan pada dunia jika dia adalah anakku.""Ardi cukup! Kau sudah gila apa!? Kita baru bertemu beberapa kali, aku mengikuti keinginanmu bukan berarti aku akan selalu setuju dengan apa yang kau katakan!""Aku memang sudah gila, apa kau lupa Fiona? Di restaurant ini adalah pertemuan pertama kita?" Ardi bertanya membuat dahiku mengernyit.Kutatap sekitar, perasaan familiar ini datang. Tiba-tiba aku teringat dengan masa laluku.Saat itu merupakan
Tatapanku menatap kosong ke depan. Pikiranku melayang kemana-mana, hari-hari yang begitu indah kini sudah terganti dengan hari kelam.Satu jam yang lalu Ardi mengantarkanku pulang. Kupikir aku akan diusir dari rumah, tetapi yang mengejutkan Freza menungguku.Dan seperti biasa dia memarahiku, tetapi diriku sudah kebal dengan amarahnya. Jadi aku sekarang bisa menganggapnya angin lalu.Ucapan Ardi waktu itu benar-benar membuatku membuka mataku dengan lebar."Dunia sangat kejam jika kita tidak menikmatinya. Ayolah, tidak semua ucapan orang harus kita dengar, karena untuk mereka kita adalah tokoh sampingan, pun sama dengan kita."Aku tersenyum ketika mengingat Ardi mengatakannya dengan penuh percaya diri. Sulit untuk kupercaya, melihat dirinya sudah memiliki banyak skandal. Dan mungkin aku akan menjadi salah satu bagian dari skandalnya itu.&
Freza menatapku dengan tersenyum picik, dia berdiri kemudian mendorong kursi rodanya mendekat padaku. "Apa maksud lo, hah?" Kulempar koran tadi tepat mengenai wajahnya. Aku benar-benar muak, memangnya tidak cukup jika aku hanya digunjing oleh orang-orang di sekitar kita? Kenapa harus melibatkan media juga? "Emang kenyataannya kan? Kalau lo selingkuh dari gue! Kenapa lo harus marah?" Aku terdiam, benar-benar Freza sudah melampaui batasnya. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku tidak memiliki apapun. Lebih baik aku memilih pergi, enggan untuk berdebat dengan Freza. Akan tetapi Freza segera menarik tanganku, hingga aku menatap ke belakang."Lepas!" Kulempar tangan Freza yang mengenggam tanganku erat. "Bener ya kalau tampang baik gak selamanya baik. Kayak lo, yang sering main di belakang gue!" tutur Freza dengan rahang yang menegas. Aku tersenyum mendengarnya, "Gue gak peduli sama yang lo pikirin. Dan satu hal lagi, lo gak perlu nyewa anak buah buat gertak gue. Gak ada
Aku memilih untuk pergi ke sebuah butik, kemarin sebelum aku pergi ke hotel. Sempat aku bawa beberapa kartu ATM yang diberikan oleh Freza padaku. Hari ini aku berniat untuk membeli beberapa pakaian yang akan kupakai nanti di undangan malam ini. Cukup lama aku mencari gaun yang cocok untuk kugunakan. Ketika sedang fokus berpikir, aku mendengar seseorang yang berbicara di sampingku. Lirikanku berubah untuk menatap seorang pria. "Kenapa?" tanyaku ketika melihat pria itu menatapku dengan tersenyum. "Anda memiliki wajah yang begitu cantik, dan tubuh yang begitu indah," tuturnya membuatku membulatkan kedua mata. Kupeluk diriku dan segera menjauh, ingin sekali aku menampar pria di depanku ini. Dia begitu sembarangan dengan memuji diriku yang tidak dikenalinya. Dan parahnya, dia menatap seluruh tubuhku. Pria itu tertawa, "Maaf, saya tidak suka memaksa wanita. Apakah ada gaun yang anda sukai?" tanyanya kembali. Aku terdiam
Malam ini aku memilih untuk tidak pulang ke rumah, aku menginap di hotel tempat aku dengan Freza datang dulu. Sebelumnya aku takut dengan tempat ini, tetapi ketika Freza membawaku ke sini dan mulai bersikap lembut padaku, membuatku tidak takut untuk datang ke sini lagi. Tempat ini merupakan tempat yang membuatku kehilangan kesucianku. Ya, malam itu adikku yang membawaku ke hotel ini dan seorang pria yang merenggut kesucianku. Aku benar-benar benci ketika mengingatnya, apalagi karena ulah mereka kini aku harus mendapat bencananya. Cukup lama aku terdiam di kamar, hanya keheningan yang menemaniku malam ini. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Suara langkah kaki itu benar-benar nyata dan semakin dekat. Aku terkejut, segera aku bersembunyi di dalam lemari. Beruntungnya lampu di kamar itu sedikit pencahayaannya, sehingga membantuku untuk menyembunyikan diriku. Samar-samar aku mendengar suara pria yang begitu akrab dengan telingaku. Wajahku men
Sudah dua hari lamanya dari obrolanku dengan Freza di ruang kerjanya. Sejak saat itu aku sudah tidak menemui Freza, bahkan ketika kami berpapasan kita berdua seperti orang asing. Hatiku benar-benar hancur melihat sikap acuh Freza. Bahkan ketika aku berada di kantor, semua orang menghinaku dengan tanpa rasa malu. Dan aku hanya bisa diam saja, aku pergi ke kantor untuk menunaikan janjiku pada Mama. Namun yang kudapatkan hanya sebuah kesia-siaan. Seperti hari ini, aku memilih untuk diam di atap kantor sendirian di sana. Menikmati angin sejuk yang menyapu seluruh kulit. "Nyonya," seseorang memanggil membuatku melihatnya. Seorang pria menunduk hormat, membuatku menatapnya dengan tatapan bingung. "Nyonya, maaf tapi Anda diundang untuk datang ke acara pesta aniversary pernikahan temannya tuan. Saya diperintahkan untuk menyampaikannya kepada nyonya," ucapnya dengan tegas. Aku terdiam, "Siapa yang menyuruhmu?" tanyaku.
Hari ini begitu melelahkan, sejauh ini aku tidak bisa bertemu dengan Freza. Pria itu sedari tadi menghindar dariku, padahal aku ingin berbicara padanya. Terakhir kali kami bertemu ketika dia akan pergi rapat. Aku ingin meminta waktunya sebentar, tetapi Freza menolak. Bahkan, ketika aku menunggunya keluar Freza tetap bersikukuh tidak mau bertemu denganku. Hari berjalan dengan cepat, tidak terasa ini sudah malam dan aku tidak melihat Freza keluar dari kantornya. Aku menunggu sambil bersembunyi, rencanaku tepat ketika Freza masuk ke dalam mobil, aku akan menyelinap masuk. Akan tetapi, sudah sampai jam sembilan aku tidak melihatnya. Hingga aku bertanya pada salah seorang satpam, mengenai keberadaan Freza. "Pak, apakah Pak Freza sudah pulang?" tanyaku langsung mendapat anggukan darinya. Aku benar-benar terkejut ketika mengetahui jika Freza sudah pulang. Hatiku bertanya, kapan dia pulang? Dan lewat apa? Perasa
Pagi ini aku sarapan sendiri, Mama dan Papa sudah pergi keluar kota. Karena proyek Papa, mengharuskan Mama berada di sampingnya. Untuk menjaga kesehatan dan asupan gizi yang masuk. Pantas saja Mama selalu menyuruhku untuk pergi ke kantor Freza. Ternyata memang sudah menjadi kebiasaan dan aturan di keluarga ini. Yah, aku tidak terlalu terkejut. Karena tradisi itu dilakukan agar kita sebagai seorang istri tidak suntuk di rumah terus. Aku tidak melihat Freza sejak tadi malam. Sebelumnya asistennya Freza datang padaku, dan mengatakan agar aku tidak pergi ke kantor. Hatiku sakit mendengar pesan yang disampaikan Freza padaku. Namun, ada hal aneh. Kupikir jika tadi asisten Freza akan memberiku surat cerai, tetapi nyatanya tidak. Apakah itu berarti Freza batal menceraikanku? Ntahlah, yang jelas sekarang aku harus bisa berbicara dan menceritakan yang sebenarnya pada Freza. Aku tidak mau hidup digantung seperti ini. Jika, F
Mama membawaku pulang ke rumah. Mama mengatakan jika Papa datang berdua dengan Freza ke acara tadi. Aku sedikit lega karena ternyata kedua mertuaku sudah tahu tentang situasiku. Hampir satu jam aku mengadu nasibku pada Mama. Rasanya begitu lega, seluruh beban yang kupikirkan langsung menghilang begitu saja. "Sayang, jika Freza mengatakan apapun jangan kamu dengarkan. Tidurlah di kamarmu sendiri, jika Freza mengusirku, maka beritahu Mama biar Mama langsung mengusir Freza pergi," ucapnya membuatku terkekeh geli. Mama yang melihatnya menatapku dengan bingung. "Apa ada yang lucu?" tanyanya membuatku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Bukan begitu, Ma. Mama begitu memperhatikanku melebihi perhatian seorang mertua untuk menantunya," balasku dengan canggung. "Tidak Sayang, Freza sudah puas dengan kasih sayang Mama. Bahkan terkadang dia muak menerima kasih sayang Mama yang begitu besar ini. Makanya, ketika kamu datang Mama begi