Perawat-perawat dengan berbaju putih tengah berseliweran di rumah sakit.“Mbak, di manakah Mas Beryl?” Tanya Ernasari pada Ririn.Ririn memandang Ernasari yang terlihat lemah dan tak berdaya. Pandangan Ririn kosong menatap seluruh langit-langit ruangan.“Tak lama lagi dia datang. Iya, tak lama lagi dia datang,” jawab Ririn pada Ernasari.Mata Ernasari kembali terpejam. Dokter memeriksa kembali nadinya. Saat itu Ernasari berada di kamar rumah sakit yang keseluruhan dicat berwarna putih. Ernasari sedang menunggu detik-detik kelahiran anaknya. Tubuh Ernasari masih sangat lemah karena sempat mengalami krisis.“Bagaimanakah keadaannya?” bisik ayah Ernasari kepada istrinya.Ibu Ernasari
Ririn masih termangu-mangu. Sementara matahari sudah mencapai titik kulminasi dan membakar ubun-ubun. Mata Ririn masih merembes sebuah kesedihan. Ririn masih menatap gundukan tanah merah di depannya. Gundukan tanah merah yang tertuliskan nama Ernasari. Ernasari tak selamat dalam menjalani sebuah persalinan. Ernasari yang selama ini telah menjadi pasien Ririn, pasien yang selalu berkonsultasi di bironya. Dan, kini perjalanan Ernasari telah berakhir.Segumpal duri telah mengganjal di antara lekuk daging kehidupan Beryl. Saat pintu rumah itu harus terhempas keras, itu sama artinya dengan sebuah kenyerian yang menyerang relung dada Beryl. Beryl kembali menelan salivanya yang terasa begitu getir. Beryl menghela nafas dengan tersendat. Beryl masih mengawasi pintu rumah itu, k
Beryl jadi membayangkan ada titik air yang jatuh di ujung hidung gadis itu. Ataukah itu keringat? Ingatan Beryl melayang pada bus kota yang di dalamnya pengap, karena jendela yang tertutup dan manusia-manusia yang berjubel.Beryl kembali membayangkan mata yang teduh dari seorang gadis. Mata teduh yang sayangnya harus naik di dalam bus kota yang berjubel dengan sopir yang ugal-ugalan dalam mengharmoniskan antara kopling dengan gas.Brengsek memang! Rasa-rasanya Beryl pernah bertemu dengan gadis yang ada dalam bayangannya. Tapi di mana? Rasa-rasanya tidak asing dengan mata teduh yang dibayangkannya.Di depan mobil Beryl, terlihat sebuah bus menyentak keras. Itu pasti ulah dari sopir yang ugal-ugalan. Pasti, jika di dalam bus itu ada seorang gadis sep
“Kapan-kapan aku akan datang ke rumah Mirna,” Beryl hanya bergumam.Bus yang melaju di depan mobil Beryl terlihat terguncang. Gadis di dalam bus itu tampak terseok-seok. Tumbuhnya masih terhimpit oleh dua lelaki muda yang ada di sampingnya.“Maaf,” desis salah seorang lelaki muda itu.Leher gadis itu tampak berpeluh, namun peluh itu tetap dibiarkannya karena kedua tangannya sedang berguna semua. Satu tangannya digunakan untuk menenteng tas, sedang tangan yang satunya berpegangan pada besi yang ada di bagian atap bus.Rambut gadis itu pasti harum. Dan, Beryl teringat pada Mirna, mantan pacar kakaknya Lidya. Barangkali sampo yang digunakannya satu jenis. Beryl jadi teringat pernah memeluk dan melumat Mirna di
“Lalu siapakah gadis itu?” Tanya Beryl“Lalu bagaimana aku tahu? Apakah dia seorang PSK? Atau penyanyi di club malam?”“Ah,” Beryl kembali mengeluh.“Atau mungkin dia pelacur high-class? Siapa pula yang tahu?”Dada Beryl terasa tersentak.“Ah, kenapa aku harus main-main dengan pertanyaanku sendiri?” batin Beryl.“Tapi, siapa tahu memang? Ini kota Surabaya, kota metropolitan nomor dua di Indonesia. Apa pun di kota yang besar ini bisa terjadi. Apa pun juga bisa dilakukan. Orang yang dari segi penampilannya baik dan meyakinkan, punya penghasilan besar, sangat mungkin sekali menjadi wanita panggilan atau mungkin menjadi laki-laki simpanan tante-tante. Per
“Kemana ya aku sekarang?” Tanya Beryl padi dirinya sendiri.“Yah, kemana sajalah. Yang penting bisa menghibur diri,” kata Beryl yang tanpa semangat.Malam itu Beryl memang tak punya keinginan apa-apa. Dia tak ingin melakukan apa pun. Beryl tak pernah lupa, apa yang dia lakukan di hari-hari lalu. Dia juga ingat apa yang dulu selalu diperbuatnya jika malam begini. Beryl selalu datang ke tempat-tempat yang bisa menjanjikan kesenangan bagi seorang lelaki.Selain untuk urusan kuliah dan juga urusan kerja, juga Beryl biasa pergi ke rumah yang dihuni oleh perempuan-perempuan yang menjajakan kecantikan di dunia nyata. Pun jika tidak seperti itu, Beryl biasa mendatangi para perempuan di dunia maya lewat media sosial. Melakukan hubungan la
“Kalau misalnya, Mas mau tiduran. Tidur aja di atas ranjang. Cukup bayar biaya sewa kamar.” Bisik Louis di telinga Beryl.Beryl menatap mata Louis. Mata perempuan itu menyorotkan kesungguhan.“Kalau Mas tidak akan menggunakan saya, saya akan melayani laki-laki itu. Sudah beberapa kali saya melayaninya. Meskipun sesungguhnya saya sangat tidak menyukainya.” Kata Louis sambil menunjuk ke arah laki-laki yang dimaksud.Beryl melirik ke arah laki-laki yang dimaksud oleh Louis. Laki-laki yang berkulit hitam dengan tubuh besar. Sangat mengerikan. Sangat berlawanan dengan Louis yang bertubuh mungil dan kecil. Laki-laki bertubuh hitam dan besar itu sudah berkali-kali mengarahkan pandangan ke arah Louis. Seleranya benar-benar aneh.
Beryl tiba-tiba jadi ingat pada gadis yang dilihatnya di dalam bus sepanjang siang tadi. Bibir gadis itu juga sebagus bibir Louis. Hanya, mungkin bibir gadis di dalam bus tadi lebih orisinil. Bukan bibir yang bisa disinggahi oleh banyak laki-laki secara kolektif.“Perempuan yang kini terbaring di sampingku ini sesungguhnya masih sangat muda,” batin Beryl.“Sepantasnya perempuan ini masih asyik untuk pacaran. Seusianya masih pantas dengan cinta monyet. Harusnya masih dalam masa-masa melamun. Seandainya berciuman pun masih harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,” pikir Beryl.Tapi, Louis telah melompati masa-masa yang dipikirkan oleh Beryl. Louis harus hidup dengan cara yang lain. Harus hidup dengan dunianya saat ini. Dunia
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang