"Lihat di sana!" Jamelah menunjuk atas pagar. Tingginya sekitar 210 meter, dan di atas pagar tembok itu, tertancap banyak pecahan beling yang sudah berlumut. "Naiklah ke punggung saya, Anda bisa melihat apa yang terjadi di sana!""Apa kamu pikir aku akan menginjak-injak seorang gadis?" Junaedi berjongkok. "Kamu yang naik!" perintahnya."Baiklah!"Jamelah pun memanjat bahu Junaedi, dengan bantuan sisi pinggir tembok gadis itu bisa menjaga keseimbangannya dengan baik. Dia menjumpai di teras depan dalam bangunan itu, tergantung sekitar sepuluh ekor kucing telah bersih tanpa bulu. Tampak di bagian leher, terdapat bekas sembelihan.Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya pada suatu ruangan dengan pintu yang terbuat dari palstik, di sisi kucing-kucing yang tergantung itu. Matanya menyipit. Tiba-tiba, pria yang mereka ikuti tadi keluar dari balik pintu itu dengan menenteng lima ekor kucing yang telah di sembelih, tapi bulu-bulunya belum dibersihkan."Astaga! Pemandangan macam apa ini?" g
"Bau asap!" ucap Junaedi dengan alis terangkat dan dahi berkerut sembari mengibas-kibaskan tangannya di depan wajahnya."Seseorang membakar ruangan ini!" sahut Jamelah.Braak! Braaak!Junaedi mencoba mendobrak pintu plastik ruangan tersebut agar mereka bisa keluar. Namun, Jamelah menyadari bahwa pintu tersebut akan segera meleleh dan menimpa Junaedi."Awas!" Jamelah sontak menarik mundur lengan Junaedi hingga beberapa langkah.Bruuk!Pintu plastik tersebut ambruk meleleh dengan api membumbung. Ruangan kedap suara yang terbuat dari lapisan greenwool, membuat api cepat menyebar karena greenwool mudah terbakar. Seketika, ruangan itu pun dipenuhi oleh api. Lelehan demi lelehan greenwool terjatuh menghujani mereka."Hati-hati!" ucap Junaedi menggenggam erat tangan Jamelah.Mereka melangkah melewati pintu yang sudah meleleh dan keluar dari ruangan tersebut. Saat mereka sudah keluar, mereka mendapati pria yang mereka ikat di sebuah tiang, telah gosong terbakar."Ckck. Cepat sekali mereka ber
"Nawang Wulan," kata Sarah."Oh, aku tak heran!" balas Junaedi santai. Dia adalah orang yang paling mengenal gadis ABG itu dari siapapun. Hal ini karena mereka sama-sama berasal dari dunia yang berbeda."Bagaimana dengan rumah makan itu? Apa kalian menemukan hal yang aneh?" tanya Sarah kepada dua insan yang baru kembali itu."Kami hampir mati terbakar di sebuah bagunan tua!" ujar Jamelah.Dahi Sarah mengernyit. Sejenak, dia menghentikan permainannya dengan si gadis pelayan. "Apa yang lalian temukan di sana?""Peternakan kucing," sahut Junaedi. "Mereka menggunakan daging kucing untuk dijual, dan mengatakannya kepada pembeli bahwa itu adalah sate kambing.""Dia ... apakah orang yang waktu itu menuduh Anda, Pak Bos?" tanya Nawang Wulan."Benar. Tapi masih ada orang lain di balik mereka. Mereka hanya orang-orang suruhan, sedangkan pelaku asli bersembunyi di balik orang-orang itu! Mereka langsung dibunuh habis setelah kami mengetahui semuanya. Tidak ada satu pun dari mereka yang hidup untu
Tak lama kemudian, sepasang pengantin yang baru saja menikah datang menghampiri Junaedi dan Jamelah. Ambar Wijaya memeluk erat lengan Marsodi Sutejo dengan langkah beriringan. Mereka berdua, tampak mesra menunjukan sebuah keromantisan."Kau, cukup bernyali datang ke sini hanya berdua saja!" ucap Marsodi menunjukkan seringai di hadapan Junaedi."Apa yang harus ku takutkan? Aku bahkan masih bisa berdiri di sini setelah kau mencoba membunuhku beberapa kali," balas Junaedi menyunggingkan senyum.Sementara itu, mata Jamelah jelalatan dengan sedikit menyipit. Dia mengedarkan lirikan-lirikan bola matanya untuk mencari sosok pria bernama Guntur Wijaya. Beberapa detik kemudian, dia menangkap sosok pria itu. Seorang pria botak, bertopi bulat, dengan kaca mata hitam melekat di wajahnya. Wajah pria itu tampak berkerut menunjukan kebengisannya. Dia! Pria kejam yang senang mempermainkan nyawa manusia demi ambisinya.Makanan dan minuman, banyak terhidang di pesta itu. Namun, Junaedi dan Jamelah sama
Prank!Kaca mobil belakang pun pecah.Jamelah menurunkan jendela kaca di sisinya. Kemudian ia membalas tembakan tersebut dengan beberapa tembakan.Dor! Dor! Dor!Gadis itu sengaja mengarahkan peluru pada ban mobil mereka, hingga peluru-peluru tersebut berhasil menembus dan mobil yang mereka kendarai tampak tak seimbang.Dor! Dor!Lagi-lagi, Jamelah meluncurkan pelurunya mengenai kaca depan. Kondisi ini membuat mereka tersentak segera menghentikan mobil.Beberapa saat kemudian, tanpa diketahui, Junaedi menyetir mobil menuju jalan buntu ke arah lautan Samudera Hindia. Lelaki itu sangat membelalakan mata melihat genangan air yang begitu luas jauh di hadapannya.Namun, karena kecepatan mobil maksimal, Junaedi tidak bisa mengontrol dengan baik. Jamelah dengan gesit, menendang tubuh lelaki itu hingga ia terpental membentur sebuah karang di pesisir pantai. Belum sempat Jamelah ikut keluar bersamanya, mobil sudah terjun terjebur ke lautan. Gadis itu pun menghilang ditelan ombak.Sarah yang men
Junaedi segera mendaftarkan diri memalui link yang telah diinformasikan. Kemudian mereka harus menunggu harus menunggu panggilan dari kota, selama sebulan untuk pembagian asrama yang telah di sediankan.Selama kompetisi, tinggal di sebuah asrama bernama Kura (Kuliner Nusantara). Awalnya, asrama ini adalah sebuah vila yang dibangun sebagai hadiah pernikahan adik dari sang diriktur yang bernama Tukijo dan kekasihnya Markonah. Namun, karena tempat tersebut jarang digunakan, Tukijo menjadikan tempat itu menjadi sebuah asrama. Kemudian, tercetuslah sebuah ide untuk mengadakan sebuah kompetisi.Yang menyediakan seluruh keperluan kompetensi adalah perusahaan Gaje. Sang direktur Sri Ningsih Madmirdja mensponsori acara ini, semata-mata hanya untuk menyenangkan adiknya yang sangat menyukai berbagai masakan nusantara.Sejak acara itu diselenggarakan, generasi pertama yang memenangkan kompetisi tersebut tidak lain adalah Bambang Sutejo selama tiga kali berturut-turut. Hal ini karena, peraturan ko
"Maafkan saya, Pak. Saya sendiri, merasa ada sesuatu ingatan yang hilang. Saya pernah dibunuh seseorang dan mengalami mati suri," ujar Junaedi memelankan suara, karena di sampingnya ada Marina."Oh! Astaga." Tukijo tampak terkejut. Matanya membulat dengan ekspresi bengong sesaat. Dia mulai mengerti, bahwa pemuda di hadapannya ini mungkin akan mengalami hal yang sama dengan ayahnya. "Huh!" Pria itu mendesah. Mengingat bahwa ia pernah menjalin hubungan baik dengan Bambang Sutejo, ia tidak bisa mengabaikan hal ini."Saya telah menyiapkan kamar asrama yang strategis untuk Anda. Beristirahatlah dengan tenang! Saya akan menjamin keamanan kalian berdua. Anda bisa menghubungi saya, jika ada keperluan," kata Tukijo. "Terima kasih, Pak! Tapi, saya rasa, tidakkah ini terlalu berlebihan, sampai Anda sendiri yang turun tangan hingga menjamin keamanan kami? Ah, maaf, bukanya saya menolak, tapi, perlakuan Anda terhadap saya, akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap peserta lain," balas Junaedi."In
Gadis itu menoleh. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup kain tebal yang melingkar di lehernya."Malam," sahutnya dengan suara sedikit serak."Hari sudah larut malam. Apakah ada sesuatu yang Anda butuhkan?" tanya Junaedi mencoba mendekatkan diri."Tidak ada. Hanya saja, aku terbangun kerena mendengar suara gaduh di sekitar sini!""Beberapa orang telah membereskannya. Saya pikir, keamanan di sini memang benar-benar terjamin.""Tidak perlu terlalu formal denganku. Aku bukan orang terhormat." Gadis itu mendorong kursi rodanya membelakangi Junaedi dan beranjak pergi.Junaedi mendekati gadis itu dan menawarkan diri untuk membantunya. "Ke mana kamu akan pergi?" tanya lelaki itu sembari memegang belakang kursi roda."Ruang isolasi lantai dua!" jawabnya singkat."Baiklah, Nona!" Junaedi pun mengantarkan gadis itu ke sana.Sepanjang kaki melangkah, mereka hanya terdiam tanpa sepatah kata pun. Suasana sangat canggung membuat Junaedi bingung, bagaimana ia harus memulai percakapan.Sesamp