Bagian 11
Tak terasa, 37 minggu 5 hari sudah aku mengandung. Bukan sebuah waktu yang sebentar untuk menanti kedatangan dua sosok malaikat penghuni rahim ini. Susah senang sudah kulewati. Tangis dan tawa pun telah kenyang dijalani. Dukungan suami, kedua mertua, dan orangtua di kampung pun terus mengalir deras hingga detik ini. Syukur selalu kuucap pada Illahi yang telah membuatku merasakan nikmatnya menjadi istri sekaligus calon ibu.
Rumah terasa begitu damai sejak kepergian Sela dan ibunya. Aku benar-benar lega luar biasa. Ternyata, orang yang selalu kucurigai tersebut memang menyimpan sebuah niat buruk pada kami sekeluarga. Alhamdulillah Ummi bisa cepat mengetahuinya dan segera mendepak perempuan tak benar tersebut. Pelet yang dia inginkan, nyatanya tak bekerja sampai sekarang. Mas Yazid malah semakin lengket padaku dan mencintai diri ini dengan sepenuh hati.
Kebahagiaanku makin bertambah kala Ayah dan Ibu datang ke sini demi menemaniku menghadapi persalinan se
Bagian 12Setelah seluruh rangkaian tindakan bedah sectio caesarea usai dilakukan, aku dibawa kembali ke ruang perawatan bersama dua bayi kembar. Bukan main senangnya hati seluruh keluarga yang menunggui proses persalinan luar biasa ini. Ummi dan Abi tampak menangis tersedu. Ibu dan Ayah pun juga begitu meski mereka tampak malu-malu memperlihatkan ekspresi keharuan tersebut. Mas Yazid? Jangan ditanya. Tangisnya paling kencang. Bahagianya membuncah. Kulihat diamenyempatkan diri untuk sujud syukur di lantai kamar VIP yang kutempati. Lelaki itu pasti sangat bahagia sekaligus lega kala mendapati anak dan istrinya dalam keadaan selamat.Momen paling haru lainnya adalah proses pelantunan iqomat pada kedua putri kembar kami yang sangat anteng berbaring dalam box kaca di samping tempat tidurku. Mas Yazid, Abi, dan Ayah secara bergiliran mengiqomatkan kedua gadis kecil itu. Mereka bertiga masing-masing membacakan kalimat suci itu ke telinga si kembar secara bergi
Bagian 13"Permisi." Suara seseorang terdengar diiringi dengan pintu yang dibuka. Kami pun langsung menoleh. Dua orang perawat datang sembari membawa troli yang di atasnya diisi dengan beberapa baki, alat, tensi, dan lain-lain."Bagaimana keadaannya, Bu? Ada keluhan?" Suster yang berwajah manis dengan kulit sawo dan perawakan sedang itu mendekat ke arahku. Sementara seorang perawat lainnnya, mulai mengeluarkan termometer dari bakinya, dan mendekat ke arah bayi kembar kami."Tadi menggigil, Sus. Namun, sekarang sudah berkurang. Bayi saya menangis terus. Apa mereka lapar ya, Sus?" Aku bertanya dengan wajah gamang. Cemas dalam hati ini sungguh tak dapat dipungkiri lagi."Bayinya sedang penyesuaian dengan alam luar, Bu. Alam rahim begitu hangat, nyaman, dan tenang. Tidak seperti dunia luar yang bising dan serba asing bagi mereka. Masalah lapar, bayi bisa bertahan tanpa minum selama 2 kali 24 jam. Kondisi anak Ibu pasca lahir juga semuanya baik. Segera menangi
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t