Jessy terus bertumbuh, dengan wajah berbentuk oval, mata lebar dan hidung mancung. Devi mengakui dalam hati kecil, jika bentuk hidung mancung itu tidak ia miliki bahkan orang tua Devi sendiri memiliki hidung mekar.Jelas. Hidung mancung mata bulat; mengingatkan sosok Goman. Ayah biologis Jessy, tapi perasaan itu tidak berlebihan mendominasi karena Devi mengerti dalam status sosial dan agama sekalipun. Jessy adalah anaknya.Saat ini bocah itu telah duduk di kelas enam sekolah dasar. Bentuk wajah menawan semakin tampak, dengan tubuh tinggi dan badan montok. Jika diperhatikan Jessy sosok paling tinggi di sekolah.Gundukan di dada yang mulai terlihat menonjol. Walaupun gundukan itu tidak sebesar punya wali kelas atau Devi. Akan tetapi dalam dua bulan terakhir setiap kali mandi memandang dan meraba harta berharga itu Jessy benar-benar merasa lain. Padat, berisi dan semakin muncung.Kegelisahan mulai muncul, sebenarnya setelah Jessy berfikir dan menerung ia mengerti jika dada seorang peremp
Jessy bukan benci atau tak suka dengan Pak Yo. Ia hanya sedikit tidak terima dengan keputusan Devi. Selama ini nyaris semua hal dilakukan dengan Devi. Berangkat dan pulang sekolah selalu dengan Devi, kini tiba-tiba hadir Pak Yo secara spontan. Tanpa bicara apa lagi diskusi dengan Jessy. Pria paruh baya itu kini mengantikan peran Devi. Bagi Jessy hal itu sungguh menyebalkan. Bocah itu sulit sekali mengerti mengapa orang dewasa seperti Devi, kadang bertingkah semaunya. Tanpa peduli perasaan orang lain. Dalam diam, Jessy berhasil menyembunyikan kejengkelan yang ia rasa. Ia tetap biasa saja dengan Devi, ia tak bisa marah dengan orang yang telah melahirkan dirinya. Tapi Jessy limpahkan kemarahan kepada Pak Yo. Dengan diam, enggan memasang wajah manis selama nyaris satu bulan. Dan selama itu ia tidak pernah bicara dengan Pak Yo. Justru ia berharap dengan sikap itu, Pak Yo tidak tahan lalu berhenti bekerja. Sayangnya hidup tidak sederhana di senetron yang pernah dilihat Jessy. Pak Yo tidak
Jessy bangun tidur dengan kondisi tubuh sangat segar, badan terasa ringan. Beban di pundaknya terasa jauh lebih ringan setelah ujian nasional berlalu. Kini saatnya ia mulai bersantai setelah melewati tiga tahun di sekolah menengah pertama. Setidaknya sekarang ia memiliki waktu untuk santai sejenak. Melepas buku pelajaran dan materi yang membuat penat di kepala. Dan melakukan beberapa hal yang ia sukai. Entah pergi ke perpustakan sepuasnya atau membeli koleksi ikan. Dan yang paling penting ia harus mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan setingkat SMA. Akan tetapi hal itu mudah saja, ia sudah menentukan kemana ia akan melanjutkan sekolah. Jauh-jauh hari sebelum ujian nasional berlangsung. Ia akan melanjutkan ke sebuah sekolah dengan sistem belajar biasa-biasa saja. Artinya ia tidak akan masuk sekolah dengan sistem full day. Enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama. Dengan sistem belajar yang begitu padat. Dipaksa setiap siswa harus
“Ingat, kemana pun pergi selalu kabari Mama.” Devi mencium kening Jessy. “Oh ya, selalu dengan Pak Yo. Jangan pergi dengan taxi online atau sejenisnya.” “Iya Ma,” ucap Jessy dengan nada malas. “Kalau ada waktu mampir ke salon ya.” Devi tersenyum sambil membuka pintu mobil. “Iya Ma.” “Iya. Iya terus. Beneran kabari mama kalau ada sesuatu.” “Iya Ma.” Jessy menarik napas panjang. Devi tak lagi berkata-kata, lalu tancap gas pergi meninggalkan pekarangan rumah. Begitu pula dengan Jessy ia langsung masuk mobil yang di dalamnya Pak Yo sudah siap melaju. Sejak obrolan berat tadi pagi suasana hati Jessy semakin tidak menentu. Ia merasa jika ibunya semakin berlebihan dan tingkat bawelnya semakin meningkat. Kini ia mulai menyadari jika apa yang ia sukai, selalu kebalikan dengan Devi. Dan perbedaan itu benar-benar tidak nyaman untuk Jessy. Bukan hanya bulutangkis dan kulit yang sedikit terbakar matahari tapi Devi semakin ke sini sering komentar dengan baju yang dikenakan Jessy. Jessy meras
Jauh beberapa kilo dari tempat Jesy berada, Devi menatap ponsel dengan perasaan jengkel luar biasa. Satu baris chat Jessy, berhasil membuat ia tak nyaman untuk melanjutkan pekerjaan. Kini ia meletakan ponsel di laci, diam. Melamun. Sebuah bingkai foto ukuran kecil bergambar dirinya dengan Jessy saling berpelukan, ia tatap sejenak lalu Devi lalu terpejam.Devi bertanya pada dirinya sendiri mengapa Jessy sekarang sedikit berubah. Sedikit keras kepala dan sulit di atur. Pertanyaan itu berputar-putar terus menerus tanpa titik terang hingga kurang lebih sepuluh menit.Terdengar dari luar suara ketukan pintu di ikuti seseorang membuka pintu. “Ganggu ngak?” tanya Iqbal.“Ngak.”“Ada masalah?” tanya Iqbal, melangkah lalu duduk di kursi depan Devi.Kedua alis Devi mengkerut. “Tidak.” Pandangan mata ke arah lantai sengaja menghindari kontak mata dengan Iqbal.“Yakin?”Devi tersenyum sinis Iqbal. “Mengapa kamu bertanya demikian.”“Kelihatan resah begitu.” Iqbal tersenyum lebar. Pria yang sudah b
Kini Iqbal diam, kalimat yang keluar dari bibir Devi benar-benar tali yang menjerat leher. Membuat sulit sekali bernafas. Wajah pria berkulit putih kecoklatan itu kini mulai memerah. Sebaris kalimat yang terlontar dari mulut Devi seperti cambuk yang merobek kembali luka lama yang mulai berangsur sembuh. Bagi Iqbal kalimat itu sebuah penghinaan dan juga fakta sebenarnya. Penghinaan, yang sebenarnya Iqbal punya anak. Dan fakta sebenarnya, ia belum pernah sampai mendidik anak itu karena ajal memisahkan. Iqbal benar-benar terluka. Ruangan dingin ber AC tak mampu memandamkan dua dada yang sedang terbakar amarah. Beberapa detik ruangan itu hening. Susi menarik napas panjang berusaha mengusai keadaan. “Dev, begini kami hanya memberi pandangan lain. Apa kamu ngak sadar jika pemikiranmu itu semakin memperkeruh keadaan?” Susi terpaksa mengambil alih kendali sebelum Iqbal marah besar. Karena ia tahu jika kalimat yang baru saja di ucapkan Susi benar-benar melukai hati Iqbal. “Apa maksutmu?” S
Dua bola mata Iqbal menatap lekat-lekat Devi yang melangkah pergi meninggalkan meja kerjanya. Ia tak bisa marah dengan ucapan Devi, bukan karena wanita itu bosnya. Tapi Iqbal lebih mengimani ucapan Devi. Mengakui jika ia tak punya anak. Orang-orang sekitarnya sudah mengatakan jika ia memiliki anak sekaligus pasangan hanya saja beda alam. Sebuah hiburan konyol bagi Iqbal.Bicara tentang anak, cinta dan pasangan hingga saat ini menjadi cambuk sakti, sekali lempar membuat Iqbal tak berdaya. Jiwanya goyah terluka parah. Dan tidak semua orang mengerti kesakitan yang Iqbal derita selama ini.Bahkan lama tinggal di Surabaya sedikit pun ia tak berani mendekati wanita. Rasa takut kehilangan menikam setiap saat jika ia memikirkan sosok wanita. Jika siap mencintai sesuatu, maka harus siap kehilangan, begitulah prinsip rasa memiliki. Dan Iqbal belum mampu jika harus kehilangan untuk sekian kalinya.Beberapa kali orang-orang mendorongnya untuk move on. Yang artinya mencari wanita lain, tapi ia sen
Bukan tanpa sebab Jessy menginginkan ke salon. Percakapan dengan Re siang tadi masih terlanjut di chat W******p, apa saja bisa jadi tema bahan obrolan termasuk komik kesukaan Re. Dan Re menawarkan beberapa seri komik One Piece pada Jessy. Tentu itu adalah kesempatan emas untuk Jessy. Bukan komik gratisan, dan sebenarnya ia tidak menyukai kisah fantasi yang sulit dimengerti oleh akal sehat. Akan tetapi demi bertemu dengan Re untuk ke dua kalinya Jessy menginginkan komik itu. Jika komik itu sudah di tangan Jessy, itu berarti kesempatan bertemu dengan Re untuk sekian kalinya bakal terbuka lebar. Dan besok mereka sepakat untuk ketemuan di taman. Kini dalam otak Jessy untuk kencan pertama dia harus cantik. Minimal rambut lurus dan rapi, wajah bersih, badan harum. Dan itu artinya ia butuh ke salon. Sebuah garis alam yang senada. Jessy secara lapang menginginkan ke salon untuk mempersiapkan kencan besok. Dan itu artinya Devi juga akan senang akhirnya Jessy dengan senang hati pergi ke salon
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga