Setelah mengetahui siapa sosok ayah Jessy yang sebenarnya, hal pertama yang ingin Devi lakukan adalah bertemu dengan Goman. Dan menceritakan semua yang terjadi setelah peristiwa gila malam itu.
Saat pria itu mengantarnya ke kamar hotel hingga terkapar bersama dengan nafsu hewan Goman.
Devi akan mengatakan dengan jujur jika Jessy adalah darah daging Goman. Kalau pun Goman tak percaya, Devi bersedia Jessy harus menjalani tes DNA.
Bukan untuk menuntun sebuah pertanggung jawaban atau pengakuan jika gadis kecil itu anaknya. Akan tetapi menurut Devi dengan alurinya sebagai seorang ibu, hak Jessy sebagai seorang anak untuk tahu dan bertemu dengan ayah kandungnya.
Namun, semua rencana itu berubah total kala mengetahui pria itu akan segera menikah. Devi sendiri tak ingin menciptakan masalah baru.
Tidak itu saja, citra buruk pasti akan jatuh pada Devi seorang, meskipun dosa itu ia lakukan
Pure Taman Saraswati tampak ramai pengunjung, manusia dari usia balita hingga usia lanjut tumpah ruah memenuhi dalam dan luar tempat suci itu. Pemandangan biasa di Bali kala libur panjang tahun baru. Hal itu juga membuat beberapa orang sulit mendapatkan hal foto yang maksimal. Namun, bukan itu yang membuat Devi terusik. Senyum Devi kini pudar, dua bola matanya kini ke arah dimana Jessy menunjukan sesuatu. Namun yang ia lihat hanya bayang-bayang segerombol manusia yang sedang lalu lalang dan sibuk berpose. Jessy menghampiri Devi, melupakan asiknya bergaya di depan kamera. “Ma, itu ada Om Rangga!” rengkek Jessy sambil memeluk kedua kaki Devi. “Tidak ada Om Rangga di sini!” Suara Devi pelan, sorot matanya fokus ke arah yang Jessy tujuh. Dan sosok itu benar-benar tidak ada. “Ada Ma. Ayo kita ketemu Om Rangga.” “Mama tidak melihat Om Rangga. Sayang.” “Tapi aku melihatnya Ma!” Jessy kemudian menarik jemari Devi, dengan terpaksa wanit
Sisa liburan tersisa dua hari, akan tetapi malam itu Devi memutuskan untuk kembali ke Surabaya lebih awal. Semua terjadi begitu saja, benar-benar diluar rencana, kini Rangga berhasil mengusik akal sehatnya, keindahan pulau Bali porak poranda. Pure, taman dan pantai yang indah tak lagi menarik hatinya. Jessy yang masih terlalu dini hanya menuruti apa yang dikatakan oleh ibunya. Dengan penerbangan pesawat terakhir dari Denpasar ke Surabaya, Devi memutuskan untuk pulang. Dan tepat tengah malam Devi telah pergi meninggalkan bandara Juanda dengan taxi menuju rumah.Kembali terjun ke urusan salon sekaligus ibu. Bulan Januari menjadi awal tahun yang cukup menyita pikiran Devi. Salah satunya suster yang biasa menjaga Devi tak kunjung kembali. Padahal libur yang diberikan Devi sudah terlewat selama empat hari. Dan selama empat hari itu pula Jessy selalu ikut kemanapun Devi pergi, dari ke kantor hingga sidak ke luar kota. Dan di hari ke lima sebuah pertemuan dengan rela
Setelah makan siang bocah itu tidur di bawah ketiak ibunya. Devi yang terbiasa sibuk sepanjang hari, matanya sama sekali tak mau terpejam. Akhirnya ia bangkit meraih ponsel di atas meja, kembali menelfon pengasuh Jessy, entah yang berapa kali ia lakukan hal yang sama beberapa hari belakangan ini. Kali ini panggilannya diterima oleh seseorang yang berbeda. “Mohon maaf tidak memberi kabar apa pun, kami sedang berduka. Anak kami meninggal seminggu lalu.” Hanya itu yang keluar dari mulut wanita dengan isak tangis yang sangat deras. Setelah mengucapkan bela sungkawa Devi mengakhiri telefon lalu duduk di atas sofa, ia memejamkan. Ia pusing. Tak dipungkiri ia sedih kehilangan sosok yang ia percaya namun tak bisa dialihkan pula pemikirannya tentang mencari sosok pengasuh baru. Bukan hal sulit untuk mencari pengasuh baru, namun yang sulit dan merepotkan adalah mencari sosok yang tepat. Pemikiran semacam itu muncul bersamanya beberapa berita yang pernah ia baca d
“Ada yang mencarimu.” Susi berdiri tepat di samping meja repsesionis sengaja menyambut kedatangan Devi. Kening Devi berkerut. “Siapa?” “Rangga. Dia sedikit mabuk.” “Suruh pergi!” Wajah Devi merah padam, dengan badan tetap tenang. “Sudah aku suruh dia pergi, tapi dia tidak peduli.” “Di mana sekarang keparat itu?” “Di ruang tamu.” Langkah Devi berlanjut, gerakan tubuhnya tenang, wajahnya semakin culas ia naik ke lantai dua langsung menuju ruangan khusus menerima tamu. Susi pun berjalan mengikuti dari belakang. Dengan kasar Devi mendorong pintu, bau khas alkohol menusuk hidung. Tubuh Rangga terlentang tak berdaya di atas sofa dengan kaki bersepatu. Dua matanya tertutup rapat, dengan mulut sedikit terbuka, bulu-bulu halus penuh di sekitar wajahnya tak terawat. Devi menatap dengan mata culas sekian detik, seperti menatap sebongkah kotoran binatang. Buang muka dan meninggalkan pria itu begitu saja. Sedangkan Susi masi
Paparan peristiwa kala Rangga bersama seorang wanita kembali mengusik kepala Devi. Bagimana bisa pria itu bisa cepat berubah kehendak hatinya? Bahkan hingga detik ini benar-benar tak pernah terpikirkan mengapa sosok itu kembali menuntut sebuah penjelasan. Bukankah dia sudah bersama wanita yang lain? Untuk apa berada di sini? Sebenarnya siapa yang membutuhkan penjelasan? Dirinya sendiri atau Rangga. Batin Devi ragu. “Kamu gila Rangga!” desis Devi. Rangga tersenyum masam dengan ucapan sengit Devi, sedikit pun ia tidak tersinggung. Yang jelas ia sedikit gemas menatap wajah Devi yang sedang marah. “Iya aku memang gila.” Seketika itu Rangga semakin kaku. “Pergilah!” Devi tetap buang muka. “Jelaskan semuanya! Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Rangga kembali berdiri lalu menatap jendela. Terlihat awan biru berubah kekuningan, matahari pun mulai redup. Devi masih enggan untuk bicara, penjelasan seperti apa yang pria itu inginkan, sejatinya ia sudah pernah berkata apa adanya dan akh
“Mbak, mohon maaf saya ganggu. Ini Dek Jessy tidur tapi seperti pingsan. Terus pengasuhnya ngak ada di rumah. Kalau bisa Mbak Devi pulang sekarang juga saya takut terjadi apa-apa sama Dek Jessy.” Panggilan telefon dengan informasi singkat itu menjadi akhir perdebatan Devi dangan Rangga. Melahirkan perasaan yang lebih kacau dari pada berdebat dengan Rangga, kini wajah Devi tanpak tegang. Dengan gerakan cepat ia matikan komputer yang masih menyala dan bergegas meninggalkan kantor. “Ada apa?” tanya Rangga sambil melangkah mengikuti Devi. Devi diam tak peduli dengan pertanyaan Rangga. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia melewati tangga sambil memesan taxi online lalu kembali menelfon ARTnya. “Mbok, bawa Jessy ke Nasional Hospital. Saya sudah telfon taxi online. Jadi kita ketemu di rumah sakit.” “Tapi Mbak, saya takut...” suara itu terdengar ragu. Devi menarik napas panjang lalu bicara dengan nada keras. “Nurut apa kata saya Mbok!
Jessy terkapar lemas tak berdaya di ranjang rumah sakit, wajahnya lesu, bibir pucat pasi dengan kelopak mata tertutup rapat persis seorang manusia dengan mimpi indah. Di sisi lain perempuan yang berusia hampir lima puluh tahun itu duduk tepat di samping Jessy, dua matanya berkaca-kaca sambil menatap gadis kecil yang berbaring dihadapnya. Ia semakin gundah gulanan kala sang tuan tak kunjung datang. Sedangkan suster dan dokter sudah dua kali bertanya di mana orang yang bertanggung jawab atas Jessy. Dan ia hanya bisa menjawab, “tunggu ibu dari anak ini akan segera datang.” Lima belas menit terasa terlalu lama untuk hal menunggu akhirnya sosok itu datang. Devi langsung memeluk Jessy, seluruh wajah bocah itu dikecup dengan air mata berlinang. Beberapa kali ia juga memanggil nama Jessy, tapi bocah itu tidak memberikan respon apa pun. Hati Devi seketika remuk, tak pernah ia menatap putrinya dalam kondisi sedemikian mengerikan. Dan tak lama kemudian dokter kembali datang memeriksa kondisi
Kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rangga kembali mengelitik Devi, namun tidak memancing amarahnya kali ini. Karena ada hal yang lebih penting dari pada harus meladeni Rangga. Salah satu mata Devi melirik Rangga sejenak lalu kembali fokus pada ponsel di genggamnya. “Mungkin.” “Apa salahnya aku ingin tahu tentang Jessy?” Devi berdehem. “Sejak kapan kamu peduli dengan anakku?” Rangga terdiam, ingatnya melayang kepada kenyataan siapa sesungguhnya gadis kecil yang pernah ia anggap seperti bagian dari dirinya itu. Namun sebenarnya kenyataan yang sekarang tidak merubah rasa kasih sayang dirinya dengan Jessy. Rangga tahu benar jika Jessy adalah gadis kecil yang tak tahu mengapa ia harus hadir di antara orang dewasa yang runyam. “Saya tahu, kamu tidak akan bisa peduli dengan Jessy, setelah kamu tahu siapa sebenaranya.” Devi tersenyum sinis. “Sama seperti kamu pergi dari aku dan membesarkan egomu.” Rangga sejenak menatap Devi, lalu kembali fokus dengan kemudi. “Asal kamu tahu. Kam
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga