"Frans, ibumu masuk rumah sakit kemarin malam. Ibu minta kamu datang ke rumah sakit sekarang." Perintah sang ayah, Suryo. Dalam sambungan telepon."Masuk rumah sakit? Kok bisa? Kenapa ayah nggak ngasih kabar dari semalam?" Frans bicara sambil berjalan menuju ruang makan bersama Karin. Dia yang saat ini berada di samping Frans pun mendengar percakapan mereka."Ibu masuk rumah sakit tengah malam, ini ayah baru sempat pegang handphone lagi.""Harusnya mas Erik kasih tau aku.""Kita sama-sama panik, nggak kepikiran apa-apa.""Terus gimana keadaan ibu sekarang?" Mereka berjalan ke sisi kanan, menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antara ruang keluarga dengan ruang makan."Semalam drop, sekarang udah stabil. Kamu ke sini sekarang, ya.""Iya, Ayah. Sebelum ke kantor aku ke rumah sakit dulu. Sekarang ibu di rumah sakit sama siapa? Biar aku nggak buru-buru banget, soalnya ini baru mau sarapan.""Nggak apa-apa kamu sarapan dulu aja, nanti gantian jaga sama Bella. Ayah ada meeting penting pag
"Temui aku di kontrakan! Kalau nggak, aku yang akan datang ke kantor suamimu dan membongkar semua rahasia kalian." Pesan berisi ancaman yang Karin terima dari Dani, sang mantan suami.Tentu Karin langsung terkejut membaca pesan tersebut, membuat Karin bingung harus berbuat apa. Memberitahukan suaminya? Atau mengikuti perintah Dani demi menjaga kerahasiaan pernikahan mereka? Tidak ingin salah mengambil keputusan, akhinya Karin pun meneruskan pesan dari Dani kepada Frans.Tidak lama setelah itu, Frans menghubungi Karin dalam sambungan telepon. "Ada apa, Rin?""Ya itu, Mas. Mas Dani minta uangnya. Dia mengancam akan membongkar rahasia pernikahan kita ke publik. Gimana ini?""Biarin aja, dia cuma ngancem doang dan nggak bakal juga dia membocorkan rahasia kita ke publik," jawab Frans."Tapi, kalau dia benar-benar melakukan itu, gimana?" tanya Karin lagi karena masih khawatir. Dia tahu persis bagaimana Dani, Dani bisa saja nekat melakukan hal yang tidak pernah diduga-duga."Biarin aja. Aku
"Siapa dia, Bella?" tanya Winda sambil melihat ke arahnya.Tidak ingin menjelaskan, Bella ingin Frans sendiri yang memberi tahukannya. "Frans, bisa kamu beri tahu ibu kamu siapa wanita ini?""Dia ... dia adalah is ...."Dengan cepat Karin memangkas kalimat yang belum sepenuhnya diucapkan. "Saya asisten rumah tangga, Nyonya."Dahi Frans mengerut, tadinya dia mau bicara jujur, tetapi Karin malah memberikan jawaban bohong."Asisten rumah tangga? Kamu punya asisten rumah tangga? Di apartemen?" Winda bertanya kepada putranya.Sebelum Frans menjawab, Karin lebih dulu yang memberikan jawaban. "Iya, Nyonya. Pak Frans mau apartemennya selalu dalam keadaan rapi, beliau tidak mau sampai banyak debu yang menempel sekalipun debu pada sendok makannya.""Oh, ya? Sejak kapan?" Winda bicara kepada Karin, tetapi matanya melihat ke arah Frans dengan tatapan menyelidik, karena selama ini Frans yang ia tahu tidak begitu perduli pada kebersihan dan tiba-tiba sekarang dia tidak ingin ada debu yang menempel
Karin pergi meninggalkan Frans ketika namanya dipanggil. Sedangkan Frans masih diam di sana untuk beberapa saat, baru keluar dari persembunyian."Siapa dia, Bu?" tanya Suryo yang baru saja pulang. Dia berjalan menghampiri sang istri seraya melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya."Ini asisten pribadi ibu, Ayah," jawab Winda sambil tersenyum. Saat ini dia duduk di kursi roda, sedangkan Karin berdiri di belakangnya sambil memegang handle untuk mendorong."Asisten pribadi?" Dahi Suryo mengerut. Dia menatap lekat-lekat wajah Karin, dengan tatapan menyelidik."Iya, cantik ya, Yah?"Suryo mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya. Tapi, kok bisa?" Kali ini ia melihat ke arah sang istri."Dia pembantunya Frans di apartemen, diajak ke sini karna apartemen jarang dihuni. Kebetulan pembantu di kita udah banyak, ya udah jadi asisten pribadi ibu aja. Nggak apa-apa kan, Yah?""Nggak apa-apa." Setelah bicara kepada sang istri, Suryo mengajukan pertanyaan kepada Karin. "Sejak kapan kamu bekerja pada
"Sa–saya, Pak?" tunjuk Karin pada dirinya sendiri."Iya kamu," jawab Erik."Ngapain sih, Mas!" pekik Frans, kesal. Belum selesai satu masalah, ini malah muncul masalah baru sang kakak yang malah tertarik kepada istrinya."Apaan sih? Nggak suka banget aku minta tolong asisten pribadi ibu. Emang kamu yang gaji dia?""Ya iyalah. Selama ini dia kerja sama aku.""Itu kan di apartemen, ini kan di rumah. Lagian apa tadi kamu bilang? Kamu sudah memecat dia dan sekarang Karin resmi diangkat asisten pribadi ibu. Dia udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama kamu?"Tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus bagaimana, Frans cuma bisa diam saat Erik berjalan menghampiri Karin. Bukan tidak ingin mencegah, tetapi jika dia bersikap berlebihan, khawatir sang kakak ikut mencurigainya, sedangkan keadaan belum memungkinkan untuk ia berkata jujur."Ibu udah mau tidur?" tanya Erik kepada Karin.Karin mengangguk. "Sudah, Pak.""Kalau begitu, boleh saya minta tolong?""Minta tolong apa ya, Pak?""Kamu d
"Bisa bicara sebentar?"Dani menganggukkan kepalanya. "Bisa."Tidak lama seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari rumah dan langsung memeluk Dani dari belakang, seraya bertaya, "Siapa dia, Sayang?""Nggak tau, kamu masuklah!""Oke, tapi jangan lama-lama, ya.""Iya."Setelah wanita itu masuk, Dani mempersilahkan Bella untuk duduk. "Duduklah, apa yang mau kita bicarakan?'"Nggak perlu, kita berdiri aja."Dani menggidikkan bahunya. "Terserah. Memangnya apa yang ingin Anda tanyakan?""Karin. Siapa dia?"Dani cukup terkejut akan pertanyaan itu. Dia memilih diam sebentar, agar jawabannya tidak salah. "Saya nggak kenal.""Bohong!""Buat apa saya bohong? Saya memang nggak kenal siapa Karin.""Anda pasti berbohong, saya sendiri melihat Anda sedang bicara berdua dengan wanita itu di halte bis.""Halte bis yang mana?" Dani tetap mengelak."Depan kantor calon suami saya, Frans. Anda mantan karyawan di sana, kan? Anda bekerja sebagai OB, lalu berhenti tanpa alasan jelas. Benar begitu? Dan, i
Orang tua selalu tahu apa yang anaknya inginkan dan apa yang tidak diinginkan. Erik tahu orang seperti apa yang akan membuat putranya merasa nyaman dan dia tahu kalau putranya akan menyukai Karin, terbukti setelah membacakan buku cerita selama lima belas menit, akhinya putranya pun tertidur lelap. Perlahan Karin menarik tangan yang dijadikan bantal oleh Agam, lalu beringsut turun dari atas ranjang dengan sangat hati-hati."Selamat malam, Nak." Karin mengusap lembut kening Agam, lalu mengecupnya singkat. Melihat Agam, dia seperti melihat Rafa, putranya."Putraku sudah tidur?" tanya Erik yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.Karin melihat ke arah sumber suara, lalu menjawab dengan suara pelan. "Sudah, Pak.""Kamu bisa tinggalkan putra saya, dia akan bangun pagi dengan wajah cerah."Karin mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan menuju pintu. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak.""Baiklah."Karin menunduk hormat, lalu berjalan pergi. Saat dia mendengar suara pintu ditutup, t
Ada perasaan mengganjal pada hati Winda ketika suaminya melarang Karin makan di meja makan bersama dengan yang lainnya, hingga akhirnya ia pun melayangkan protes. "Apa salah Karin makan sama kita?""Kenapa harus? Dia cuma pembantu." Suryo menarik kursinya, lalu ia duduk seraya menyingsingkan lengan bajunya."Dia asisten aku, Mas. Aku menyukainya.""Jangan bersikap berlebihan, Winda! Nggak ada sejarahnya pembantu makan bersama majikan."Saat Winda akan bicara lagi, Karin lebih dulu bicara sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu. Yang Bapak katakan benar. Lagi pula, saya meras kurang sopan dan tidak tahu diri kalau sampai sarapan satu meja makan dengan kalian.""Bagus. Kamu harus seperti itu, minimal tau diri," pekik Suryo."Baik, Pak.""Ayo, Rin," ajak Ayu seraya menarik tangannya, membawa Karin ke belakang rumah.Frans yang baru saja datang, lalu melihat Karin berjalan bersama sang pembantu menuju pintu belakang pun memangilnya. "Mau ke mana kamu, Rin?"Karin menghentikan langkah, lalu m
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap