"Aku tugasnya hanya membantu, jadi bukan salahku," balas Vina ikut berbisik.
Memasuki lift, lagi-lagi rasa tidak nyamannya tumbuh. "Vin, kamu di belakangku dong." Merasa risih karena sedari tadi punggungnya dipandangi para karyawan yang ada di belakangnya.
Dengan cepat Vina melakukan apa yang Raya inginkan.
Tiba di ruang kerja sang kekasih, duda itu tampak seperti pagi sebelumnya. Memperhatikan berkas di meja sambil sesekali menatap layar monitor di depannya.
TOK TOK
"Cantik." Duda itu langsung mengangkat wajah, lanjut melangkah.
Melihat penampilan Raya, duda itu menekuk alis memundurkan kepala. "Kamu beli baju baru dengan kartu yang kuberikan?"
Raya tampak ragu-ragu gelengkan kepala. Gadis itu berjalan kaku melangkah ke arah Rizal.
Dres merah menyolok mata, rambut tergerai sedikit basah membuat duda itu menahan hasrat kejantanannya. "Yuk, sarapan. Aku sudah sangat lapar." Rizal membawa kekasihanya menuju meja makan.
“KAU PIKIR AKU TAKUT DENGAN MEREKA? PANGGIL SELURUH ORANG DI DUNIA INI, AKU GAK AKAN TAKUT!” Meski kulit kepalanya terasa begitu sakit, Raya tetap menggerakkan tubuh dan meronta berusaha membebaskan diri dari wanita di belakangnya. Mendapati Raya masih melawan, dengan penuh rasa kesal, Rosa mengumpulkan tenaga kemudian menarik kasar pakaian Raya. BREK! Dress merah itu robek di bagian pinggang hingga bagian bokong, kain yang mengikat punggung dan pinggang Raya seketika tampak. Wanita itu tersenyum bangga, dengan apa yang baru saja ia lakukan. ”Lebih terlihat jalang dan sebentar lagi akan kutelanjangi dirimu.” Rosa tertawa renyah, membayangkan sesaat lagi dress merah itu akan terlepas. Hawa dingin langsung terasa di bagian belakang tubuh Raya yang terbuka, gadis itu sangat marah. Mendapati Rosa sedikit lengah, Raya pun memutar tubuh sekuat tenaga ditemani sikutnya yang ikut bergerak. DUK DUK DUK BRUK! Putaran tubuh dan lengan yang langsung mendorong membuat wanita itu jatuh terdudu
Tak sabar ingin segera bertemu dengan kekasihnya, ia pun mengeluarkan suara dalam langkahnya menyisiri koridor. “Cantiikk …” Suaranya menggema memenuhi seluruh ruangan. Raya langsung berdiri menyambut Rizal yang kini tiba di ambang pintu. “Pasti ngebut.” “Hanya sedikit,” balas Rizal melangkah sambil membuka kedua tangan kemudian berhambur memeluk kekasihnya. Dekapan erat dalam sebuah pelukan yang mengakibatkan gadis itu merasa kesakitan di bagian punggungnya, mau tidak mau Raya coba melepas pelukan dengan pelan. “Ada hal yang ingin aku bicarakan, duduk dulu, yu.” Mendapati Raya melepas pelukan dan mengajaknya berbicara, wajah Rizal seketika berubah diam tak lagi menampakkan senyuman. Kaku, ya wajah dan gerak tubuhnya terlihat kaku dan lidahnya menjadi kelu. Raya menarik lengan Rizal untuk mengajaknya duduk. Mengatur tubuh mereka agar berhadapan sambil Raya berusaha mengeluarkan senyuman, dan senyuman itu terlihat penuh keraguan. Raya t
Malam pun tiba. Berbalut busana sederhana lengkap dengan riasan tipis membuat penampilan cantik Raya terlihat anggun nan elegan. Tentu saja elegan, gaun pengantin mahal lengkap dengan riasan dari MUA terkenal, membuat Rizal tak sabar ingin cepat merubah statusnya. Kota Jakarta di jam pulang kerja, menambah suasana keromantisan keduanya di sebuah kendaraan mewah. “Ini mobil beli atau sewa?” Raya membuka pembicaraan sambil memperhatikan interior dalam mobil. “Baru,” jawab Rizal singkat sambil memainkan jemari Raya mengusapi bibirnya. “Jari kamu lembut, aku suka.” Mulai memasukkan jari Raya pada rongga mulutnya. ”Ba-ru? Ah, geli …” ucap Raya sambil merasa kegelian dengan apa yang Rizal lakukan pada jari kanannya yang ada di dalam mulut duda itu. “Jang-an bo-ros, geelii …” Berniat berbicara banyak, namun tingkah Rizal membuat Raya mempersingkat kalimatnya. “Aku suka.” “Tapi geli.” Raya siap menarik lengannya namun Rizal tahan. ”Baru kali i
“Ada apa?” tanya sang papah setelah menutup pintu kamarnya. ”Anak papah kenapa berteriak seperti ini?” ”Pah Rizal, Pah. Rizal menikahi pembantunya, dia telah menikah dengan orang lain,” ucap Rosa menggenggam jemari sang ayah. “Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi!” Para penghuni kediaman mewah itu satu persatu mendatangi sumber suara. Seorang kepala pelayan menghubungi Bimo dan Bagus khawatir sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. ”HENDRA GAK MUNGKIN BOHONGIN AKU, PAH!” Dengan tangan gemetaran, Dirga menghubungi anak buahnya. Menanyakan kebenaran dan sayangnya orang yang dihubungi tak ada yang tahu karena belakangan ini pria tua itu terlanjur memberi perintah untuk tidak mengikuti gadis itu ketika bersama Rizal dan hasilnya ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Pria tua itu coba mencari kebenaran langsung pada yang bersangkutan dan lagi-lagi naas, duda itu sama sekali tidak bisa dihubungi ponselnya seperti senga
Rizal melajukan mobilnya kencang, berniat mendatangi tempat tinggal Andika, namun rasa empati dalam dirinya tumbuh begitu saja. Hari ini, sahabatnya itu mungkin saja sangat lelah. Sibuk mengurus kerjaan, mengurus pernikahannya dalam waktu satu hari, ditambah besok berlanjut acara di kantor, akan sangat tidak manusiawi jika ia mengganggu Andika yang kini sedang beristirahat. Pikir Rizal. Dengan cepat ia memutar setir kemudian melajukan mobil gagahnya menuju gedung pencakar langit miliknya. Setibanya di kantor, para scurity yang berjaga merasa heran dengan kedatangan mobil yang tak asing bagi mereka. "Bukannya si bos hari ini malam pertama?" ucap pelan salah seorang scurity sambil membuka pintu lobi yang sudah terkunci. Ya, berita pernikahan sang bos sudah tersebar menghiasi telinga para karyawan. Kedua pengantin yang sempat mempersiapkan pernikahan di kantor membuat para penghuni bangunan megah itu tahu apa yang akan dilakukan bos mereka. "Jangan berpi
Senyum wanita itu tampak begitu lebar dan menggoda, ia merapihkan pakaian dan rambutnya yang tergerai kemudian dengan bangga melangkah tanpa diperintah sebelumnya."Hai, aku datang pagi, karena aku tau pasti kamu pun datang lebih pagi."'Kegatelan! Gak tau diri!' Gerutu Andika dalam hati. 'Duda kaya, gue harap loe bisa lebih tegas.'"Dik, bisa ke sana dulu?” Tunjuk Rizal ke arah ruang makan. ”Makan cemilan sambil nunggu Raya datang.""Gue tau harus ke mana gue melangkah.” Pria konyol itu meninggalkan kursinya."Pertanyaanku akhirnya terjawab, semua berita itu bohong 'kan, Zal? Aku yakin kamu masih cinta sama aku, aku tau kamu gak akan mungkin lupain aku." Wanita itu langsung duduk di kursi yang semula diduduki Andika, lagi-lagi ia melakukan itu tanpa diperintah. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja ditemani wajah yang berseri-seri merasa grogi, karena sedari tadi Rizal menatap dirinya lekat.Terlihat bukan cinta
”Sorry kali ini kamu gak bisa sarapan. semua makanan sudah aku buang ke tempat sampah.” ”Cantiik …” “Dada aku sakit melihat kalian, kamu gak maukan aku sakit hati. Jadi biarkan aku pergi, toh aku gak bisa memberikan apa yang nanti kamu inginkan,” ucap Raya terdengar terbata membayangkan suaminya tidak akan bahagia bila bersama dirinya. Rizal langsung memeluk Raya. ”Jangan bilang begitu, aku salah. Aku yang salah. Aku gak bisa mengontrol diri, aku terbawa suasana. Aku benar-benar sudah tidak suka dia, aku membencinya. Aku hanya berterima kasih padanya karena dia, aku bisa menikahimu. Aku menyuruhnya ke kantor untuk memberikan sebuah cek dan menyuruhnya pergi tak lagi mengganggu hubungan kita. Namun sepertinya dia marah hingga entah bagaimana dia bisa melakukan tindakan itu padaku. Aku membayangkan kamu yang melakukan itu semua, aku tidak bohong. Aku hanya mau di sentuh oleh tanganmu, aku hanya mau dipeluk kamu dan aku hanya mau menua samamu. Jadi maafin aku, j
Raya pejamkan mata dalam gendongan suaminya. “Cantik, kita sudah sampai. Turun, yuk. Aku harus ganti baju.” Masih dalam pelukan suaminya ia anggukan kepala dan dengan hati-hati Rizal mendudukkan Raya di kursi cantik yang diperuntukan bagi mereka berdua. ”Yakin mau ganti baju di sini?” tanya Raya setelah turun dari gendongan Rizal dan mengedarkan pandangan. ”Aku akan ke toilet, tetap di sini.” Lagi-lagi Raya menjawab dengan anggukan kepala. Beberapa orang langsung mengikuti kemana Rizal melangkah, termasuk Andika yang kini terlihat puas dengan kerja keras anak buahnya. ”Lipstik kamu kok pudar? Habis ngapain sama si Bos?” tanya Vina melihat riasan sahabat barunya sedikit pucat. ”Sesuai apa yang kamu pikirin,” jawab Raya cuek. ”Dasar penganten anyar, sini aku kasih lipstik lagi.” Ternyata tak hanya lipstik yang Vina poles di wajah Raya, namun kini seluruh riasan natural di wajahnya sedikit demi sedikit Vina ubah.
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la