BAGIAN 96
POV DONI SUBRATA
WAJAHNYA SEPERTI KENANGAN TERINDAHKU
Dadaku terasa nyeri ketika ambulans menjauh dengan raungannya yang nyaring. Ada debar yang tak biasa. Ada kekalutan yang tak semestinya. Bodoh! Mengapa aku sesentimental ini? Bukankah sebagai aparat penegak hukum, seharusnya aku bersikap profesional?
Gontai langkah kakiku berjalan menyusul tim forensik rumah sakit yang juga ikut ke TKP untuk mengambil tulang belulang korban pembunuhan di lantai sembilan. Kepalaku kini terasa kacau. Rasa cemas itu tiba-tiba merasuk ke relung jiwa. Ribuan pertanyaan berkelebat di kepala. Zulaika, kenapa bisa wajahmu begitu mirip dengan Anindya, mantan pacarku sewaktu SMP dulu? Tidak mungkin kamu reinkarnasi gadis yang telah meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor itu, kan? Lagian, mana
BAGIAN 97POV ARIODENDAM KESUMAT Pukul 05.00 pagi, mobil travel yang membawaku, sampai tepat di depan rumah sakit tempat Mami dan Ika dirawat. Aku turun setelah berpamitan kepada sopir dan dua orang lelaki yang juga menumpang mobil Kijang Innova warna hitam tersebut. Kuseret koper besar berisi pakaian dan seluruh kitab-kitab yang kubawa dari pesantren. Sedang ransel hitam yang juga kuisi dengan beberapa helai pakaian maupun buku tulis, kini terasa berat membebani kedua pundak. Sepanjang perjalanan di mobil travel, perasaanku memang sudah tak keru-keruan. Terlebih ketika kami mampir salat Subuh di mushala pom bensin. Sepanjang sujud, hanya banjir air mata saja yang mengalir dari kelopak ini. Kedua mataku sampai bengkak saking banyaknya menangis. Tak lain dan tak bukan, hanya Mami dan Ik
BAGIAN 98POV YESLINDIUSIR SEPERTI HEWAN “A-aku—” “Dia juga bilang kalau dia adalah pacarmu! Apa-apaan kamu ini, Yeslin? Cepat keluar! Selesaikan semua keributan di luar!” A Riswan menarik kasar tanganku. Membuat tubuh ini hampir terjerembab. Aku sontak menoleh ke arah Mama. Meminta pertolongan kepadanya, tetapi beliau malah terpaku dengan wajah yang sangat syok. “Lepaskan! Lepaskan aku!” teriakku keras sambil memberontak. Namun, tenaga A Riswan sangatlah besar. Tubuhnya tinggi dan besar, membuatku tak berdaya ketika dirinya menyeretku ke ruang tamu. Aku syok. Kaget bukan kep
BAGIAN 99POV BONAVENTURAMUSUH DALAM SELIMUTEnam bulan sebelum kejadian “Sial!” rutukku pelan sambil melihat ke arah meja paling depan, di mana ada dua sejoli muda mudi baru saja datang dan duduk bermesraan. Keduanya saling hadap-hadapan, di mana yang perempuan menatap mesra ke arah pacar lelakinya yang sepertinya sebaya. “Dad, kenapa?” Elang, anak bungsuku bertanya. Lelaki remaja yang semakin terlihat dewasa dan tampan itu, mengernyitkan keningnya saat aku tak sengaja memaki dengan suara yang lirih. “Eh, tidak apa-apa. Cepat habiskan makananmu. Sopir Daddy sudah menunggu di bawah.” Aku memaksa Elang untuk menghabiskan hidangannya. Semangkuk ra
BAGIAN 100POV BONAVENTURA ADITIORAHASIA JOHN “Hei, apa hubungannya Zulaika dengan kau berhenti menjadi pesuruhku? Kau lupa dengan kebaikanku selama ini? Kau lupa, siapa yang mengangkat derajatmu?” Aku membentak dengan suara lantang. Kutinju sandaran jok di depanku dengan perasaan yang begitu kesal. Sialan, John. Bisa-bisanya dia mengancam di saat begini. “Aku berhak untuk menolak tugas darimu, bukan? Kalau Bos tetap memaksa, maka aku akan mundur, terlepas karena budi baikmu selama ini. Bukankah aku juga punya budi baik yang bahkan tidak akan mampu kau tebus, Bos? Salah satunya adalah ketika aku berhasil membunuh mertuamu yang pelit itu. Aku tidak meminta upah satu sen pun. Kamu harus ingat itu.” John menjawabku dengan berani. Tak ada nada gentar di suaranya.
BAGIAN 101POV ZULAIKADUA PRIA BERDASI “Berita yang bagus, Ika. Itu adalah azab yang pantas untuk mereka berdua. Aku senang mendengarnya.” Ario yang berdiri di samping tempat tidurku menyeringai senang. Wajah bercahaya milik cowok 16 tahun yang tubuhnya semakin tinggi semampai tersebut tampak berseri-seri. Kami ternyata merasakan hal yang sama. Berbahagia di atas penderitaan Papi dan Tante Yeslin yang kini telah menuai balasan setimpal masing-masing. Kulihat sekilas, Mami yang semula menasihati, kini wajahnya pun ikut menarik seulas senyum samar. Aku yakin bahwa Mami jelas merasa turut berbahagia ketika kedua anaknya yang penuh luka trauma ini, sekarang bisa tersenyum melihat orang-orang yang menjahati kami telah dihukum oleh Tuhan. Hanya saja, mungkin bahagia Mami tak bisa
BAGIAN 102POV ZULAIKABAYANG-BAYANG SEL “Zulaika, jangan menangis,” kata Pak BB kepadaku ketika air mata ini tanpa bisa kutepis, luruh deras dengan sendirinya. Hatiku benar terluka. Siapa yang tak sedih ketika pacar yang dia sayangi, ya, meskipun memang sesekali aku mencuranginya, kini pergi tanpa sepatah pesan pun. Mengapa Jo harus pergi tanpa sepengetahuanku? Apa sulitnya mengabari atau berusaha untuk menemuiku dulu di rumah sakit sebelum terbang? “Om, aku … sangat kecewa,” kataku lirih sambil menyeka pelan air mata. “Sabar, Zulaika. Jo pergi untuk melanjutkan sekolahnya. Dia ke
BAGIAN 103POV LUKAS HADINATADURI DALAM DAGING Plak! Tamparan kuat itu kuhantamkan ke wajah Jo, anak semata wayang yang semula kupikir bakal menjadi ujung tombak penerus keluarga. Lelaki itu terperanjat ketika mendapati tanganku yang tiba-tiba melayang, tanpa aba-aba terlebih dahulu. “Pa, belum puas menyakitiku?” Anak itu malah memberikan perlawanan. Menatapku dingin dengan kata-kata yang ketus. Siapa yang mengajarinya begini? “Anak tidak tahu diuntung! Berani-beraninya kamu membantah. Kamu pikir, siapa yang selama ini menghidupimu?!” Kuteriaki Jo dengan sangat lantang. Ruang tamu besar dengan
BAGIAN 104POV ZULAIKAANTARA DUA PRIA “Jangan nangis, ya. Udahan sedihnya. Sekarang kamu sarapan dulu.” Mas Doni kembali menasihatiku. Membuat getar-getar di dada ini semakin nyata adanya. Aku pun menyeka air mata perlahan. Mengangguk, kemudian menatap ke arah Airo. Kuberikan kode kepadanya agar dia lekas menyuapiku. “Dek Ario, kamu coba suapi Ibu saja. Biar Mas yang suapi Mbak Zulaika.” Deg! Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Aku terperanjat. Mas Doni, kamu bercanda? “Oh, oke, Mas.” Ario
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb