BAGIAN 82
POV ZULAIKA
DESING PELURU
“Nah, sekarang giliran rencana eksekusi Danu. Sebentar, aku mau telepon John dulu.” Usai pecahnya tawa yang mengguncang perasaanku, Daddy kini berkata kalau dia akan membuat rencana untuk menghabisi Papi. Dalam hati aku bersorak. Silakan saja kalau Papi mau dibunuh. Makin cepat makin bagus! Rasakan Tante Yeslin, kamu akan segera kehilangan suami sekaligus ayah dari jabang bayi yang tengah berada dalam kandungan! Mampus kalian. Akhirnya, kehancuran rumah tangga sialan itu akan terjadi juga.
“Diam dulu, ya.” Daddy memberi peringatan untuk kedua kalinya kepada Rose. Apakah dia sebodoh itu sampai harus dua kali dikasih tahu? Cuih, selera baru Daddy sungguh rend
BAGIAN 83POV ZULAIKARUNTUHNYA MASA DEPAN “Argh!” Daddy berteriak histeris bertepatan dengan tumbangnya tubuh gemuk itu ke lantai. Dengan mata kepalaku sendiri, darah bercucuran dari betis kanan dan kirinya. Senjata api yang dia pegang pun terlepas dari genggaman. Lelaki itu tersungkur. Lumpuh seketika hanya dengan tiga kali tembakan dari polisi yang kini timah panasnya bersarang di bertis maupun paha miliknya. Rose yang juga ikut histeris, kali ini tak bisa berbuat apa pun. Gadis itu langsung tiarap di tempat dan menerima konsekuensi bahwa kini kedua tangannya telah diborgol paksa oleh seorang polisi berkepala plontos dengan wajah yang menyeramkan. Sedangkan Daddy, menangis kencang terlebih dua orang p
BAGIAN 84POV ZULAIKAMUNCULNYA TERSANGKA BARU “P-pak … tolong kasihani aku. Badanku luka-luka dan sakit semua. Aku juga lapar, butuh makan,” mohonku sambil memelas kepada para polisi. Apa yang kukatakan memang tak ada dustanya. Aku jujur. Namun, lebih kudramatisir lagi supaya mereka mau mengizinkanku untuk dibawa ke bawah menuju rumah sakit. Yang paling kuinginkan saat ini adalah berjumpa dengan Mami dan Jo. Aku ingin menatap wajah mereka berdua, sebelum … aku masuk bui dan kemungkinan ditahan untuk waktu yang lama. Dua orang polisi di depan ambang pintu sana saling bersitatap. Tinggal mereka bersamaku dan seorang perawat yang ada di ruang tamu ini. Sisanya sudah mengangkut Daddy dan Rose, serta memeriksa bagian dalam kamar milik tuan rumah. 
BAGIAN 85POV ZULAIKAMALAIKAT PENYELAMATKU Polisi berkepala botak dan rekannya yang berseragam hitam pun keluar dari kamar mandi. Mereka berjalan menuju ruang tamu, mungkin karena mendengarkan keributan dari sini. Perawat di sebelahku yang memiliki wajah berbentuk persegi dengan dagu berbelah tersebut lalu cepat-cepat kembali membersihkan luka-luka milikku. Aku pun pura-pura tak melihat mereka dan memilih untuk menatap kerja sang perawat. “Ada apa rupanya, Don?” tanya polisi yang membawa senjatta laras panjang tersebut. “Ini, Ndan. Manager pengembang apartemen. Dia marah saat mau dibawa ke kantor untuk diperiksa. Kenapa harus marah kalau memang tidak bersalah?” sindir Doni dengan suara yang
BAGIAN 86POV ZULAIKAAIR MATA JO “Ners, ini mulutnya lumayan jontor. Makan bubur tidak apa-apa, kan?” Doni bertanya kepada perawat yang duduk di hadapan kami dengan suara lembut, ketika bubur ayam yang dia pegang tengah diaduknya pelan dengan sebuah sendok plastik. “Iya, Pak. Boleh. Setelah makan saya kasih gentian violet. Kebetulan ada di tas P3K. Kita oles pelan-pelan luka di bibirnya.” Aku menoleh sesaat ke arah Doni. Memperhatikan pria yang memiliki rahang tegas dengan warna kulit yang sangat ‘laki’ tersebut kini mengangkat sendok berisi sediki bubur di ujungnya dan hendak menyuapkan padaku.
BAGIAN 87POV ZULAIKATERIMA KASIH, MAS “Ners, bawa kita bawa Zulaika ke bawah. Dua mobil ambulans sudah standby di bawah.” Setelah berpuluh menit Doni di luar, dia tiba-tiba masuk sambil memberikan perintah kepada perawat yang duduk di depanku. Lelaki yang tengah memainkan ponselnya tersebut, segera mengangkat wajah, kemudian mengangguk siaga. “Siap, Pak.” Perawat berseragam serba putih tersebut segera mengemaskan tas P3K miliknya. Sisa paracetamol dan gentian violet yang sudah diberikan kepadaku langsung dimasukannya kembali. Pria itu lalu membopongku untuk naik ke atas kursi roda. Sementara itu, Doni hanya diam saja di ambang pintu. Memperhatikan kami berdua dengan muka datar. 
BAGIAN 88POV MAMIJERUJI BESI “Sudah mati? Papimu mati?” Berulang kali aku menekankan kepada Zulaika yang terduduk lemah di atas kursi roda dengan wajah babak belur di hadapan. Kutatap gadis itu dengan rasa tak percaya yang luar biasa. Zulaika mengangguk. Membuatku kali ini benar-benar harus yakin dan percaya bahwa sosok mantan suamiku tersebut memang sudah meninggal. Kenapa dia bisa mati, sekali lagi itu masih bercokol di kepalaku. “Bagaimana bisa?” tanyaku sambil menatap Zulaika lekat-lekat. “Daddy … yang membunuhnya.” 
BAGIAN 89POV JOAPA PUN KUKORBANKAN UNTUKNYA “Sampai keluar air mata segala, Jo?” Pak Dewa, penyidik yang duduk di depanku mengangkat alisnya. Lelaki berkemeja flanel warna mustard itu langsung memasang muka heran. “Eh, maaf, Pak. Terbawa suasana,” kataku sambil buru-buru mengusap air mata. “Aktingmu, Jo! Luar biasa. Aku sampai ikut bohong segala kalau kamu cuma diam dan nggak mau ngomong sampai pengacarmu datang segala! Awas ya, kalau setelah ini timbul opini kalau polisi reskrim jahat-jahat!” Pak Robi, seorang buser berpenampilan seperti preman dengan rambut gondrong ikal sebahunya, menepuk pundakku agak keras. Aku hanya bisa tersenyum kecil, merasa tak enak hati
BAGIAN 90POV YESLINDANUKU MALANG, DANU KUTENDANG “Mas Danu! Mas Danu! Bangun, Sayang! Kamu nggak boleh ninggalin aku dan calon bayi kita!” Teriakanku begitu histeris ketika jenazah Mas Danu datang diantar oleh ambulans hitam setelah proses autopsi di rumah sakit selesai. Sekitar pukul 19.00 mayatnya datang diiringi pekik raung sirine pengantar kematian. Aku menangis tak keru-keruan sejak kabar itu sampai ke telinga siang tadi. Namun, tentu saja kalau ini hanyalah sebuah … kamuflase. Apalagi kalau bukan untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar. Terbukti, para tetangga langsung berdatangan ke sini. Sibuk menghibur dan memberikan perhatian ekstra. Belum lagi keluarga besar Mas Danu yang langsung berangkat dari kampung halaman mereka menuju sini. Mama bersama dua
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb