BAHAGIA PAPI, BAHAGIAKU JUA
POV ZULAIKA
“Mami akan berhenti bekerja. Sidang cerai pertama kami Senin besok akan digelar. Jadi, kalian harus membiasakan hidup tanpa laki-laki tidak bertanggung jawab itu.”
Kalimat Mami menjadi pembuka dalam pagi Minggu yang suram. Sarapan di depan meja menjadi semakin hambar. Aku yang memang tak suka masakan-masakan Mami, memutuskan lebih baik tidak menyentuh hidangan di hadapan.
Aku dan Ario hanya bisa saling pandang. Kami tak menjawab apa-apa. Lebih baik diam. Toh, pendapat kami tak akan membuat perubahan apa pun.
“Ika, Ario. Ayo, lekas makan. Setelah itu, bantu Mami beres-
BAGIAN 13TERSIBAKNYA TABIR RAHASIAPOV ZULAIKA Sarapan yang Papi buatkan langsung tandas. Aku kenyang. Saat aku hendak mengambil minum di kulkas, aku terpana untuk ke sekian kalinya dengan rumah ini. Isi kulkas Papi sangat lengkap. Macam-macam pilihan minumannya. Ada jus kemasan, susu UHT, dan beberapa yoghut berbagai rasa. “Enak sekali di sini. Pasti Tante Yeslin yang siapkan. Perhatian sekali dia sama papiku,” ujarku dengan hati yang sedikit perih.Seharusnya, Mami bersikap begini. Kalau saja Mami penuh kasih, perhatian, dan tidak mengabaikan Papi, perceraian itu pasti tak akan pernah terjadi. Sekarang, sejak Papi meninggalkan rumah, kami sudah mulai kacau balau. Mami yang baru berwacana buat berhenti kerja tapi masih saja sibuk seharian di kantor, lupa untuk menyi
POV ZULAIKATERJEBAK DALAM KUBANGAN HITAM Papi membelikanku sebuah gaun selutut dengan kedua lengannya yang buntung. Gaun itu berwarna peach dengan bahan brokat tembus pandang yang dilapisi puring. Namun, lapisannya hanya sampai paha saja, sehingga dari paha sampai ke lutut tampak transparan. Astaga, ini terlalu minim. Aku merasa kurang pede dengan pakaian begini sebenarnya. Seperti orang yang mau pergi ke pesta ulang tahun saja. “Pi, ini nggak berlebihan?” tanyaku sambil keluar dari kamar pas. Papi malah senyum. Dia mengacungkan kedua jempolnya ke depanku. “Bagus! Keren sekali. Pas di tubuhmu. Ambil yang itu saja. Warnanya juga manis.” Papi seperti sangat bangga atas baju pilihannya tersebut. Aku s
AKU PUN BISA, PI!POV ZULAIKA Bagaikan dihipnotis, aku tak bisa mengelak sedikit pun. Hanya patuh yang bisa kulakukan. Terlebih saat melihat delikan mata Papi. Rasanya tak seujung kuku pun diriku dapat berkutik. Kurogoh tas selempang hitam yang kuisi dengan dompet, ponsel, pulpen, dan sebuah buku catatan kecil tersebut. Dari dalam tas yang kusampirkan di bahu kiri tersebut, kukeluarkan ponsel milikku. Gemetar tangan ini tatkala harus membuka galeri ponsel demi menunjukkan kepada pria di samping kanan yang terus melekap di tubuh, tentang foto diri dari Aga Suryatma, pacar sekaligus cinta pertamaku. “I-ini …,” ucapku dengan bibir yang gemetar.
RENCANA EKSEKUSI ITU NYATAPOV ZULAIKA Tak perlu memakan waktu lama, aku langsung nyaman dengan Pak Bona. Bagiku, lelaki itu hangat dan sepertinya bakal menuruti segala pintaku. Bagiku, bukankah ini menyenangkan? Saat hubungan kedua orangtuaku retak dan hancur, ternyata secerca harapan untuk hidup bahagia itu dating dan membuatku kembali semangat. Menjadi seorang simpanan, gundik, atau sugar baby, tampaknya bukanlah soalan di zaman modern begini. Kakak kelasku, Stevy, dengar-dengar dia pacaran dengan om-om kaya. Meskipun hanya rumor, tapi penampilan Stevy sangat meyakinkan. Dia cantik, bergelimang harta, dan kalau pergi ekstra sering bawa mobil mewah. Kalau bukan jadi sugar baby, mana mungkin dia bisa seperti itu, karena kata Sarah yang pernah dekat dengannya, Stevy bukan anak orang kaya. Bapaknya hanya kuli pabrik, sedang ibunya jualan pakaian. Sepertinya, aku akan mengikuti jejak kakak kel
MENJAGA JARAKPOV ZULAIKA “M-maaf, Tante. Tadi pagi … kami sudah putus. Aku dicaci maki oleh Aga habis-habisan. Aku tidak bisa ke sana. Aku mohon maaf.” Segera kumatikan sambungan telepon sebelum Tante Tiffa berbicara panjang lebar. Maafkan aku, Tante. Keluarga kalian memang cukup baik, meskipun orangtuaku tak pernah tahu tentang kalian. Namun, sepertinya aku harus segera menjauh, demi keselamatan nyawaku sendiri. “Ada apa, Sayang?” Pak Bona melangkah mendekatiku. Memeluk tubuhku erat sambil membelai-belai rambutku mesra. “Aga … pacarku. Dia sedang kritis di rumah sakit. Apakah Daddy …?” 
SEMUA DUSTA YANG KUBALUT GULAPOV PAPI DANU “Mas, ke mana aja kamu? Aku nunggui dari sejam lalu!” Yeslin, kekasih hati yang sudah tiga tahun belakangan ini kupacari, menggerutu sambil memasang wajah masam. Wanita 27 tahun bertubuh sintal dengan rambut panjang yang ditata ikal gantung tersebut bangkit dari sofa. “Maaf, Yes. Aku tadi … ke tempat Pak Bona.” Wanita itu berubah wajah. Terlihat berkurang masamnya. “Apa kata dia? Kamu jadi naik jabatan, kan?” Gadis itu mencengkeram lenganku. Kuku-kuku panjangnya terasa menusuk sampai ke kulit. “I-iya ….” Agak terbata aku
POV ZULAIKAKENA JUGA BATUNYA! Aku pun tak membuang waktu lagi. Langsung kukirimkan alamat, nomor ponsel, foto, dan segala data mengenai Sarah Adiba kepada Pak Bona. Sarah memang harus mendapatkan sebuah ‘hukuman’, supaya dia tidak asal mengancam saja. Kami berteman sejak kelas tujuh, tapi mengapa dia tiba-tiba jadi seperti ini kepadaku? Menaruh curiga berlebihan sampai bersikap terlalu posesif begitu. Jelas, dia menjadi ancaman tersendiri untukku. Bagaimana kalau dia berhasil menguak rahasia besarku ini? Oh, tidak boleh! Mana ada yang boleh tahu kalau aku sekarang menjadi simpanan seorang CEO tua bangka. [Dad, aku mohon maaf karena sudah banyak merepotkan Daddy. Aku janji, ini permintaanku yang terakhir untuk melenyapkan orang.]&nb
SEKARANG GILIRAN TANTE YESLINPOV ZULAIKA Tangis dari para pelayat di rumah Sarah terdengar penuh duka. Terlebih saat jenazah gadis itu tiba dari rumah sakit dengan diantar oleh mobil ambulans. Keluarga yang telah menanti hampir semuanya menjerit histeris. Aku bisa merasakan kehilangan yang begitu kental di rumah ini. Aku pun juga ikut menangis, tapi saying itu hanya kamuflase saja. Mami, aku, dan Ario memilih untuk duduk di ruang tamu yang sudah lega tanpa perabot. Memperhatikan jenazah yang sudah dibungkus dengan kain kafan dan dimasukan ke dalam peti itu diletakkan di tengah-tengah ruangan. Aku sedikit mengintip ke dalam peti yang tak ditutupi. Tampak noda darah tembus ke kain kafan. Itu bagian kepala. Dugaanku, banyak luka di sana. Mungkin saja, tengkoraknya pecah karena menghantam aspal a
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb