BAGIAN 118
POV DONI SUBRATA
CUKUP TAHU DIRI
“Nggak perlu minta maaf, Mas. Cukup mundur aja dari hidupku, aku udah senang banget!”
Zulaika menepis kasar tanganku. Dia mendengus kesal, kemudian ngebut masuk ke kamar dengan langkah terburu. Bunyi gedebum dari pintu yang dibantingnya pun terdengar memenuhi telinga.
“Mas Doni, maafkan Ika. Seperti biasa, dia tengah mood swing.” Bu Rima bangkit dari tempat duduknya. Mendatangiku dan terdengar seperti ingin melipur kecewa.
“Bu, sepertinya aku memang harus mundur.” Aku tertunduk lemas sambil menarik napas dalam.
 
BAGIAN 119-APOV ZULAIKABINGKISAN TERINDAH Siang itu, aku, Mami, dan Ario diantar pulang oleh Bu Jenny dengan mobil pribadinya. Sedangkan dua pengacaraku bersama beberapa anggota timnya yang lain pulang dengan mobil mereka masing-masing. Pak BB sempat meneleponku ketika kami diperjalanan. Beliau memberi pesan agar sekitar pukul 18.30 aku sekeluarga sudah bersiap-siap di rumah untuk kemudian dijemput oleh mereka. Ketika aku bertanya ada apakah gerangan, beliau hanya menjawab kalau ada surprise nantinya. Meskipun suasana hatiku sempat dongkol karena perdebatan dengan Mami, tetapi saat mendengarkan telepon dari Pak BB, suasana hatiku pun langsung membaik drastis. Namun, satu hal yang masih membuatku agak resah. Jo yang tak kunjung membalas direct message dan tak kelihatan online di Instag
BAGIAN 119-BPOV ZULAIKABINGKISAN TERINDAH “Lillahi ta’ala, Mi. Ika nggak bohong,” kataku hampir menitikan air mata. “Masyaallah, selamat Ika. Aku ikut senang dengarnya.” Ario langsung merangkul dan menempelkan kepalanya ke pipiku. “Dia ingin jadi muslim bukan karena paksaan dariku, Mi. Semua dari hatinya yang paling dalam.” “Alhamdulillah,” lirih Mami sambil mengangguk senang. “Pak Lukas tahu?” tanyanya penasaran. Aku menggeleng sembari mengusap lembut ujung kelopak yang mulai menggenang sedikit
BAGIAN 120-APOV ZULAIKARASA TAK TERIMA ITU ADA Seketika aku pun mempercepat makan. Menghabiskan seluruh isi piring dan tak lupa menandaskan jus yang telah disiapkan Mami. Aku tak banyak bicara. Berniat selepas ini baiknya langsung masuk kamar saja. Buat menghindari Mas Doni. “Ika, setelah ini bantu Mami beresin ruang makan, ya? Mami mau ngejamu Mas Donimu. Stok ayam sama tempe ungkep masih ada di kulkas. Tinggal goreng aja.” Yah, Mami malah meminta hal yang paling kubenci. Padahal, aku sudah bersiap buat membawa perkakas kotor bekas makan ke wastafel untuk dicuci, lalu kabur masuk kamar. “Harus Ika
BAGIAN 120-BPOV ZULAIKARASA TAK TERIMA ITU ADA “Siap, Bos. Doain aku, ya.” “Iya, Ika sayang.” Cowok yang lebih tinggi tubuhnya sekitar sepuluh sentimeter dariku tersebut tersenyum begitu manis. Pria 177 sentimeter tersebut memang begitu menawan. Beruntung aku punya adik kandung seperti Ario memang. Sayang sekali, kakaknya malah kadung rusak. Mungkin, di luar sana dia akan malu mengakui kalau aku ini kakaknya. Piring-piring telah selesai kami cuci bersama. Perintah Mami selanjutnya ada membereskan meja makan, lalu menyiapkan piring-piring baru yang telah kering. Sedang beliau kini sibuk menggoreng ayam dan tempe yang diamb
BAGIAN 121POV ZULAIKADO YOU FEEL THE PAIN? Perempuan cantik dengan riasan nude itu melangkah mendatangiku. Wajahnya penuh senyuman. Wangi parfum mahalnya bahkan telah sampai duluan ke hidungku. Membuatku jadi teringat dengan ruang periksa poli jiwa yang saban awal bulan tak pernah absen kudatangi. “Bagaimana kabarnya, Cantik?” Dokter Farhana, spesialis kesehatan jiwa yang selama ini menanganiku, memeluk dengan hangat. Wanita lajang yang kudengar sudah berusia 33 tahun tersebut begitu ramah tamah, seperti biasa saat aku hadir di ruang kerjanya. “B-baik … Dok,” jawabku tergagap dengan napas yang terasa sesak. Apakah ini mimpi? “Minggu depan kita berjumpa lagi, ya. Sehat, kan, Dek?” Dokter Farhana melepaskan peluknya, kemudian menatapku dengan senyum yang mengembang. Aku sampai terpana saking cantiknya mahluk di hadapanku ini. Sama sekali tak terlihat seperti wanita yang masuk kepala tiga. Satu kerutan pun tak mau be
121-BPOV ZULAIKADO YOU FEEL THE PAIN? “Insyaallah dua minggu setelah lamaran, Bu. Lusa kain untuk acara akad dan resepsinya saya antar ya, Bu. Soalnya kainnya baru sampe besok atau lusa. Susahnya acara dadakan, tapi Alhamdulillah saya bersyukur banget bisa dapat jodoh yang nggak disangka begini.” Kedua insan itu lalu saling tatap. Mereka begitu hangat ketika berpandangan. Aku merasa jadi batu karang di antara mereka. Apa gunanya aku di sini, sih? Apa nggak sebaiknya aku masuk kamar aja? “Selamat ya, Dok. Aku ikut senang,” kataku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke dokter Farhana. “Makasih ya, Sayang. Makasih juga udah sering doain saya supaya segera menikah. Doanya Dek Ika sama maminya ternyata langsung diijabah Allah.” Dokter Farhana lalu menjabat tanganku dan memeluk erat lagi. Dia seperti ingin menunjukan betapa bahagianya dirinya sekarang. “Sama-sama, Dok. Mas Doni orang yang baik. Setahun kenal beliau,
BAGIAN 122-APART RAHASIAENDINGPOV ZULAIKAAKHIR SEGALA KEPEDIHAN “Ika, kenapa, Nak!” Mami terkejut bukan main dan mendadak merangkulku. Aku tak menjawab. Bibir seakan rapat terkunci. Aku menggigil dalam pelukan Mami. “Moodstabilizer dan antidepresannya hari ini sudah diminum, Bu?” Terdengar olehku suara panik dari dokter Farhana. Mendengar itu, aku malah makin muak. “Jangan ikut campur!” pekikku sambil berusaha untuk lepas dari pelukan Mami. “Ika, jangan bicara begitu! Hormati dokter yang sudah mengobatimu selama ini!” Mami meremas kuat kedua lenganku. Mengguncang tubuh ini sehingga membuat tangisku makin pecah. “Ibu, udah, Bu. Nggak usah dikasarin. Kasihan Ika.” Mas Doni kulihat terburu-buru bangkit dari kursinya. Pria itu melangkah cepat ke arah kami dan berusaha mengambil alih posisi Mami. “Ika, kenapa? Ada apa? Cerita sama Mas.” Mas Doni kini memegangi kedua bahuku. Tatapannya lembut, tetapi mal
Kaki yang semula lunglai, kini kuat untuk berlari. Mata ini pun langsung membelalak ketika melihat sosok yang berada di ambang pintu, tepatnya berhadapan dengan Mas Doni. Kulihat juga, Mami dan dokter Farhana kini berjalan menghambur ke sosok yang sedang membawa buket balon berwarna merah muda. “Jo! Jo!” Aku berteriak sambil terisak-isak. Laju langkah kakiku tiba-tiba menjadi terseok ketika sudah tiba di ruang tamu dan melewati sofa. Lelaki itu menerobos masuk, melewati Mami, Mas Doni, dan dokter Farhana. Sosok tinggi bermata sipit dengan rambut yang kini dipotong pendek rapi berbelah tepi itu menghambur kepadaku. Buket balon yang dia bawa sampai terjatuh ketika kedua tangannya terentang untuk menyambut. “Bee!” Tanpa sadar, aku telah berada di pelukannya. Lelaki yang mengenakan celana jin berwarna hitam dengan kemeja lengan panjang denim yang dilinting hingga siku serta dalaman berupa t-shirt putih polos itu menangis keras.
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb