Rasanya tak sabar menunggu Andika datang sambil membawa mocha hangat.
Beberapa kali aku meneleponnya, namun sambungannya selalu sibuk.
Mungkin dia sedang ngobrol di telepon.
Karena bosan sendirian, kucoba menghubungi Mas Yoga.
Namun, telepon Mas Yoga pun sama, tidak dapat dihubungi.
Oh iya, mungkin Mas Yoga sedang menelepon Mbak Laras.
Bukankah tadi memang ingin menelepon istrinya sekaligus memberitahu bahwa belum bisa pulang.
Sebenarnya aku ingin turun dari brankar, namun kepalaku sedikit berdenyut, sehingga kuurungkan niatku dan memilih untuk mengambil remot dan menonton salah satu acara di televisi.
Ku kecilkan volume televisi, sehingga aku tetap bisa mendengar jika sewaktu-waktu ada yang meneleponku.
Sengaja kuletakkan ponsel di bawah bantal.
Ketika tiba-tiba, kulihat seseorang berjalan mengendap mendekat ke pintu. <
-Ningrum-***Kuputuskan untuk datang kembali ke rumah sakit, setelah panggilan teleponku tidak dijawab Miranti, ada rasa cemas dan khawatir akan terjadi sesuatu padanya.Apalagi, Andika dan mas Yoga juga tidak sedang bersama Miranti.Kupacu langkah menyusuri koridor yang sedikit lengang, hanya beberapa perawat yang berpapasan denganku dan beberapa keluarga pasien yang kebetulan berada di luar ruangan.Dari jauh, tampak beberapa orang berkerumun di ruangan dimana Miranti di rawat. Terlihat beberapa petugas keamanan dan polisi berada di sana.Jantungku berdetak makin kencang, saat kulihat seseorang dibawa oleh polisi dengan tangan di borgol.Zen ....?Jantungku seakan berhenti berdetak, ketika orang dengan borgol di tangan berpapasan denganku.Mereka berlarian menuju ke tempat yang sama, ruangan dimana Miranti berada.Benar, dia adalah Zen.Apa yang terjadi? Kenapa di
"Mas Yoga ...." Panggilku lirih.Mendengar panggilanku, Mas Yoga menghambur dan memelukku."Kamu sudah sadar, Ranti? Syukurlah, terima kasih Tuhan."Mas Yoga menengadahkan kedua tangannya, sebagai rasa syukur. Kurasakan, mataku menghangat karena menahan haru, lalu perlahan mata yang tak kuasa menahan desakan air mata yang berontak keluar, membiarkannya meleleh, hingga membasahi kedua pipiku."Aku ingin pulang, Mas ... aku kangen Mama," ucapku lirih, sambil mengusap airmata."Tentu saja, Ranti. Sebentar lagi kita akan pulang."Dengan sedikit gugup, mas Yoga menjawab. Lalu, bergegas keluar ruangan. Kulihat mas Yoga mengusap air mata, yang tadi dia sembunyikan dariku.Mas Yoga menangis? Tapi kenapa? Bukankah aku baik-baik saja?Tidak berapa lama, mas Yoga kembali bersama dokter dan seorang perawat.Dokter menanyakan beberapa pertanyaan padaku, dan aku menjawab dengan lancar semua pe
Aroma mocha menguar keseluruh ruangan.Perlahan kubuka mata, mencoba beradaptasi sambil mengingat sesuatu. Ku edarkan pandangan mata keseluruh ruangan, dinding dengan cat berwarna putih mendominasi dengan gorden warna pastel.Membuat suasana ruangan menjadi adem.Mataku tertuju pada sebuah cangkir di atas meja.Hmmm ... mocha hangat, gumamku pada diri sendiri.Perlahan, kulangkahkan kaki menuju meja dimana secangkir mocha itu berada.Ku sibak gorden yang berada di dekat meja, tampak disana sebuah taman kecil dengan ayunan di tengahnya.Kembali kualihkan pandanganku pada secangkir mocha di atas meja, kusesap pelan. Begitu nikmat.Kupegang cangkir dengan kedua tanganku.Kembali, ingatanku melayang kebelakang.Entah sudah berapa lama aku meninggalkan kamar ini, namun tak ada yang berubah.&
"Miranti ... kamu mau makan sesuatu?" Andika menghentikan langkahnya, lalu menatap kearahku."Kamu lapar?" tanyaku balik, sambil menautkan kedua alis.'Ah ... kenapa aku harus memberi ekspresi seperti ini, bukankah Andika hanya bertanya' rutuk hatiku, menyesali jawaban yang kuberikan pada Andika.Andika sedikit kikuk, lalu dia berkata "Iya, aku lapar banget malah. Tadi waktu berangkat belum sarapan."Wajah Andika bersemu merah, membuat Miranti menarik bibirnya ke atas, hingga membuat garis lengkung yang di sebut senyum."Kok malah tersenyum, kamu ngeledekin aku?" ucap Andika, kedua tangannya dia silangkan di dada."Pliss deh, jangan merajuk. Ngga pantes banget! Muka sangar masa merajuk."Aku meledek Andika, hingga kami akhirnya tertawa bersama."Sebenarnya, aku ... aku, juga lapar," jawabku sambil menutup wajah.Dan disaat bersamaan, terdengar suara aneh dari perut.
Kami menikmati makanan dalam diam, perut yang tadinya terasa begitu lapar, kini seolah penuh dan kenyang. Dan kalimat dalam pesan itu masih saja terus berputar di dalam kepalaku. Aku yakin sekali, itu adalah pesan darinya.Tapi ... bukankah dia saat ini sedang berada di dalam penjara? Aku menggelengkan kepala mencoba mengusir bayangan dan pikiran negatif yang saat ini menari-nari di sana."Ranti ... di habiskan dong, jangan cuma di pantengin saja makanannya.""Oh, a--aku ...." Tergagap, aku menjawab, dan hal itu membuat Andika memutar tubuhnya hingga menghadap ke arahku. Tatapannya tajam menghujam ke jantung."Kamu sakit?" Andika mengulurkan tangan, menyentuh keningku dengan punggung tangannya."Aku tidak apa-apa," ucapku sambil menyentuh tangan Dika yang menempel di kening lalu menggenggamnya."Syukur ... kamu membuatku takut tadi.""Bukankah tadi kamu bilang untuk tidak khawatir, karena ada kamu bersamaku, bukan?" Aku memiringkan sedikit k
Aku memeluk kedua lututku yang gemetar.Bayangan kelam masa lalu, tentang seseorang yang pernah memporak-porandakan hidupku yang bahkan hingga saat ini masih terus menghantui kembali muncul di benakku."Ranti ... kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu? Andika mengguncang tubuhku dengan panik.Sementara itu, Ningrum berlari ke belakang, tak lama kembali lagi dengan membawa segelas air putih."Ranti, minumlah dulu, setelah kamu merasa tenang, kamu bisa ceritakan pada kami apa yang kamu rasakan."Ningrum mengulurkan segelas air putih padaku, pelan, kuteguk hingga menyisakan setengah dari isinya."Berbaringlah sebentar di sofa ini, supaya kamu lebih rilex."Andika membantuku merebahkan tubuh di atas sofa, kuatur nafas dengan menarik nafas dalam beberapa kali, lalu mengembuskan dengan pelan.Kupejamkan mataku beberapa saat, samar-samar, aku melihat sesuatu yang membuatku spontan duduk."Ranti ....!"Teriak Andika dan Nin
Andika masih menggenggam tanganku, ketika tiba-tiba ponselku berdering.Aku dan Andika saling tatap."Dika ....?""Tenang Ranti, itu hanya sebuah panggilan di ponselmu," jawab Andika menenangkan."Angkatlah ... kita akan cari tahu bersama-sama, siapa dibalik semua ini."Andika mengulurkan ponselku dan meminta agar aku menjawab panggilan itu.Dengan ragu, kuraih ponsel dari tangan Dika.Sementara ponselku masih terus berdering, dari sebuah nomer tanpa nama."Halo ...." ucapku begitu tombol hijau telah kutekan."Honey ... apakah kamu menyukai bunga yang aku kirimkan padamu?"Bagai petir di siang bolong, tubuhku terasa gemetar begitu mendengar suara di ujung telepon."Ka--kamu ...."! jawabku tergagap. Sementara Andika mendekatiku sambil memintaku untuk memperbesar suara hingga dia bisa ikut mendengar apa yang orang itu bicarakan.
"Miranti ... aku mampir ke kantormu, ya? Kita makan siang bersama."Kubaca pesan dari Andika beberapa waktu yang lalu, dan baru saja kubuka pesannya karena kesibukan di hari pertama bekerja.Aku menyandarkan punggung pada kursi, dan memainkan ponsel yang ada di tanganku, ketika sebuah pesan kembali masuk."Ranti ... kamu masih sibuk?" Tulis Andika lagi dalam pesannya.Kuputuskan untuk langsung meneleponnya.Tuut ... tuutt ...."Miranti." Andika berkata cepat, begitu sambungan telepon terhubung."Baiklah ... kamu bisa menjemputku."Kemudian, aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan.Seperti orang bilang, ketika kita sibuk, waktu begitu cepat berlalu tanpa kita menyadarinya.Tok tok tok ....Sebuah ketukan di pintu, kemudian pintu terbuka pelan.Adele muncul dengan membawa beberapa berkas yang harus ku tanda tangani.
Hari ini, rencananya mas Bayu akan datang ke rumah.Aku sudah bersiap-siap sejak pagi, karena semalam tidur awal, bahkan sejak sore, membuat tubuhku terasa lebih segar.Terlebih aku juga menadapat kabar bagus dari Ningrum ketika membuka ponselku."Ranti, Zen sudah dipindah ke kantor cabang, aku tidak bisa memecat dia karena urusan pribadi, terlebih, kita ada perjanjian kontrak dengannya. Jadi jalan terbaik adalah, memindahkan dia. Sementara Adele, aku merumahkannya untuk sementara waktu, sambil menunggu surat pemecatan dari HRD."Pesan yang di kirim Ningrum dan kubaca tadi pagi ketika bangun tidur.Ningrum benar, dan keputusan yang diambilnya juga sudah tepat.Lalu, dengan cepat aku menulis pesan balasan untuknya."Terima kasih, Ningrum. Kamu memang yang terbaik."Sambil kububuhi emo hati di pesan balasanku.Sekarang, aku tinggal bersiap-siap untuk menunggu kedatangan mas Bayu dan kejutan yang akan dibawanya hari ini.Kupilih
Aku meninggalkan ruanganku dengan perasaan campur aduk, rasanya, sulit sekali untuk memaafkan orang yang sama dan telah berkali-kali melukai hati dan perasaan.Aku lelah sekali, tak sanggup jika harus berurusan lagi dengan Zen.Aku dan dia sudah lama berakhir, dan akhir dari hubungan kami sangat tragis dan begitu menyakitkan, baik buatku ataupun dia. Dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Biarlah Ningrum yang akan mengurus semuanya, tentang keberadaannya di kantor, Ningrum lebih tahu apa yang harus dilakukan.Begitu juga dengan Adele, dia juga tidak bisa berlama-lama ataupun dipertahankan keberadaannya.Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ningrum, semakin cepat dia menyelesaikannya, semakin baik."Ningrum, tolong kamu urus semuanya, aku tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berhadapan dengan mereka.""Kamu baik-baik saja, kan, Ranti?" Tanya Ningrum khawatir."Aku baik-baik saja, Ningrum. Aku hanya butuh sedikit waktu
Kali ini, aku memastikan semua rencanaku berjalan dengan lancar.Aku tidak ingin menjadi pecundang dua kali dengan kasus yang sama, dan kupastikan, mereka yang terlibat tidak akan kuberi ampun.Hari ini, aku menunggu kabar dari orang yang kupercaya untuk mencari tahu tentang Adele, baru sehari bekerja, dia sudah mengirimiku beberapa laporan yang membuatku tersenyum. Kerjanya begitu cepat, hanya dalam hitungan jam, dia sudah memberiku beberapa informasi penting, termasuk siapa saja orang-orang yang dekat dengannya.Aku tertawa melihat salah satu foto yang kudapat darinya.Seperti yang kuduga dari awal, semua pasti berhubungan dengan Zen, dan itu juga menguatkan dugaan Andika yang pernah dikatakan padaku beberapa waktu lalu.Kupandangi layar laptopku sekali lagi, kemudian aku manggil Adele dan Ningrum ke ruanganku."Bu Ranti memanggil saya?" tanya Adele yang datang lebih dulu."Iya, aku membutuhkan bantuanmu untuk melakukan sesuatu untukku,
Aku masih tak percaya dengan pemaparan dari hasil investigasi Revan.Beberapa kali aku membaca huruf demi huruf yang tertera di atas kertas yang di serahkan Revan.Adele? Kenapa harus dia?Aku sama sekali tidak mengenalnya, bahkan sebelum ini.Kualihkan tatapanku pada Ningrum, berharap dia mempunyai jawaban untukku.Namun sia-sia, kulihat Ningrum malah mengangkat kedua bahunya."Baiklah, satu-satunya jalan untuk memastikan data itu milik Adele, kita harus kembali ke kantor.Dan ini tugasmu, Ningrum."Aku menatap Ningrum sambil tersenyum, karena semua data karyawan Ningrum yang pegang."Aha ... itu baru bener," ujar Revan sambil menjentikkan jarinya."Kenapa aku ga kepikiran sampai ke situ, ya?" gumam Ningrum."Minum ini dulu, biar jernih pikiran."Revan menyodorkan gelas berisi es teh pada Ningrum.Aku hanya tersenyum melihat tingkah dua orang temanku ini. Dari dulu, mereka memang tidak akur."Jadi bagaimana Nona-Nona? A
"Aku tahu, kamu makin ketakutan."Berkali-kali aku mengeja kalimat itu, mencoba memahami maksud dari status yang diposting Adele.Namun tetap saja, aku tidak mengerti maksud di balik kalimat tersebut.Seperti tersengat belut listrik, mataku membulat dengan lebar begitu aku teringat sesuatu.Aha ....Kurasa, aku tahu maksud kalimat tersebut.Bukankah kalimat tersebut sering ditujukan pada orang-orang dengan tujuan mengintimidasi? Dan itu adalah perasaan yang beberapa hari terakhir ini menghantuiku.Aku ditakut-takuti dengan cara mengirim pesan, dan mengoyak masa laluku.Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut pada diriku.Apakah Adele?Drtt ... drrtt ....Ponsel yang ku simpan di dalam laci bergetar.Sebuah pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau."Aku sudah menemukan siapa pemilik nomer tersebut, Ranti."Wow ... cepat sekali kerja Revan.Dia hanya butuh waktu kurang dari setengah hari untuk menemukan pemilik n
Pagi ini, kepalaku sedikit berdenyut, karena hampir semalaman aku tidak tertidur.Pesan dari nomer tak di kenal begitu menyita waktu istirahatku.Dia seolah benar-benar ingin membuatku merasa tidak tenang dengan pesan-pesan yang dikirimkannya."Ningrum, hari ini aku datang ke kantor agak siang. Kepalaku sedikit pusing."Aku memutuskan untuk ke kantor sedikit terlambat, dan memberitahukan pada Ningrum. Hal itu kulakukan karena Ningrum bisa mengambil tugasku untuk sementara, selama aku belum datang. Ningrum adalah orang kepercayaanku.Lima menit kemudian, masuk pesan balasan dari Ningrum."Hayo ... ngapain aja kamu semalam?"Aiih ... Ningrum sepertinya sedang meledekku.Ada emo curiga di akhir pesannya. Dia pasti berpikir negatif tentangku."Kepalaku pusing bukan karena keluyuran, tapi karena teror pesan dari nomer tidak di kenal," balasku cepat.Drttt ... drtt....Ningrum menelponku.Rupanya pesan balasanku membuatnya tergerak
Double date malam ini, memberiku sebuah kejutan dan juga pelajaran.Kejutannya adalah, wanita yang di kencani oleh mas Bagus selama ini ternyata adalah Ningrum.Aku yakin, baik mas Bagus maupun Ningrum juga tidak menyangka jika pasangan kencannya adalah oranf yang sudah lama mereka kenal.Sementara pelajaran yang kupetik adalah, perjuangan tidak akan menghianati hasil.Hal itu sudah dibuktikan oleh Ningrum dan mas Bagus.Mereka berjuang untuk mendapatkan pasangan yang baik, dan keduanya di pertemukan walau dalam kesempatan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Kini, hanya aku yang masih tertinggal.Masih terbelenggu dan terkungkung oleh trauma kelam masa silam.Walau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menyembuhkan dan melawan rasa ketakutan yang muncul dari dalam diriku, namun tetap saja, selalu terbersit rasa ketakutan dari dalam diriku sendiri.Bukan karena aku tidak bisa atau belum mampu melepaskan Zen atau meneri
"Miranti, Andika?" ucapnya pelan.Aku dan Andika berpandangan sesaat, lalu kami secara bersamaan berkata."Ningrum?"Setelah beberapa saat dibuat terkejut, spontan tawaku langsung meledak."Jadi, teman kencan Mas Bayu itu Ningrum?" tanyaku di sela-sela tawa.Mas Bagus ikut tertawa, sementara Ningrum menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Sejak kapan kalian kencan online dan saling kenal?" tanyaku lagi setelah tawaku reda."Sejak sebulan yang lalu, kami kencan online. Dan baru tahu hari ini kalau ternyata yang aku kencani adalah Ningrum."Mas Bagus menjawab pertanyaan, mendengar jawaban dari kakakku itu, kembali tawaku meledak. Aku tidak bisa membayangkan, reaksi pertama mereka pada saat tahu siapa yang mereka kencani selama ini."Kalian menggunakan akun palsu, ya?" tanyaku sambil mengedip-kedipkan mata ke arah Ningrum yang masih menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya."Iya, iya ... kami
Dengan pelan, Zen menarik salah satu kursi di depan kami, lalu dengan sedikit canggung, dia duduk berhadapan dengan kami.Aku sedikit menahan nafas ketika Zen menatapku.Rasa tidak enak hati dan ingin secepatnya menghabiskan sisa makanan dan pergi meninggalkan tempat ini.Zen sepertinya benar-benar mengikuti gerak gerikku.Karena, dia akan selalu muncul di hadapanku setiap kali aku bertemu dengan Andika, atau teman-temanku yang lain.Sepertinya, dia memang akan melakukan niatnya untuk bisa kembali bersamaku."Kalian sudah selesai, ya?" tanya Zen membuka percakapan, sambil melihat sekilas ke piring kami, yang memang hanya menyisakan sedikit makanan di sana.Sebenarnya bukan menyisakan, namun kami belum sempat menghabiskan dan Zen keburu datang."Begitulah, karena tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang."Andika menjawab, sambil menyuput jus yang tinggal setengah di dalam gelasnya.Sekilas, aku menangkap raut kesal di wajah Zen saa