Madeline tercengang dan bahkan tidak sempat menyangkal ketika Jeremy dengan lembut mengangkat dagunya, nafas hangat pria itu begitu dekat di wajahnya, menyebabkan jantungnya berdegup kencang. Ia mendengar sebuah tawa jahat. “Aku sudah mengatakan sebelumnya, bahkan jika kau mati, kau harus mati di tanganku.”Suara magnetis pria itu bergema di telinga Madeline bagaikan mimpi buruk.Madeline hanya bisa berdiri diam dalam kengerian menatap senyum jahat pria itu saat jantungnya berdebar kencang di dadanya. Jeremy tidak menyelamatkannya, pria itu hanya ingin membunuhnya sendiri!“Berikan anting-anting itu padaku,” Jeremy menuntut.Mengingat fakta bahwa pria ini pernah memusnahkan bukti yang bisa membuktikan ketidakbersalahannya demi Meredith, Madeline tahu ia sama sekali tak boleh menyerahkan anting-anting ini kepada Jeremy.Ia buru-buru berbalik namun ditahan oleh Jeremy.“Madeline, jangan membuatku mengulangi kata-kataku, berikan padaku." Nada bicara Jeremy menjadi lebih dingin.Madeline d
“Jangan lakukan itu! Jeremy!" Madeline berteriak, namun Jeremy mengabaikannya.Ia hanya bisa menatap pria itu yang mengangkat tangannya, dan melemparkan anting-anting penting itu tepat ke danau. Hati Madeline membeku, ia tidak punya kartu lagi untuk dimainkan.Namun, Tuhan mungkin benar-benar membantunya. Ada lapisan es tipis yang menutupi danau, dan anting-anting itu tidak tenggelam, namun malah mendarat di atas es!Jeremy jelas sangat tidak senang. Dia mengerutkan alisnya, mencoba memikirkan apa yang harus dilakukan saat dia tiba-tiba melihat Madeline berlari seperti angin.Jeremy menatap tak percaya saat Madeline tiba-tiba berlari seperti kesetanan ke arah danau, hanya untuk mengambil anting-anting itu. Es tipis itu cukup jauh dari bibir danau, dan Madeline tidak bisa mencapainya. Ia mencoba menemukan cabang pohon untuk mengaitkan anting-anting itu, tapi ia takut akan secara tidak sengaja mendorong anting-anting itu lebih jauh ke tengah danau. Melihat itu, Jeremy berjalan ke sampi
Dengan perasaan tidak senang Jeremy mengetuk pintu. "Madeline, buka pintunya.”“Jeremy, pergilah, aku tak ingin melihatmu." Madeline dengan dingin menolak pria itu.Ia menyembunyikan anting-anting itu sebelum mandi. Setelah berganti dengan baju kering dan nyaman, ia kemudian menyalakan pemanas ruangan, akhirnya bisa menghangatkan dirinya. Madeline melihat jam dinding, dan lebih dari setengah jam telah berlalu. Jeremy pasti sudah pergi. Ia berjalan ke pintu dan mendengarkan, memastikan ia tidak mendengar suara apa pun di luar kemudian membuka pintu. Saat ia membuka pintu, sosok Jeremy yang tinggi dan tampan berada tepat di depannya! Sekujur tubuh pria itu masih basah, bahkan air masih menetes dari rambutnya, dan ekspresinya tidak terlihat senang. Matanya yang dalam menatap Madeline, membuat jantungnya berdetak kencang. Ia tidak menyangka Jeremy tetap berdiri di depan pintu meskipun angin musim dingin bertiup kencang.Madeline terkejut, dan reaksi pertamanya adalah menutup pintu, namu
Langkah Madeline membeku, ia tak dapat mempercayai apa yang baru saja ia dengar, namun ia merasakan pegangan tangan Jeremy mengencang. “Linnie…”Jeremy memanggilnya Linnie.Nama yang begitu familiar namun terdengar asing. Tiba-tiba mata Madeline memerah, menatap wajah tidur Jeremy, perlahan pandangannya memburam. Mengingat kesempatan mereka untuk bertemu bertahun-tahun lalu, hati Madeline merasakan sebuah kerinduan.“Jangan khawatir, Mer, apa yang sudah aku janjikan padamu, aku pasti akan mewujudkannya…”Hati Madeline yang baru saja mulai menghangat seketika kembali membeku. Ia menggigit kedua bibirnya sembari menarik tangannya. Linnie yang Jeremy tangisi bukanlah dirinya, melainkan Meredith. Itu memang benar, Meredith saat ini menyebut dirinya Eveline Montgomery.Madeline merasa sangat terhina, menertawakan dirinya sendiri saat pergi meninggalkan ruangan. Ia benar-benar pantas menerima rasa sakit yang ia rasakan saat ini, bagaimana bisa ia merasakan apa pun untuk pria itu bahkan s
Dengan ekspresi tenang, Madeline berkata, "Mr. Whitman, tolong pergi setelah kamu selesai makan, akan lebih baik jika kamu berhenti datang ke sini mulai sekarang.”Jeremy tersenyum sambil menjawab, “Madeline, kenapa kau harus berpura-pura ingin aku menjauh darimu? Kau sangat menikmati ciumanku siang tadi!”“Jangan ungkit-ungkit itu lagi!" Kata Madeline, kehilangan kendali atas dirinya untuk sesaat. “Jeremy Whitman, kau sangat mengecewakanku.”“Terus kenapa? Itu tidak akan mengubah fakta bahwa kau mencintaiku.”Madeline sangat marah hingga rasanya ingin meledak. Hatinya sakit, begitu pula perutnya.“Aku pernah mencintaimu, tapi sekarang, bahkan disentuh olehmu membuatku jijik!”Mendengar kata-kata itu, makanan di mulut Jeremy tidak lagi terasa enak. Dia meletakkan sendok garpunya, bangkit, dan berjalan menuju Madeline.Madeline merasa ada yang tidak beres, jadi dia berbalik untuk melihat. Namun, Jeremy jauh lebih cepat, dengan kedua tangannya, pria itu menjepitkannya ke dinding. Madeli
Madeline kesulitan bernafas, wajahnya memerah saat memaksakan seulas senyum. "Fitnah? Jeremy, tahukah kau apa sebenarnya fitnah itu?”“Jeremy, ketika kau bermimpi sore tadi, apakah kau tidak memimpikan anak kita yang sudah meninggal? Apakah kesadaranmu tidak pernah sakit karenanya?" Madeline menatap pria dengan ekspresi campur aduk itu.“Anak itu bukan anakku." Dia berkata dengan gigi terkatup, matanya menatap dingin ke Madeline, namun ada sedikit keraguan di dalamnya.Madeline tertawa, air matanya jatuh di atas tangan Jeremy. Jeremy tiba-tiba merasakan panas yang tidak normal, membakarnya dan membuatnya melepaskan tenggorokan Madeline. Dengan perasaan tidak nyaman, dia menghindar dari tatapan Madeline, dan menyalakan mobil.“Kalau kau tidak ingin mati, berhentilah memprovokasiku.”Madeline menarik nafas dalam-dalam, tidak berbicara lagi.Setidaknya untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mati. Ia ingin terus hidup sampai wajah asli Meredith terungkap. Di bawah paksaan, Madeline d
Hatinya telah lama terluka hingga tak mungkin bisa pulih lagi, namun sekarang, orang-orang ini masih ingin terus menyakitinya. Eloise berbalik, menatap Madeline dengan tatapan penuh kebencian. “Madeline! Lihat apa yang telah kau lakukan pada Meredith. Jeremy adalah tunangan Meredith, tapi kau menggunakan cara tercela untuk merebutnya. Sekarang, kau bahkan menelepon Meredith dengan ponsel Jeremy dan mengatakan hal-hal tidak tahu malu itu untuk menyakiti putriku! Apa kau tidak punya rasa malu?!”Madeline akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi. Meredith merencanakan aksi pura-pura bunuh diri ini selama mereka berbicara lewat telepon ketika Jeremy sedang demam.Madeline mengerutkan kedua bibirnya sambil tersenyum pada Meredith. “Meredith, teruslah berbohong. Bukankah kau cuma berharap Jeremy dan aku akan bercerai agar kamu perempuan simpanan, bisa menggantikan posisiku? Bukankah itu kenapa kau melakukan ini? Kalau begitu, dengarkan aku. Bahkan jika aku mati, aku akan tetap memegang gel
Madeline menyaksikan janji Jeremy yang teguh pada Meredith. Hanya beberapa kata sederhana, namun membawa rasa sakit tak terbatas ke hatinya.Sepertinya mereka memang hanya cocok untuk saling meninggalkan. Air mata Madeline perlahan menggenangi pelupuk matanya. Ia melihat Meredith menatap Jeremy dengan wajah berurai air mata. “Jeremy, apakah kau mengatakan yang sebenarnya? Apakah kau sungguh-sungguh mau menikah denganku?”Jeremy menatap Meredith dengan lembut. ”Tentu saja itu benar. Aku pasti akan memenuhi janjiku.”“Jeremy, kita akhirnya tak perlu menyembunyikan cinta kita..." Meredith memeluk Jeremy dengan erat, dan menangis di dadanya.Meredith memalingkan wajahnya, mempertontonkan tatapan licik dan jahatnya pada Madeline.Di samping mereka, Eloise terlihat sangat gembira. Wanita itu kemudian melirik Madeline dengan pandangan penuh kebencian.Penderitaan dan rasa sakitnya mengancam akan tumpah ketika Madeline mengepalkan tinjunya. Ia berbalik, hendak pergi.Jeremy melirik ke arah Ma