Share

Terpisah Benua

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gita begitu bahagia mendengar keputusan Jingga. Tanpa membuang waktu, dia segera meminta Haedar untuk mengantarnya ke rumah Echa.

Satu jam perjalanan terpaksa ditempuh akibat macet, tapi Gita tak peduli. Dia tidak sabar bertemu Jingga dan membawanya pulang.

Sesampainya di rumah Echa, dia langsung disambut oleh Marini. "Perkenalkan, saya mama Echa," ucapnya sembari mengulurkan tangan pada Gita.

"Saya Gita, dan ini suami saya, Haedar," ucap Gita memperkenalkan diri seraya menyambut jabat tangan Marini.

"Terima kasih sudah bersedia membantu Jingga, Bu," timpal Haedar.

"Jingga sudah saya anggap sebagai anak sendiri, Pak, Bu. Saya sangat menyayanginya," ungkap Marini.

"Ah, senang sekali saya mendengarnya. Banyak yang menyayangi Jingga ternyata." Gita menyeka setitik air yang keluar dari sudut mata.

"Siapa yang tidak sayang dengan anak secantik dan sebaik Jingga." Marini turut berkaca-kaca melihat raut haru Gita.

"Saya izin membawanya pulang ke rumah. Ini alamatnya jika kalian ingin mengun
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pernikahan Sebatas Status   Hati Yang Tertaut

    "Kamu tidak perlu mengingatkanku akan hal itu, Markus," gerutu Ganendra. "Aku sudah fokus sekarang. Kita akan mulai mengurus semua perizinan besok. Kita akan membangun gedung penginapan, tepat di tanah yang kupijak sekarang, dengan seluruh jendela mengarah ke laut." "Di sebelah sana, kita akan membangun berbagai macam wahana," tunjuk Markus ke tanah lapang yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri. "Ini akan menjadi kerjasama yang bagus dan menguntungkan. Kamu memiliki tanah, sedangkan aku mempunyai uang," celetuk Ganendra. "Tanah ini memang atas namaku, tapi bukan milikku," ralat Markus. Kening Ganendra langsung berkerut, seraya menatap mantan pengawal kepercayaan Atmawirya itu dengan sorot tanda tanya. "Lalu, milik siapa?" "Pak Atmawirya," jawab Markus datar. "Apa? Itu artinya, tanah ini milik keluarga Wira ...." "Bukan!" potong Markus. "Pak Atmawirya membeli tanah ini menggunakan tabungan pemberian pak Respati Gumilar." Raut wajah Ganendra sontak berubah. "Apa?" desisnya

  • Pernikahan Sebatas Status   Padam

    "Kerja anda benar-benar luar biasa. Semua yang kubutuhkan ada di dalam sini." Ganendra membolak-balik lembaran berkas berisi data dan informasi penting tentang Dewandaru sambil tersenyum puas. Dia memang sengaja menyewa detektif swasta untuk menyelidiki masa lalu dan latar belakang Dewandaru yang menurutnya sangat misterius. "Saya juga sangat senang bekerja sama dengan anda," ucap detektif Jansen."Ke depannya, aku tetap akan memakai jasamu untuk beberapa pekerjaan penting," ujar Ganendra."Saya tunggu dengan senang hati," timpal sang detektif sebelum berpamitan dan berlalu dari apartemen Ganendra.Sementara Ganendra menutup pintunya sembari fokus kembali pada lembaran kertas yang baru saja dia terima. Berkas-berkas itu berisi tentang semua hal yang berhubungan dengan Dewandaru Hardiyata yang selama ini dikenalnya sebagai Anggada.Pria yang berhasil merusak rumah tangga Ganendra itu ternyata sudah tinggal di Inggris sejak lama, sesuai dengan yang pernah Atmawirya ceritakan kepadanya.

  • Pernikahan Sebatas Status   Boneka Lucu

    "Adik kandung?" Jingga langsung menghentikan langkahnya. "Dulu, waktu aku terpisah dari Ganendra, aku benar-benar terpuruk. Tidak sedetikpun aku tidak menyalahkan diriku karena terpaksa meninggalkannya. Aku selalu terbayang wajahnya saat terakhir kali kami bertemu," isak Gita. "Beruntung, Haedar selau menyemangatiku setiap saat. Aku sedikit terhibur, meskipun tidak bisa menghilangkan rasa sedihku berpisah dari Ganendra. Sampai dua tahun kemudian, aku dinyatakan positif hamil. Aku seperti merasa, Tuhan sedang memberikanku kesempatan kedua," ungkap Gita. "Jadi ... Pak Ganendra memiliki saudara," cetus Jingga lirih. "Iya, usia Ganendra dan Armas selisih tiga tahun. Namun, wajah Armas sangat mirip dengan Ganendra. Tuhan menciptakannya demikian untuk mengobati rasa rinduku akan Ganendra," ujar Gita. "Oh." Jingga tersenyum kaku, lalu mengangguk. Tak terbayang rasa galaunya ketika akan bertemu dengan seseorang yang memiliki kemiripan dengan Ganendra. Hal itu pasti akan membuat Jingga sem

  • Pernikahan Sebatas Status   Mencari Jingga

    "Pertanyaan macam apa itu, Ma?" Armas tertawa salah tingkah. "Kelihatannya kamu senang sekali dengan kehadiran Jingga di sini," goda Haedar. "Siapa yang tidak senang kalau anggota keluarga kita bertambah satu. Pasti suasana akan terasa lebih ramai," ujar Armas. "Apalagi kalau bayi kecilnya lahir. Kalian akan dibuat tidak tidur semalaman," kelakar Gita seraya tertawa. Jingga pun ikut tertawa. Betapa hangatnya suasana saat itu, berbanding terbalik dengan udara di luar yang hampir menyentuh suhu nol derajat celcius. "Semua ini menjadi sempurna seandainya Pak Ganendra ada di sini," celetuk Jingga tanpa sadar. Seketika keadaan menjadi hening. Semua mata memandang ke arah Jingga dengan sorot iba, terutama Gita. Wanita itu kembali menitikkan air mata. "Aku berjanji, kita akan menemukan Ganendra dan membawanya kembali ke sini, Nak," hibur Gita sembari mengusap lembut pipi Jingga. "Elio makan!" celetuk Elio, menyela pembicaraan serius itu. Jingga yang awalnya murung, menjadi tersenyum m

  • Pernikahan Sebatas Status   Sophia

    Ganendra begitu bersemangat menaiki taksi menuju tempat tinggal Jingga. Tak dipedulikannya rasa lelah atau jetlag karena sudah melalui perjalanan udara selama enam belas jam.Sesampainya di rumah penuh kenangan yang menjadi penyebab dia menikahi Jingga itu, Ganendra langsung membuka pagar kayu dan berjalan melintasi halaman depan.Rumah itu tampak sepi, padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh malam. Penasaran, Ganendra mengetuk pintu depan rumah Jingga kencang.Lukman yang tengah berada di kamarnya, langsung bergegas menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu, dia sempat mengintip dari balik tirai jendela.Paman Jingga itu terkesiap saat menyadari bahwa Ganendra lah yang datang mengunjunginya. Bukannya menghubungi Jingga atau Gita, dia malah menekan nomor kontak Dewandaru.Sejak Gita meninggalkan Indonesia, Dewandaru gencar sekali mendekati Lukman dan menasihati banyak hal tentang betapa buruknya sifat Ganendra.Tak berselang lama, teleponnya diangkat oleh Dewandaru. "Selamat malam,

  • Pernikahan Sebatas Status   Lamunan Jingga

    "Sophia ...." Mata indah Jingga kosong menatap sang putri yang tampak damai di gendongan. "Aku suka nama itu. Terima kasih, ya," ujarnya seraya mengalihkan pandangan pada Armas.Untuk sejenak, tatapan mereka saling beradu. Entah apa yang Armas rasakan, karena dia langsung memalingkan muka, berpura-pura menggoda Elio. Namun, Armas tak dapat menyembunyikan sikap salah tingkahnya.Begitu pula Jingga. Setiap kali melihat paras tampan Armas, dia selalu terbayang Ganendra. Dalam benak Jingga, dunianya pasti akan terasa sempurna ketika Ganendra hadir dan turut membesarkan putri mereka bersama-sama.Akan tetapi, kenyataannya kini, Jingga harus merawat seorang anak tanpa kehadiran Ganendra. Terbayang olehnya, sepulang dari rumah sakit nanti, dia akan menjalani peran yang benar-benar baru sebagai seorang ibu."Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanya Gita lembut, membuyarkan lamunan Jingga."Sa-saya tidak pernah merawat bayi sebelumnya," jawab Jingga malu-malu."Jangan khawatir, Sayang. Kamu tidak se

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

Bab terbaru

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

  • Pernikahan Sebatas Status   Gagal Move on

    Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

DMCA.com Protection Status