Mrs. Smule segera kembali ke ruangannya begitu tahu Afgan sudah keluar dari ruangan tersebut. Begitu masuk kembali ke ruangannya, dia melihat Adelia yang masih menangis, dengan wajah tertutup tangan di atas meja. Mrs. Smule merasa prihatin dan memutuskan untuk mendekatinya.
"Adelia, apa yang terjadi?" tanya Mrs. Smule dengan nada lembut, mencoba menenangkan wanita muda di depannya. "Mengapa pemilik hotel ini sepertinya sangat membencimu? Apakah ada yang dapat saya bantu?"
Adelia mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mengendurkan ketegangan yang ada dalam dirinya. Dia menghela nafas dan mencoba menjelaskan, "Kami memiliki pertengkaran besar, Mrs. Smule. Dia sangat marah padaku karena sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Semuanya begitu rumit."
Mrs. Smule mengangguk paham walau pun Adelia tidak menceritakan dengan jelas, dia tidak mau memaksa, malah dia merasa iba melihat kesedihan yang terpancar dari mata Adelia. Dia duduk di dekatnya dan menempatkan tan
Afgan dengan setia menemani Melinda yang lemah dan sakit sampai sore hari. Dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk sekedar menemui Adelia, karena perhatiannya sepenuhnya tercurah pada Melinda. Meskipun dalam hati, dia masih merasa bingung dan terombang-ambing antara dua perasaan yang rumit.Sampai akhirnya, ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Afgan memutuskan untuk mengantar Melinda pulang. Dia membantu Melinda berjalan pelan, merasa bersalah karena keadaan wanita itu yang terlihat begitu lemah."Terima kasih, Afgan," kata Melinda dengan suara yang rapuh, "Aku tahu ini sulit bagimu juga."Afgan mengangguk, mencoba menampilkan senyum lembut meskipun dia merasa dalam kebimbangan yang mendalam. "Kau harus istirahat dengan baik, Melinda. Besok aku akan menjemputmu untuk acara pameran di desa pariwisata."Melinda memandang Afgan dengan sorot mata yang campur aduk. Meskipun dia merasa hancur oleh situasi yang rumit ini, namun kekuatannya munc
Bus meluncur dengan perlahan melalui jalan setapak yang berkelok-kelok menuju desa pariwisata. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menciptakan siluet pepohonan dan rumah-rumah tradisional yang menjulang di cakrawala. Ketika bus akhirnya tiba di lokasi desa pariwisata dua jam kemudian, suasana sejuk dan asri langsung menyambut mereka.Dari jendela bus, Melinda bisa melihat keindahan desa yang terbentang di hadapannya. Pepohonan hijau dan hamparan sawah yang luas menghiasi pemandangan, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Bangunan-bangunan tradisional dengan atap jerami dan dinding kayu memberikan kesan autentik, sementara aroma bunga-bunga yang harum melayang di udara, menyegarkan indera mereka.Penumpang bus turun satu per satu, menghirup udara segar desa yang begitu berbeda dengan hiruk-pikuk kota. Beberapa di antara mereka terlihat terkesima oleh kecantikan alam sekitar, sementara yang lain tersenyum menikmati keheningan yang menghiasi desa tersebut.Adelia melangkah tu
"Afgan akan menyukai wanginya diriku mulai sekarang. Dengan cepat dia mengingat merek yang digunakan. Mereknya memang sama dengan yang sudah disebutkan oleh Adelia sebelumnya. Hanya jenis aromanya yang berbeda. Melinda menepuk kepalanya sambil tersenyum, menyadari bahwa dia tidak bertanya dengan detail sebelumnya.Melinda mandi sambil bernyanyi riang dan bermain dengan sabun dengan jumlah yang sangat banyak. Seluruh tubuhnya dia olesi dan juga shampo yang banyak untuk rambutnya.Sementara itu, Afgan duduk di kamarnya dengan kebingungan yang mendalam. Dia merenungkan keputusan-keputusan yang harus diambilnya, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan emosional yang tengah dialaminya.Wajah Adelia yang lesu terlihat tidak bercahaya dan seperti menyimpan beban berat, dan entah mengapa, Afgan merasa tidak nyaman dengan sikap itu.Menempatkan Adelia dan Melinda menjadi satu kamar bukan merupakan sebuah keputusan yang bagus. Afgan takut Melinda akan membuat A
Adelia dengan lembut berdiri dari kursinya dan tersenyum kepada Edward, memberinya izin untuk duduk di sebelahnya. Edward dengan ramah mengucapkan terima kasih, menciptakan ketenangan sejenak di tengah keramaian meja makan. Namun, pandangan Afgan yang sejak tadi mencerminkan keheranannya mulai berubah menjadi ekspresi curiga yang tak tersembunyi."Edward, lagi-lagi kamu," sapa Afgan dengan senyum tipis yang mencoba menyembunyikan kecemburuannya. "Apa yang membawamu ke acara ini?"Edward menjawab dengan ramah, "Saya seorang teman Kepala Desa. Dia mengundang saya untuk ikut bersamanya dalam acara ini."Afgan mencoba menahan perasaan cemburunya, tetapi api cemburu yang sangat kental mulai membakar hatinya. Dia merasa risih dengan kehadiran Edward, terutama karena dia tahu bahwa Adelia dan Edward pernah bermesraan di gudang sebelumnya."Menarik," kata Afgan dengan suara yang mencoba terdengar netral. "Adelia, apakah kamu tidak memberitahuku bahwa kamu akan da
Edward merasa bijaksana untuk memilih diam dalam situasi yang rumit ini. Dia merasa bahwa memperpanjang diskusi saat ini tidak akan memberikan solusi yang baik.Dalam hatinya, dia berencana mendekati Adelia. Dia tahu bahwa Adelia dan Afgan perlu menyelesaikan masalah mereka sendiri, dan dia ingin memberikan mereka waktu dan ruang yang diperlukan untuk melakukannya.Edward merasa Afgan tidak menginginkan wanita itu, mengapa dia tidak juga merestui hubungan mereka? Edward merasa menyayangi Adeli sehingga dia ikut menuju ke desa yang sama dengan berpura-pura mendapat undangan dari Kepala DesaEdward akan mencari dan mendekati Adelia besok pagi. Bila perlu, dia ingin mengutarakan niatnya untuk mengejar hati Adelia dan berhadapan secara jantan dengan Afgan. Toh, suami itu tidak menginginkan Adelia. Dia sendiri terlalu sibuk dengan Melinda. Edward bermonolog sendiri sambil berbaring di ranjangnya.Sementara itu, Afgan ingin kembali ke kamarnya, tetapi Melinda s
"Pinjam?" Adelia terkejut dengan tawaran Melinda. Dia tidak pernah mengharapkan pertolongan dari wanita yang sebelumnya begitu dingin padanya. Namun, pikirannya segera terbang ke ayahnya dan beban hutang yang begitu besar.Setelah memikirkan sejenak, dalam keputusasaannya, dia memutuskan untuk menerima tawaran Melinda dengan ragu. "Apakah kamu serius?" tanyanya, mencari kepastian.Melinda mengangguk, mata penuh dengan ambisi yang tersembunyi. "Tentu saja, aku serius. Kita bisa mengatur syarat-syaratnya nanti. Aku hanya ingin membantumu, Adelia." Melinda mendekat Adelia yang sudah terduduk di tepi ranjang."Lagipula, pria itu selalu merendahkanmu. Aku juga bersimpati kepadamu walau dia tidak pernah bersikap sekasar itu kepadaku, mungkin ... "Melinda melihat reaksi Adelia sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mungkin, itu karena dia mencintaiku dengan tulus."Adelia merasa sedih terhadap pernyataan cinta Afgan untuk Melinda, sekaligus terharu dengan tawa
Afgan segera membersihkan dirinya dengan cepat, merasa bahwa ada sesuatu yang harus diatasi sebelum pagi berakhir. Dengan langkah mantap, dia melangkah ke arah kamar wanita.Namun, sampai di tengah jalan, dia menghentikan langkahnya. Di sana, dia bertemu dengan Edward yang memiliki tujuan yang sama, menuju ke kamar wanita. Edward juga menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi Afgan.Tatapan tajam dan perkataan sinis pun mulai diucapkan. "Mau apa kamu kemari? Menjemput istriku?" tanya Afgan dengan nada yang penuh dengan penekanan pada kata 'istriku'.Edward tersenyum dengan dingin, merasa senang bisa menantang Afgan. "Tentu saja. Aku ingin mengajak istrimu sarapan bersama, atau kamu ingin sesekali bertukar pasangan dan membiarkanku sarapan dengan Melinda? Kekasih terangmu?" Edward mengucapkan kata-kata tersebut dengan sengaja, menciptakan ketegangan di antara mereka.Edward sengaja mengucapkan "Kekasih Terang" karena kedua pasangan tidak tahu malu itu se
Adelia merasa jantungnya berdegup kencang, mendekati batasnya saat merasakan kehadiran Afgan yang begitu mendalam. Kedua tangannya menahan pada dada bidang milik suaminya.Tatapan intens itu membangkitkan gelora perasaan yang sejak lama dia coba tahan. Dia merasakan getaran getaran aneh yang membuat tubuhnya bergetar, terjebak dalam magnetisme Afgan yang begitu kuat.Pria yang menjadi suaminya ini terlalu ganteng dan mempersona dalma di luar sikap arogan dan sifat dinginnya. Adelia bisa merasakan deru napas Afgan dan aroma mint pada mulutnya."Af ... gan," panggil Adelia dengan suara bergetar.Dalam keadaan yang penuh ketegangan ini, dia merasa sulit untuk menahan dorongan yang semakin membesar di dalam dirinya.Afgan mendekatkan wajahnya pada Adelia, merasa napasnya bercampur dengan napas wanita di hadapannya. Dia merasa sulit untuk menahan dorongannya.Namun, di saat yang genting ini, sebelum mereka bisa mengekspresikan apa yang ada dalam
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek