Bob berjalan tanpa curiga menuju ke pelantaraan parkir mobil. Tiba-tiba sesuatu menghantam pundaknya.
Bugh!
Aowh!
Bob tersungkur ke lantai dan pingsan seketika.
"Kita bawa ke mana?" tanya seorang pria berpakaian perawat sambil menahan tubuh Bob yang sudah tidak berdaya.
"Masukkan ke dalam tong sampah itu!" sahut pria bermasker medis dan berpakaian perawat lainnya.
"Baik!"
Kedua pria bermasker medis itu membopong tubuh Bob lalu memasukkannya ke dalam tong sampah besar milik Rumah Sakit dan menarik tong besar tersebut tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang di sekitarnya.
Setelah sampai di sebuah mobil box hitam, tubuh Bob segera dipindahkan ke dalam mobil box tersebut.
Bob merasa tubuhnya berguncang hebat dan hidungnya mencium aroma busuk, tetapi dirinya tidak berdaya karena sarafnya terganggu akibat hantaman keras pada pundaknya.
Dia tahu bahwa dia sedang diculik oleh seseorang dan mungkin akan mengalami nasib ya
Perawat tersebut melihat ke arah Adelia dengan tatapan penuh arti.Sesaat kemudian, perawat itu menjawab, "Tuan Afgan sudah keluar dari Rumah Sakit dan langsung diterbangkan menuju ke Indonesia."Adelia terkejut dengan kabar yang didapatkan olehnya. Wanita itu terduduk di salah satu kursi dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Salah seorang perawat menghampiri Adelia dengan sebuah amplop putih di tangannya."Nyonya Adelia?""Ya, saya?"Adelia menatap perawat itu dengan tatapan kosong."Ini adalah surat yang dititipkan oleh Tuan Afgan kepada Anda. Silakan dibaca."Adelia mengerjapkan matanya berulang kali sambil menatap amplop putih tersebut.Dalam pikirannya, wanita itu bertanya, 'Zaman apakah ini dan Afgan masih menggunakan surat untuk menyampaikan pesannya sementara dia bisa menghubungi dirinya lewat aplikasi hijau kapan pun dia mau?'"Nyonya, surat?""Eh, iya, mari." Adelia menerima surat itu dengan set
Edward duduk di samping Adelia dan wanita cantik itu segera merebahkan kepalanya ke bahu Edward."Jangan menangis untuk orang yang tidak perlu kamu tangisi, Aiyana.""Hmm." Adelia menghapus air mata yang mengalir dengan punggung tangan."Kembalilah menjadi Aiyana dan lupakan semua tentang Afgan juga Adelia. Kamu lebih bahagia saat menjadi Aiyana.""Hmm.""Aiyana, kita pulang sekarang atau sebentar lagi?""Sebentar lagi. Biarkan aku merasakan kenyamaan, pinjam bahumu sebentar."Edward mengubah posisi sehingga Adelia berada dalam pelukannya. "Menangislah untuk membuat dirimu lega."Tidak jauh dari sana, Edward memarkir mobil dan Emily duduk menunggu di dalamnya. Tatapannya sendu melihat sang suami sedang memeluk wanita lain.Dengan tangannya, Emily memukul kakinya yang lumpuh dan tidak berdaya. Dia mengerti cacat permanen yang ada dalam dirinya dan betapa dia sangat tidak mampu membahagiakan Edward yang memang pada d
Napas Bob menderu-deru saat berteriak. Rafael duduk di kursi kerjanya sambil tersenyum memandang layar monitor yang sedang menampilkan kegilaan yang akan dilakukan oleh Bob sesaat lagi."Cobalah, maka pihak kepolisian akan menangkapmu. Kita lihat sehebat apa kekuasaanmu tanpa ada Afgan di sini!" Rafael tersenyum sambil melipat kedua tangannya di bawah dada.Sementara di luar, Bob mengetatkan rahangnya. Merasa ancamannya tidak membuahkan hasil apa pun."Keluar, Rafael! Hadapi aku! Kamu tidak boleh membuat kehidupan mereka kacau dengan menyembunyikan Adelia! Mereka saling mencintai!" seru Bob sambil menatap ke arah kamera dengan mata nyalang."Keluar! Pengecut!"Setelah beberapa detik berlalu, Bob mulai merasakan kesia-siaan. Pria nekad itu lalu mengedarkan pandangan ke sekitarnya dan mencari letak CCTV yang lain.Setelah mendapatkan posisi yang tidak terekam cctv, pria itu tersenyum puas lalu melangkah ke sana.Prang!Suara kurs
Usai kepergian Bob yang dituntun oleh dua orang anak buah Rafael. Rafael melakukan panggilan melalui ponselnya kepada Edward."Bagaimana kondisi Aiyana?""Dia masih terpuruk dan sedang beristirahat. Emily menemaninya.""Hmm, biarkan dia menganggap Afgan meninggalkannya. Ini kesempatanmu untuk merebut kembali hatinya. Sementara, anak-anak akan kuurus," ucap Rafael dengan suara datar."Baiklah. Aku memang menyayanginya sejak dulu," sahut Edward."Maka aku akan menggandeng tangannya untukmu. Kamu akan bermasalah denganku bila membuatnya kecewa sekali lagi.""Tidak akan, aku bisa menjamin hal itu dengan kepalaku," kata Edward.Pria itu sudah memantapkan hatinya karena sejak dulu, cintanya hanya untuk Adelia seorang. Terkendala karena bentuk tanggung jawabnya dengan Emily yang cacat akibat kelalaiannya dalam membawa mobil."Baiklah, aku memberikan waktu satu bulan untukmu, siapkan pernikahan kalian. Aku ragu, Achmed, si tua bangka itu bisa mencegah putranya melakukan hal nekad.""Satu bula
"Minggir, aku hanya ingin mendinginkan kakiku!" teriak Emily dengan kedua mata membulat sempurna."Baik, saya ... akan menggendong anda, tetapi tolong jangan melakukan tindakan nekad apa pun. Saya bisa dipecat! Tolonglah," bujuk pria yang serba salah itu."Baik, gendong saya!"Supir yang merasa gelisah itu pun terpaksa menggendong Emily sampai ke jembatan yang terbuat dari kayu. Dengan lembut dan perlahan, pria itu menuntun hingga pantat Emily menyentuh jembatan. Emily mencelupkan kedua telapak kakinya menyentuh air danau yang dingin."Segar sekali, ini menyenangkan hatiku," ucap Emily.Pria yang menjadi supir keluarga itu berusaha tersenyum walau ketakutan setengah mati dalam hatinya.Emily berusaha menggerakkan kakinya yang lumpuh, tetapi bahkan jempolnya saja tidak bisa bergerak."Lihat, dia sama sekali tidak bergerak. Aku sungguh bodoh ya?" tanya Emily sambil menoleh ke arah supir yang terlihat gelisah dan mulai berkeringat dingin
"LEPASKAN! LEPASKAN AKU!!" teriak Afgan dengan suara melengking tinggi dan dia berusaha membuat keributan.Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari dan obat penenang yang diberikan tadi sudah habis reaksinya.Pria tangguh itu kembali meronta dengan mata merah menatap nyalang ke semua perawat yang mengelilinginya seperti singa yang lapar."MELINDA! Panggil jalang itu kemari!""Tuan, Anda sedang sakit dan butuh pengobatan!""SAYA TIDAK SAKIT!" pekik Afgan dengan tatapan tajam.Para perawat saling memberi kode untuk maju bersamaan dan menangkap Afgan."Tidak! Lepaskan!" Afgan masih berusaha meronta dan meraung pada saat ditahan oleh perawat pria yang dikhususkan untuk menjaga dirinya.Tangan dan kaki yang terikat pun hampir terlepas, namun para perawat segera singgap menahan lehernya sehingga pria itu sedikit tercekik."Cepat berikan obat penenang!" seru salah seorang perawat dengan menahan sebelah tangan Afgan.
"Bayu, lepaskan aku, aku mengantuk sekali!" seru Melinda yang berbaring di ranjang yang sama dengan Bayu.Usai mengantar Achmed, Maya dan Silvia pulang ke mansion milik Afgan, Melinda meminta izin untuk bertemu dengan kerabatnya dengan alasan sedang membahas pekerjaan.Selama Afgan terbaring tidak berdaya, Melinda sudah mengambil alih tugasnya dan berhasil mempelajari segala hal dengan baik, bahkan wanita licik itu berhasil menyelesaikan beberapa masalah sehingga Achmed memandang dirinya cukup baik untuk menggantikan pekerjaan Afgan hampir semuanya."Aku merindukanmu, Sayang," rayu Bayu."Dan aku mengantuk, apakah kamu tidak bisa mengangguku di lain hari saja?""Mengapa kamu dingin sekali sekarang? Apakah kamu merasa sombong setelah berhasil menguasai kedudukan CEO milik seorang Afgan?" Bayu mulai cemberut dan membalikkan tubuhnya membelakangi Melinda."Duh, kamu merajuk lagi. Capek sekali menghadapimu!" Melinda terduduk dan berusaha menyisi
Tiba-tiba, suara gemerisik langkah kaki terdengar di lorong rumah. Pintu terbuka perlahan, dan seorang perawat muncul, membawa secarik kain yang dipegangnya dengan lembut. "Maafkan saya, Nyonya Emily," ucapnya dengan lembut saat dia mendekati Emily. "Anda lupa membawa selimut untuk menutupi tubuh Anda. Cuaca bisa cukup dingin."Emily menatap perawat itu dengan tatapan kosong. "Terima kasih, Jane," katanya lemah, lalu dia menatap kembali ke luar jendela, mata masih terpaku pada hujan yang turun.Jane meletakkan selimut di atas Emily dengan lembut, lalu dia berdiri di sampingnya dengan pandangan penuh simpati. "Apakah Nyonya membutuhkan sesuatu lagi? Apakah saya bisa membantu Anda dengan apapun?"Emily menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih, Jane. Aku hanya butuh sedikit waktu sendiri."Jane mengangguk mengerti, lalu meninggalkan Emily sendirian lagi dengan pikirannya yang merana. Emily duduk diam, merenungkan masa lalu yang tak terhindarkan. Air mata terus
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek