Beberapa detik kemudian, Afgan duduk sendirian di ruangan yang kini terasa sepi. Dia mendengar isakan Aiyana di balik pintu, dan hatinya terasa hancur karena menyaksikan perempuan yang pernah menjadi cinta dan keluarganya sekarang terluka dan menangis.
Keduanya, terpisah oleh pintu yang rapat, merasakan kesedihan dan kehilangan yang sama, meskipun dari sisi yang berbeda. Saat tangisan Aiyana masih terdengar, Afgan merenung tentang bagaimana kebenaran dan kebingungan telah merobek ikatan yang dulu tampak begitu kuat. Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan perasaan yang kini menyelimuti mereka berdua.
"Adelia, kamu adalah Adelia, mengapa kamu masih juga menutup dirimu?" Afgan menjambak rambutnya dan merasa kacau.
"Arrghhh! Mengapa hasil DNA itu begitu membingungkan?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
"Kalau Lucas, Joanne dan Silvia bukan anakku, jadi anak siapakah mereka?"
"Aku ..."
"Aku harus menuntut kebenaran kepada Melinda!"
Langkah Afgan terhenti sesaat, tetapi kemudian dia memutuskan untuk mendekati mereka dengan hati-hati. Dia harus mengetahui kebenaran, tidak peduli apa pun. Dengan hati yang berdegup kencang, Afgan mendekati mereka dan mencoba mendengarkan percakapan mereka. Namun, sebelum dia bisa mendengar apa pun, Melinda dan pria itu melihatnya dan terdiam. "Afgan? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Melinda dengan ekspresi yang terlihat cemas. "Aku pikir aku bisa bertanya hal yang sama padamu, Melinda," ujar Afgan dengan nada tajam, matanya menatap tajam pada pria yang duduk di hadapannya. Pria itu tersenyum dengan tenang, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Afgan merasa tidak tenang. "Afgan, apa yang kamu maksud?" tanyanya dengan polos. "Aku tahu semuanya, Bayu. Kamu tidak bisa sembunyikan kebenaran dari aku lagi," ujar Afgan tiba-tiba, mengejutkan kedua orang di hadapannya. Bayu terkejut mendengar namanya disebutkan, dan Melinda
"Aku tahu semuanya, Edward. Kau dan Emily terlibat dalam manipulasi hasil analisis DNA itu," ujar Afgan dengan suara yang penuh kemarahan.Emily terlihat terkejut, namun segera mencoba untuk membela diri. "Afgan, kamu harus percaya padaku. Aku tidak...""Tidak usah berpura-pura, Emily! Kita tahu semua yang kamu lakukan," potong Afgan dengan tajam, tidak mau mendengarkan alasan yang tak berarti.Edward merasa terdesak. "Kamu tidak bisa membuktikan apa-apa, Afgan. Ini semua hanya asumsi belaka!""Asumsi? Bukankah kalian berdua telah mengakui semuanya?" ujar Afgan dengan suara yang semakin meninggi, kesabarannya mulai menipis.Emily mencoba untuk mendekati Afgan dengan kursi rodanya, namun Afgan melangkah maju dan menepisnya dengan tangan. "Jangan dekati aku, Emily! Kamu tidak pantas mendapatkan kasihanku setelah apa yang kalian lakukan!"Tiba-tiba, Edward melangkah maju dan mencoba mencegah Afgan. "Afgan, kita bisa menyelesaikan ini dengan car
Edward merasa marah mendengar pernyataan Afgan yang tampak menyangkal. Dia mengambil napas dalam-dalam, kemudian mulai mengungkap kebakaran atas suruhan Afgan."Kamu mungkin tidak menyadari, Afgan. Kebakaran itu hampir merebut nyawa Adelia beserta anak dalam kandungannya," ujar Edward dengan suara yang bergetar karena emosi.Afgan terdiam, matanya membulat dan berusaha membela diri, "Edward, percayalah padaku. Kebakaran itu bukan atas perintahku. Aku ... aku, bahkan meninggalkan pesta pernikahan dan pergi untuk menerjang api yang melanda gedung hotel itu untuk mencari keberadaan Adelia!""Bohong!" seru Edward sambil berdiri dan mulai emosi serta melayangkan tatapan tajam ke arah Afgan."Kami berdua hampir kehilangan mereka, dan sejak saat itu, kami berdua berjanji untuk melindungi Adelia dari segala sesuatu yang bisa membahayakan," tambah Emily dengan suara yang parau.Afgan merasa seperti dunianya berputar. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Adel
"Aku... Aku tidak yakin, Edward," ujar Afgan dengan ragu, mencoba memproses saran yang diberikan."Pilih Adelia atau Melinda!" seru Emily menambahkan ketegasan dalam kalimat Edward, suaminya.Edward menatap Afgan dengan serius. "Afgan, kamu harus memikirkan kebahagiaanmu sendiri. Jika hubunganmu dengan Melinda hanya membuatmu menderita, maka tidak ada gunanya untuk terus bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia."Afgan merasa terpukul oleh kata-kata itu. Meskipun dia tahu bahwa pernikahannya dengan Melinda telah mengalami banyak masalah, namun dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan untuk bercerai. Ide itu terasa menakutkan baginya."Ayahku, dia menjaga status sosial kami dengan baik. Keluarg Al-Futtaim, kami ... " Afgan mengepalkan kedua tangannya erat-erat dan menutup mata, memikirkan apa yang ingin dia katakan."Tapi, bagaimana dengan Silvia? Dia masih begitu kecil," Afgan mencoba untuk mempertimbangkan implikasi dari keputusan tersebu
Di tengah keheningan yang tegang, Afgan menunggu dengan penuh ketegangan. Dia merasa detik-detik itu berlalu begitu lambat, sementara hatinya berdegup kencang menanti reaksi Melinda.Melinda, meskipun terlihat terkejut dan terpojok, mulai mengumpulkan kembali kekuatannya. Dia menyadari bahwa tidak ada jalan keluar selain menghadapi kenyataan. Dengan langkah ragu, dia akhirnya menatap Afgan dengan mata penuh penyesalan."Afgan, aku..." ucap Melinda dengan suara yang terdengar rapuh.Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan terbuka dengan keras, dan Bayu masuk dengan langkah cepat. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam begitu dia melihat keadaan di ruangan."Apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan amarah.Afgan menatap Bayu dengan tatapan tajam, tanpa kehilangan keberanian. "Aku tahu tentang kebakaran, Bayu. Dan aku tahu bahwa kamu dan Melinda ada di baliknya."Bayu terdiam, matan
Silvia mengangguk dengan perlahan, matanya memancarkan kecemasan. "Iya, aku mendengar pembicaraan mereka yang menunjukkan kebenaran itu."Afgan merasa seperti dunianya berputar. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Silvia sudah mengetahui tentang kebenaran yang selama ini dia sembunyikan. Rasanya seperti semua rahasia telah terkuak di depannya."Aku yang paling terakhir tahu, ini hebat!" seru Afgan."Kenapa kamu tidak memberi tahu aku sebelumnya?" tanya Afgan dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.Silvia menundukkan kepala dengan takut. "Aku... Aku takut. Takut akan bagaimana Dad akan meresponnya. Aku tidak ingin kehilanganmu sebagai ayahku."Afgan merasa tersentuh oleh kata-kata Silvia. Dia menyadari bahwa keputusan Silvia untuk menyembunyikan kebenaran itu didasari oleh cinta dan kekhawatiran yang tulus."Dia... Dia tidak pernah berusaha menyakiti atau mencelakai siapa pun," ujar Melinda dengan suara yang penuh dengan penyesalan. "Semua
Sementara itu, Silvia berlutut di samping Afgan, menangis tersedu-sedu karena kejadian yang terjadi.Afgan hanya menatap gadis kecil itu dengan mata dingin. Emily segera menekan laju kursi rodanya dan mendekati gadis itu lalu merangkulnya dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan gadis itu di tengah kekacauan yang terjadi.Isak tangis gadis kecil itu masih terdengar di tengah keheningan yang tegang, mereka semua merenung tentang bagaimana tindakan mereka telah membawa mereka ke titik ini.Sementara itu, Bayu membawa Melinda pulang ke rumah sewa miliknya dengan perasaan campuran antara amarah dan kekecewaan yang mendalam. Begitu mereka tiba di rumah, dia langsung membaringkan Melinda yang sudah mulai sadar ke atas ranjang dengan wajah yang penuh dengan kemarahan."Kamu pikir kamu bisa mengungkapkan segala rahasia di depan Afgan dan semuanya akan baik-baik saja?" bentak Bayu dengan suara yang penuh dengan amarah.Melinda menundukkan kepalanya, k
Adelia mempersilakan Afgan duduk dan menyajikan minuman dingin.Dengan hati yang berat dan suara yang penuh dengan emosi, Afgan mulai menceritakan semua yang telah terjadi sejak kepergiannya. Dia menceritakan peristiwa kebakaran yang hampir merebut nyawa Adelia dan anak dalam kandungannya, dan bagaimana Melinda dan Bayu terlibat dalam konspirasi itu.Adelia mendengar dengan diam dan terkejut bukan main mendengar pengakuan tersebut. Matanya memancarkan campuran antara kebingungan, kesedihan, dan kemarahan. Dia tidak bisa percaya bahwa orang-orang yang pernah dekat dengannya telah melakukan sesuatu yang begitu jahat.Namun, Afgan tidak berhenti di situ. Dia melanjutkan dengan menceritakan tentang Silvia, tentang bagaimana mereka mengetahui kebenaran tentang asal-usulnya dan bagaimana dia menjadi bagian penting dari hidup mereka."Silvia adalah anak Bayu, Adelia," ujar Afgan dengan suara yang penuh dengan kelembutan. "Dia bukan hasil dari ikatan pernikahanku
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek