"Baiklah, pergilah bermain dengan Paman. Biarkan Mom membereskan dapur terlebih dahulu," ucap Aiyana sambil mengibaskan tangannya agar mereka segera bubar.
Kemudian dia segera mengambil sabuk cuci piring dan menuangkan sabun.
"Kamu yakin, kami tidak usah membantu?" tanya Afgan sebelum meninggalkan Aiyana.
"Tidak apa-apa, aku sudah melakukan ini setiap hari." Tangan Aiyana mulai sibuk bergerak mencuci piring kotor dengan buih sabun yang cukup banyak.
"Baiklah. Jangan terlalu capek, ya ... "
Aiyana terkejut karena Afgan tiba-tiba merangkulnya sehingga secara reflek, dia berbalik. Afgan langsung memberikan sebuah kecupan kecil di keningnya. Bibir yang hangat menempel di dahi wanita itu.
"Eh ... "
Afgan tersenyum lalu bergegas meninggalkan Aiyana yang masih mematung dengan buih sabun yang banyak di tangannya.
"Bibirnya hangat sekali, ini ... dia masih demam," gumam Aiyana sambil memegang keningnya. Ciuman kecil dari Afgan masih ter
Namun, tiba-tiba, Afgan melihat wajah Aiyana yang mulai merona merah. Dia mulai menyadari situasi tersebut dan dengan cepat menjauh. "Maafkan aku, Aiyana. Aku tidak bermaksud seperti itu," ucapnya sambil tersenyum malu.Aiyana juga tersadar akan ketegangan tersebut dan tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Afgan. Ini hanya momen yang membuat kita merasa dekat."Keduanya kemudian berbagi tawa kecil, meredakan ketegangan yang muncul sejenak. Meskipun momen itu hampir saja membawa mereka pada tingkat keintiman yang lebih dalam, mereka berdua memilih untuk tetap menjaga batas pertemanan mereka."Aku senang kamu di sini untukku, Afgan. Terima kasih atas perhatianmu," ucap Aiyana dengan tulus.Afgan menjawab, "Tentu saja, Aiyana. Kita selalu bisa saling mengandalkan."Kecanggungan mereka terhadap momen yang hampir saja intim membuat suasana menjadi agak kikuk di antara Afgan dan Aiyana. Namun, tiba-tiba, suara lapar dari perut Aiyana men
"Kamu kenapa, Aiyana?" ulang Afgan sekali lagi dan mulai merasa khawatir.Aiyana menggelengkan kepala. Raut wajahnya kembali terlihat ketus dan dingin."Kulihat kamu sudah membaik, apakah kamu masih butuh aku untuk menjagamu?" tanya Aiyana sambil menaikkan sebelah tangannya yang terluka lalu melanjutkan kalimatnya. "Sepertinya, aku tidak akan mampu mengurusmu. Bagaimana bila kamu ke Rumah Sakit saja? Aku akan menghubungi Bob.""Aiyana!" Afgan berdiri setengah berteriak.Aiyana tersentak kaget karena suara Afgan yang tinggi. Afgan mendengkus lalu duduk kembali dan berusaha mengontrol amarah dalam dirinya."Aiyana," panggilnya dengan lembut kali ini. Sementara Aiyana menatap pria itu dengan bingung."Aku memang masih sakit, tetapi saat ini, kamu juga sedang sakit. Maka ... "Afgan berhenti berkata-kata dan meraih tangan Aiyana. "Lihat, kamu pasti tidak bisa memasak dan anak-anak akan kelaparan.""Uhm, aku bisa memesan makanan onl
Afgan terbangun karena suara yang terdengar dari kamar anak-anak. Dia segera berdiri. Aiyana masih tertidur dengan nyenyak. Waktu sudah menjelang tengah hari.Afgan merasa memiliki tugas untuk memasak sesuatu untuk anak-anak sebagai makan siang. Karenanya, dia segera bergerak menuju ke dapur untuk memasak sesuatu.Tidak lama kemudian, bau wangi makanan tercium dan sangat harum, berhasil memancing Lucas dan Joanne yang memang sudah mulai merasa lapar keluar dari kamarnya."Paman memasak? Apakah Mom tidak memasak?" tanya Joanne. Mereka tidak tahu mengenai tangan ibunya yang tidak dapat memegang panci karena tidak melihat langsung seberapa besar luka goresan tersebut.Afgan memilih tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah mengalihkan pertanyaan, "Kamu sudah lapar? Ambilkan piring dan duduklah. Makanan sudah siap."Joanne menurut dengan patuh, demikian juga dengan Lucas.Afgan memilih untuk tidak menjelaskan tentang alasan mengapa ia yang
"Kamu di sini saja dan biarkan pria melindungimu!" Afgan berkata dengan nada ketus lalu bergerak menuju ke pintu."Afgan," panggil Aiyana dengan lembut. Wanita itu merasa bersyukur karena ada pria yang melindunginya saat ini. Apalagi pria itu memang adalah suaminya. Betapa dia menginginkan hal itu sama seperti yang diinginkan oleh semua wanita di muka bumi ini.Aiyana menciptakan masalah yang sudah semakin berkembang dan dia terseret dalam arus kehidupan bersama Simon yang tamak terhadap uang. Uang adalah masalah utama dalam hidup.Semua kehidupan yang gagal dimiliki Aiyana dengan Afgan, juga karena pria itu adalah pewaris arogan yang dipaksa menikah dengannya dan dia sendiri menikah karena kebutuhan untuk menutupi sejumlah besar uang yang menjadi utang sang ayah.Afgan tidak menoleh sama sekali terhadap panggilan Aiyana, melainkan terus melangkah menuju ke pintu utama dan membuka pintu tersebut.Simon berdiri dengan gagah di awalnya, karena dia sa
Wajah mereka semakin dekat, dan Afgan ingin sekali mencium Aiyana, tetapi pada saat sebelah tangannya memegang wajah Aiyana, wajah Afgan berubah drastis."Aiyana, kamu demam!" serunya tiba-tiba."Iya, aku merasa pusing." Aiyana memegang keningnya yang memang terasa sedikit hangat."Mari, kamu tiduran di ranjang dan aku akan mencari obat pereda demam," ucap Afgan dengan panik.Usai membantu membaringkan Aiyana, Afgan lalu bergegas membuka laci nakas di mana dia menyimpan obat pereda demam yang kemarin diberikan Dokter Amira."Ini, makan dulu obatnya," ucap Afgan sambil menyodorkan obat dan segelas air hangat.Aiyana menurut dengan patuh lalu berbaring sesudahnya. Selama beberapa hari, Afgan merawat Aiyana dengan penuh perhatian, meskipun sering kali ditolak dengan dingin. Dia menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka, berusaha membuat kenangan baru yang berharga bagi keluarga mereka. Afgan memasak untuk mereka bahkan membantu membersihkan r
Afgan memegang pipinya yang terasa nyeri. Kedua matanya memerah dan menatap Aiyana dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan."Apa maumu? Aku hanya seorang wanita yang belum bercerai. Kami ... kami hanya terlibat dalam beberapa masalah." Aiyana mendorong tubuh Afgan lalu melangkah menuju ke ranjang dan duduk di atasnya."Apakah kamu mempunyai maksud tertentu?""Aku mencintaimu, Adelia!" seru Afgan tanpa ragu lagi.Perkataannya malah membuat Aiyana tertawa terbahak-bahak. "Adelia? Kamu hanya demam sekali dan sudah kehilangan pikiranmu? Sehingga salah mengingat? Aku Aiyana! Lihat baik-baik! Buka matamu, Afgan!" Aiyana meninggikan suaranya dan melipat tangan di bawah dada."Kamu masih ingin membohongiku? Kamu Adelia milikku!" seru Afgan lalu hendak mendekati Aiyana, tetapi wanita itu segera berdiri dan bermaksud menghindar.Namun, tubuh Afgan lebih tinggi dan kekuatannya lebih besar. Dengan dorongan tubuhnya, Aiyana terlempar ke ranjang dan A
Dengan langkah lesu, Afgan terpaksa berjalan kaki sampai ke perhentian bus karena tidak ada taksi yang lewat sama sekali.Afgan duduk merenung di kursi besi dingin, tempat di mana dia harus duduk untuk bus berikutnya setengah jam lagi. Cuaca dingin di sekitarnya membuat Afgan mengetatkan jas yang dipakainya. Beberapa pemuda-pemudi bercanda tawa di samping dan mereka melihat media sosial sambil melirik ke arah Afgan."Sepertinya dia bukan orang sini," ucap salah seorang gadis yang berpakaian casual dengan model kaos yang memperlihatkan pinggangnya. Gadis itu tersenyum dengan gaya mengoda, tetapi Afgan segera memalingkan wajah.Sekilas, Afgan melirik dengan malas terhadap gaya berpakaian gadis tersebut sambil merenungkan bagaimana bila Joanne akan beranjak remaja sebentar lagi lalu berdalam dalm kumpulan pemuda-pemudi dengan pakaian casual yang minim kain.Afgan menggelengkan kepalanya. "Aku harus segera bertindak!"Dengan cepat, Afgan mengambil bend
"Aiyana." Afgan balas memangil Aiyana dengan suara penuh kelembutan."Afgan, lepaskan. Kita sudah sangat basah saat ini!"Mendengar hal itu, Afgan mulai tersadar lalu melepaskan kedua tangannya yang merangkul pinggang Aiyana.Aiyana menundukkan tubuhnya untuk meraih payung yang terjatuh di lantai. Afgan menatap Aiyana dengan penuh penyesalan atas insiden tadi. Wajahnya yang tampan kini terlihat serius, memperlihatkan raut keprihatinan yang dalam. "Maafkan aku, Aiyana. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terkejut dengan sikapku selama ini," ucapnya dengan suara lembut.Aiyana tersenyum lembut, mencoba untuk meredakan ketegangan di udara. "Tidak apa-apa, Afgan. Yang penting kita baik-baik saja," jawabnya sambil menggenggam erat payung yang berhasil diambilnya dari lantai.Mereka berdua kemudian berjalan bersama keluar dari hujan, menuju tempat duduk di dalam pemberhentian bus yang lebih aman. Jaraknya hanya sejauh dua meter dari tempat mereka b
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek