Tut ... tut ... tut ....
"Apa? Bangs*t! Berani-beraninya dia mematikan teleponku! Lihat saja, kalau dia berani mematikan teleponku lagi. Cari mati!" umpat Smith sudah ingin menelan suaminya hidup-hidup.
Smith kembali menelepon Janu dengan dada panas. Ia sudah menyiapkan segala omelan pedas untuk Janu.
Tut ... tut ... tut ....
"Apa? Dia mematikan teleponku lagi? Apa dia sudah ingin mati? Awas kau! Jangan dikira aku akan menyerah. Smith tidak akan kalah begitu saja. Aku tidak akan berhenti menelepon kalau dia belum mengangkatnya!"
Benar saja, Smith menelepon lagi dengan dada yang semakin panas seperti penuh dengan muntahan magma. Ia memencet ikon ponsel kuat-kuat sambil membayangkan sedang mencolok mata suaminya.
"Coba kita lihat, pria sint*ing itu akan memutuskan teleponku atau tidak," gerutu Smith ketika menunggu Janu untuk mengangkat panggilan darinya.
Tut ... tut ... tut ....
"Set*n! Orang ini memang sudah bosan hidup,"
Janu berdiri di depan pintu. Ia diam mematung karena sibuk berkutat dengan pikirannya.Apa yang sebenarnya terjadi pada Smith? Apa mertuanya menemui Smith di kampus? Apa terjadi keributan selama ia meninggalkan istrinya? Dan seterusnya.Janu menghela napas panjang. Berharap semua baik-baik saja. Kemudian mengangkat tangan kanannya yang terkepal untuk mengetuk pintu."Smith ... " panggil Janu dengan suara lebih pelan dari sebelumnya. Selain karena tidak mau menganggu tetangganya, sekarang perasaan Janu juga sudah menjadi lebih tenang dari sebelumnya sebab ia tahu Smith ada di dalam kost.Namun Janu masih heran. Kalau memang Smith ada di dalam, lalu mengapa Smith tidak menyahuti panggilannya?"Apa dia ketiduran, ya?" tanya Janu menduga-duga. Maka, untuk memastikan semuanya, Janu memutuskan untuk menekan gagang pintu dan mendorongnya saja. Siapa tahu pintunya tidak terkunci.Dan ternyata, benar! Pintu yang sedari tadi Janu t
Janu tetap memeluk istrinya tanpa mengatakan apa pun. Ia tidak melepaskan Smith meski beberapa bekas cakaran dari istrinya itu memicu rasa perih. Juga bekas pukulan Smith yang kuat, cukup untuk membuat tubuh Janu terasa sakit.Hingga pada akhirnya Smith menjadi lemas. Ia menangis sejadi-jadinya, tapi lirih saja hingga napasnya tersengal-sengal.Selama dalam pelukan Janu, Smith seperti berperang melawan bayang-bayang masa lalu yang kelam. Semua perlakuan buruk ayahnya pada almarhum ibunya mencuat kembali dan membuatnya menjadi kian marah.Apa lagi jika permintaan sang ayah supaya Janu menceraikannya dan menikah dengan Sisil terngiang lagi. Rasa-rasanya Smith ingin melenyapkan semua makhluk bernama laki-laki dari muka bumi."Duduklah dulu," kata Janu menuntun Smith untuk duduk di atas tempat tidur. Janu mengusap rambut istrinya.Melihat tangisan Smith barusan, Janu menduga bahwa istrinya sedang teringat pada hal buruk yang telah dia
Janu memarkir motornya di depan panti jompo yang letaknya sesuai dengan yang ada di catatan kecil yang diberikan Pak Jono pada Smith. Ia mengelus rambut istrinya untuk mendatangkan tenang.Janu bisa melihat mata Smith yang berkaca-kaca. Ia tahu kalau Smith pasti kaget dengan tulisan besar yang tercantum dalam papan yang tertancap di halaman panti itu "Panti Jombo Kasih".Meski Janu telah memberi tahu Smith bahwa alamat yang diberikan Pak Jono adalah alamat dari sebuah panti jompo, kenyataannya Smith sangat berharap hal itu tidak benar. Akibatnya sekarang baru terasa, Smith mengalami serangan kekecewaan dan kesedihan yang membuatnya sampai ingin menangis."Ayo Smith, kita masuk," ajak Janu menganggandeng tangan Smith. Ia melangkah maju. Tapi langkahnya langsung terhenti lantaran Smith masih berdiri mematung.Smith masih menatap nanar bangunan yang ada di hadapannya. Rasa-rasanya Smith tidak kuat jika harus melihat Bibi Ipah berada di sana.
Smith dan Janu menunggu dengan detak jantung tak karuan. Berharap sang ayah memang mendaftarkan pembantu mereka dengan nama lengkap."Tuhan, jika Bibi Ipah benar-benar ada di sini, aku berjanji padamu akan mencium suamiku. Dia telah bersusah payah ingin mempertemukan aku dengan Bibi Ipah," batin Smith sambil menoleh pada Janu, ketika petugas panti telah memakai kembali kaca matanya.Sesaat kemudian Smith mengutuk dirinya sendiri karena berani berjanji pada Tuhan dengan begitu mudahnya. Menjanjikan hal yang mendekati mustahil untuk ia lakukan."Semoga ... " gumam Janu mengharapkan Bibi Ipah tidak berada di tempat lain. Ia tidak tahu harus mencari Bibi Ipah ke mana jika ternyata beliau tidak ada di sana.Tidak seperti sebelumnya, kali ini petugas panti tidak lagi mengenakan telunjuknya untuk membantu mencari nama yang disebutkan Smith. Seolah dalam ingatannya, petugas itu memang sempat sekelibat melihay nama Saripah pada buku yang masih ada di pangkuannya,
Satu-satunya hal yang membuat Smith menangis adalah kecewa. Kepada siapa? Kepada orang yang sudah sangat ahli dalam menyakiti hatinya. Siapa itu? Siapa lagi kalau bukan Hendry, ayah KANDUNG Smith!Kalau ditanya Smith bahagia atau tidak saat mendapat kepastian bahwa nama Saripah yang ada di buku panti itu adalah Bibi Ipah, sudah barang pasti Smith bahagia. Bukankah ia sampai membuat janji pada Tuhan demi kepastian itu.Smith senang karena ia tidak perlu lagi mencari pembantunya yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. Dan besok ia sudah bisa menemui Bibi Ipah.Kalau ditanya soal kecewa, kata 'sangat' pun tidak cukup untuk mewakili besaran kekecewaan yang Smith rasakan. Melihat nomor ponsel sang ayah pada buku itu, lagi-lagi menjadi bukti bahwa ayahnya memang tidak pernah berubah. Lelaki paruh baya itu tidak memikirkan perasaan orang lain dan hanya fokus pada balas dendam untuk membuat Smith merasakan sakit kehilangan yang dirasakan putrinya dengan label 'me
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j