Melihat tubuh pria itu basah kuyup, membuat hati Linggar tersentuh. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada sang suami. Sekesal apa pun hatinya saat ini, tak tega bila harus membiarkan Pramudita begitu saja. Tentunya pria itu pun membutuhkan perhatian kecil darinya, meski tak terlalu diharapkan.Mulai dari membuat wedang jahe, menyiapkan obat masuk angin, hingga memasak nasi goreng. Linggar menata rapi di meja makan. Ia menanti pria tersebut turun dari kamarnya. Sebelum naik ke atas, Linggar terlebih dahulu berpesan untuk kembali ke bawah, makan bersama.Meski perut Linggar tak begitu keroncongan, ia tak ingin Pramudita makan sendirian di meja makan tersebut. Duduk manis, menatap anak tangga terakhir yang menjadi tempat Pramudita berdiri di sana. Hingga derap langkah mulai terdengar semakin dekat, Linggar menegakkan tubuhnya. Ia memasang wajah datar, tak berekspresi sama sekali. Melempar tatapannya ke gawai yang tak jauh dari tangannya, berusaha tak terlihat tengah menunggu pri
Lima jam semenjak Linggar naik ke lantai dua, wanita itu tak terlihat jejaknya kembali. Bahkan lantai dua pun lengang, tak ada suara sedikit pun. Pramudita sengaja berkali-kali naik turun tangga untuk memastikan kondisi Linggar di dalam kamar. Dari luar tampak sepi, tak ada tanda-tanda wanita tersebut melakukan aktivitas. Hal ini membuat Pramudita sedikit khawatir dibuatnya. Takut bila terjadi sesuatu hal dengan Linggar. Sayangnya tangan Pramudita tak memiliki keberanian untuk mengetuk daun pintu itu. Ia hanya sebatas memandang dan berjalan mondar-mandir. "Apa aku ketuk saja ya?" Pramudita bimbang, pasalnya langit telah berubah warna, sedangkan wanita itu tak kunjung keluar. Lagi dan lagi, pikirannya mengembara ke berbagai kilasan peristiwa yang mengakibatkan hubungan antara dirinya dan Linggar menjadi semakin renggang. Sebelum hal ini terjadi, komunikasi di antara keduanya telah buruk. Bahkan Pramudita seolah menutup diri dan akses dari siapa saja termasuk Linggar. Ditambah adanya
Tidak seperti hari sebelum-sebelumnya, permasalahan dengan Linggar nyatanya berdampak buruk hingga ke ranah pekerjaannya. Pramudita tak bisa fokus dengan pekerjaan yang sedang ia pegang. Isi kepalanya tersita dengan wanita yang tak kunjung keluar dari kamar.Pukul tujuh pagi, Pramudita baru menginjakkan kaki di kantornya. Meski keluar dari rumah masih subuh, ia memilih berhenti di jalan. Menepikan mobilnya dan merenungkan masalahnya. Ia bingung tak temu titik terangnya, tentu saja ia menyadari akan kesalahannya sendiri.Wajahnya kusut, tak ada gurat senyum sedikit saja di wajahnya. Beberapa sapaan karyawan tak ia tanggapi, jalannya cepat, setiap hentakkan langkah terlihat penuh amarah. Datar dan dingin, seperti Pramudita kembali ke mode semula. "Kamu kenapa, Bos?" Senopati mengerutkan keningnya. "Ada masalah?"Pramudita menghempaskan tubuhnya ke atas kursi kerjanya. Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut kencang. Pikiran kembali bercabang banyak. "Jadwalku hari ini apa? Jika tid
"Apa maksudmu?" Otot leher Pramudita seketika mengencang, matanya pun melebar. Di saat pikirannya tengah kalut Pradipta datang membuat suasana semakin rumit.Pradipta terkekeh. "Kenapa kamu marah, Mas? Apa ada yang salah dari ucapanku? Apa kamu tidak tahu bila selama ini Dik Enggar itu tidak pernah bahagia hidup satu atap denganmu? Hatinya itu setiap hari pasti terasa kelabu, Mas.""Lagi pula mana ada wanita yang bisa hidup bahagia dengan pria kaku seperti kamu, Mas. Dia juga tidak kenal dekat denganmu sebelumnya, 'kan? Bahkan pernikahan kalian itu terjadi hanya karena desakan dua pihak keluarga, Mas." Pradipta melipat kedua tangannya di depan dada."Kamu itu opsi kedua dari Linggar, Mas. Ibaratnya kamu ini adalah pemain cadangan." Kepala Pradipta menggeleng perlahan."Yang namanya perasaan tidak ada yang tahu, Dip. Kita hanya menjalani saja setiap harinya, seperti air mengalir." Pramudita membela diri.Alis Pradipta terangkat sebelah. "Oh ya? Kamu yakin Linggar akan jatuh cinta denga
"Di rumah bosan sekali," ucap Linggar dengan mengembuskan napas panjang.Sudah dua jam lamanya, ia mengurung diri di dalam kamar. Sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Pramudita. Hatinya masih sangat kesal dan sakit atas ucapan sang suami, tega menjatuhkan tuduhan yang jelas tak mungkin ia lakukan. Kemarahan menggelegak dalam diri Linggar. Layaknya api membara dalam sekam, ia ingin menghanguskan bengunan dengan rasa marahnya. Setelah menarik napas dan membuangnya perlahan, ia kemudian merasa jauh lebih membaik kembali.Pandangannya jatuh pada ponsel di dalam genggamannya. Tak ada satu pun pesan masuk dari pria itu. Sebenarnya Linggar tak begitu berharap ataupun menanti, hanya saja hubungan mereka sedang memiliki konflik kembali, kemungkinan pria itu ingin membuat hatinya lega. Sayang sekali, semua itu hanya terjadi di dalam pikiran Linggar saja."Mana mungkin Mas Pram mengirimkan pesan dahulu. Aku rasa dia pun membiarkan bagaimana aku bertingkah. Entah aku marah ataupun kesal, tid
"Kamu mau sarapan di sini, Enggar?" Jodi mengerutkan keningnya. Lesehan pinggir jalan atau mungkin lebih familiar dengan nama angkringan. Bukan tak ingin, hanya saja Jodi berharap tempat yang dipilih Linggar lebih privat dan memungkinkan untuk mereka bertukar cerita. Malah yang didapatkan sebaliknya, Linggar memilih tempat umum dengan minim privasi."Kenapa, Jodi? Kamu tidak mau sarapan di sini? Atau mungkin kamu merasa malu sarapan di sini ya?" Linggar menatapnya penasaran, lantas pria itu menjawab dengan gelengan kepala.Jodi tersenyum kaku. "Tidak masalah, Enggar, aku menyukai di mana saja tempat yang kamu pilih. Tapi, bukankah tempat ini terlalu terbuka untuk kita saling bercerita? Bukankah lebih baik kita mencari tempat yang lain saja?" Wanita itu menggeleng sekilas. "Aku sudah lama ingin sarapan di sini, Jodi. Jika kamu tidak suka, lebih baik kamu cari tempat lain saja ya? Aku tidak memaksa kamu untuk ikut dengan pilihan yang aku pilih." Buru-buru Jodi menggelengkan kepalanya
"Kalian sudah lama?" Suara Pramudita terdengar renyah, lebih sedikit segar daripada sebelumnya. Ia juga mengambil bakaran yang berada di hadapan Linggar, perutnya pun meronta ingin diisi. "Belum," jawab Jodi. Mendadak ia merasa kurang nyaman dan tak enak berada di antara hubungan Linggar dan Pramudita. Tak dihiraukan oleh Pramudita, yang diharapakan olehnya adalah jawaban dari bibir Linggar bukan Jodi. Ia kesal kala mendengar suara pria tersebut, ada api yang tiba-tiba menyala di dalam hatinya. Sengaja ia duduk sedikit membelakangi pria tersebut, lebih menghadap Linggar. Bahkan menutupi pandangan Jodi ke Linggar. Pramudita menatap wajah Linggar, makin ia tatap makin besar pula rasa bersalah yang bersarang di dalam hatinya. Ia sadar atas kesalahan yang telah diperbuat, sayangnya ia tak mampu memperbaiki semuanya. "Kamu tidak lapar, Mas?" Linggar masih menundukkan, menikmati makanannya. "Mau makan tidak, Mas?" Linggar mengangkat wajahnya, tatapan mereka saling bertemu. Kepala Pram
Air mata terasa tak kering membasahi pipi Linggar. Wanita itu termenung di dalam mobil yang telah menepi di sebuah bahu jalan, lalu lintas tak begitu ramai, malah terbilang sepi. Ia tak memiliki keinginan untuk kembali ke rumah suaminya. Hati dan perasaannya campur aduk, bahkan kepalanya telah lama berdenyut kencang."Kenapa tidak ada jalan keluar atas masalah dari rumah tanggaku?" Linggar mengusap air matanya kasar. "Selalu ada saja ujian yang aku hadapi setiap harinya, aku juga lelah jika seperti ini terus."Masalah satu belum usai, ditambah masalah lain yang tiba-tiba muncul, menambah pikiran menjadi semakin rumit. Linggar sendiri pun sampai bingung harus menyelesaikan masalah masn terlebih dahulu. Terlebih Pramudita tak memiliki inisiatif untuk memperbaiki hubungan mereka, seolah acuh dan membiarkan begitu saja. Hubungan dibiarkan terombang-ambing, tanpa tujuan yang jelas."Jika Mas Pram tidak ingin hubungan ini langgeng sampai nanti, kenapa seolah masih memberikan perhatian ke ak
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian
"Kamu mau ke mana?" Pemaudita melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak datar dengan rahang mengeras."Itu sudah menjadi tanggung jawab kamu, Dipta. Kamu ingin lari dari tanggung jawabmu?" Pria dua puluh tujuh tahun itu membuang napas panjang, berdebat dengan sang kakak selalu tak mendapat celah. Pramudita selalu berhasil membuat lawan bicara mati gaya. "Aku hanya ingin mencari ketenangan sebentar saja, Mas. Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab, maka dari itu aku ingin kamu yang sementara ini memegang perusahaan. Satu tahun nanti aku akan kembali ke sini, Mas, aku hanya titip sebentar ke kamu. Tidak mungkin aku serahkan kembali ke Bapak 'kan, Mas? Bapak mana mungkin mau mengurus perusahaan," jelas Pradipta."Yang bisa mengurus itu hanya kamu, Mas. Aku percaya sama kamu, Mas. Lagi pula kamu bisa mengajak Linggar. Kalian bisa kerja sama berdua mengurus perusahaan 'kan, Mas? Ayolah, Mas, kamu pegang dua perusahaan. Aku satu bulan sekali bakal pulang," lanjutnya.Pramu
"Maaf, Dik, aku salah besar selama ini ke kamu. Maafkan aku." Linggar mengangguk, air mata terasa berada di pelupuk matanya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya melihat saudara sendiri memakai baju tahanan. Terlebih wajah kakak sepupunya itu begitu pucat dan melas, tidak seperti hati biasanya yang cantik dengan balutan riasan. "Terlalu banyak salah yang aku perbuat ke kamu ya, aku sampai bingung harus dengan cara apa aku meminta maaf ke kamu. Pasti jadi kamu pun tidak mudah, belum tentu hatimu lapang untuk memaafkan kesalahan aku. Tidak masalah, aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk memaafkan kesalahanku." Wanita itu mengusap air matanya. "Setidaknya kamu masih mau bertemu denganku, artinya masih ada kesempatan aku untuk mengubah semua menjadi lebih baik. Maafkan kesalahanku, Dik.""Aku bahkan dengan sengaja merebut calon suami kamu di hari bahagiamu, Dik. Itu semua salah, aku sangat salah besar. Harusnya tidak seperti itu," lanjutnya berurai air mata."Iya, Mbak, aku sudah mema
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa