Nah, kan. Kalau ini informasinya valid XD
Baik Morgan dan Yuna, keduanya membelalakkan mata. Seakan tak cukup setelah diinterogasi, kini Yuna justru terjebak dalam situasi paling buruk yang bisa ia bayangkan. Wajah wanita itu terlihat pucat, seakan baru saja tersambar petir di siang bolong, sementara Morgan justru terlihat bersemangat. “Benarkah? Dari mana kau mengetahuinya?” tanya pria itu. Hari ini, ia memang mengutus Benny untuk mengurus penyidikan Yuna, tetapi ia tidak menyangka jika kabar yang datang akan jadi sebaik ini. Yuna berusaha terlihat tidak mencolok, tetapi ia bahkan sulit menggerakkan tangannya saat menantikan jawaban Benny. “Salah satu informan kita mengakui mendengar Bu Dewi menyebut-nyebut Yuna yang telah kembali dan bekerja di negara ini. Aku juga sudah menugaskan seseorang untuk memantau rumah itu dua puluh empat jam.” Benny menjelaskan. Ia melirik ke arah Yuna di akhir kalimatnya. Awalnya, Benny ingin merahasiakan identitas wanita itu sampai akhir. Namun, salah satu orang suruhan mereka justru me
Yuna tidak pernah menyangka kalau proses melayatnya akan berubah menjadi teror karena kedatangan sang mantan suami. Begitu berhasil menuruni bukit makam sang putra, Yuna langsung berlari tunggang langgang seperti kuda yang ketakutan. Ia berlari dengan penuh kehati-hatian. Berusaha menjaga keseimbanan kakinya di antara makam-makam yang tidak bisa diinjak. “Yuna!” “Yuna! Kamu di mana!?” Wajah Yuna menjadi panik. Pergerakannya tambah tergesa saat dia mendengar orang memanggil-manggil namanya di belakang. Wanita itu terus mengambil langkah seribu menuju bagian makam yang lebih jauh ke dalam, ke area yang lebih ramai. Paling tidak, busana serba hitamnya akan membaur dengan pelayat lain yang mengenakan pakaian dengan warna serupa. Di tengah pelariannya, Yuna menyempatkan diri menoleh ke belakang dan terperanjat kaget melihat Benny sudah berlari ke arahnya dalam jarak yang tidak terlalu jauh. “Gawat,” gumam Yuna, kemudian berlari lebih jauh. Tidak ada jalan untuk tersembunyi. P
Jason hampir tidak percaya mendengarnya. Stereotipe yang selalu melekat pada dokter baru adalah bahwa mereka kalangan muda yang tidak memiliki pengalaman dalam hal pernikahan. Namun, Dokter Mira …. Umumnya, Jason terkenal paling tenang sekaligus kalem di jurusannya. Kali ini, pemuda itu nyaris tidak bisa menyembunyikan raut tercengang. Siapa yang menyangka jika wanita di hadapannya sudah memiliki anak? “Kau pasti terkejut,” gumam Yuna seraya terkekeh. Yuna sendiri tak menyangka jika pengakuan itu akan meluncur begitu saja dari bibirnya. Awalnya, Yuna tidak ingin memberitahu Jason atau siapa pun. Ia ingin hal itu tetap menjadi rahasia yang ia pendam. Namun, hatinya merasa sedih dan Yuna ingin berbagi cerita tentang Aaron kepada orang lain. Pikirnya, Jason adalah orang yang tepat, mengingat pria itu tidak banyak bicara. Jason berkedip untuk menetralisir keterkejutannya, kemudian menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Aku tidak pernah mendengar apa pun tentang
“Ini adalah alamat Nara, sahabat Nyonya Yuna, Tuan,” ucap Benny, melaporkan hal terakhir yang Morgan minta untuk hari ini. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh dan Morgan masih berada di tempat kerjanya. Pria itu masih terlihat serius dan segar saat Benny memasuki ruangannya. “Alamatnya berada di jalan—” “Tidak perlu disebutkan.” Pria itu menyela, kemudian menatap ke arah Benny. “Kau sudah mengirim orang untuk mengamati rumahnya?” Ia langsung bertanya. “Sudah, Tuan,” jawab Benny, kembali merapatkan bibirnya. Padahal, ia sengaja ingin menyebutkannya agar Morgan menyadari bahwa itu adalah alamat yang sama dengan tempat dia menjemput Dokter Mira. “Bagus,” ucap Morgan, kemudian tersenyum tipis, “Mulai sekarang, dia bergerak selangkah pun pasti akan kita ketahui,” tuturnya dengan raut puas. *** *** “Apa? Aku tidak bisa kembali ke sana?” Yuna nyaris berteriak di telepon saat mendengar pemberitahuan Nara. Raut wajahnya terlihat terkejut. Kini, Yuna sudah berada di taks
“Kau sudah mendapat kabar dari mereka?” Morgan bertanya tepat ketika ia bertemu dengan Benny pagi itu. Sepanjang malam, hampir tiga kali Morgan menelepon sekretarisnya untuk menanyakan hal yang sama. Rasanya pria itu ingin langsung meluncur jika mendengar kabar kemunculan Yuna. Sayangnya, Benny kembali menjawab dengan gelengan kepala, persis seperti tadi malam. “Masih belum, Tuan,” jawab Benny, jujur. Awalnya, pria itu mengira Yuna akan kembali ke rumah Nara seperti biasanya. Kali ini, ia pun terkejut karena tak ada salah satu pun dari orang suruhannya yang melaporkan keberadaan Yuna. “Ck, kau yakin sudah mengirim orang yang kompeten? Bagaimana mungkin tidak ada kabar sama sekali?” Morgan memprotes. Pria itu selalu bersumbu pendek jika sudah menyangkut kabar tentang Yuna. “Sudah, Tuan,” jawab Benny, “Tapi, di rumah Nona Senna maupun Nara tidak kedatangan siapa pun hari ini. Mereka pun sudah memastikan kalau Nyonya Yuna tidak ada di dalam.” Dia menjelaskan. “Mungkinkah Yun
“Maafkan aku, Bu,” ucap Yuna kepada sang ibu di seberang telepon. Wajahnya terlihat cemas karena merasa bersalah. “Ya, aku belum bisa pulang. Keadaaan di rumah sakit sangat sibuk. Aku harus sering lembur. Maafkan aku, Bu,” tuturnya, setengah berbohong. Malam ini pun, ia harus menginap di hotel karena Nara berkata orang asing yang mengintai rumah mereka masih ada. Kenyataan itu sudah berhasil membuat jengkel Yuna, sebab ia tidak memiliki seorang teman pun di hotel. Kini, sang ibu menelepon karena Yuna belum pernah kembali sejak tinggal di rumah Nara. Hal itu jelas membuat Yuna merasa bersalah. “Aku akan segera pulang setelah memiliki waktu luang. Ya, aku tidak pernah terlambat makan. Selamat malam juga, Ibu. Jangan bekerja sampai malam. Jangan lupa jaga kesehatan,” tutur Yuna dengan tulus sebelum panggilan ditutup. Yuna mengembuskan napas panjang dan menatap layar ponselnya dengan sorot rindu, kemudian mencebik sebal. “Semua ini gara-gara Morgan,” gerutunya. Meski menggerutu
Pada akhirnya, Yuna tinggal di ruangan Morgan sepanjang malam. Ia ikut tertidur, membiarkan pria itu tertidur nyenyak di pahanya sepanjang malam. Saat Yuna membuka mata, ruangan pria itu masih gelap. Ia membuka layar ponsel dan melihat sekarang pukul empat pagi. Beruntung, Morgan masih tertidur lelap. Di antara sayup-sayup mata sembab khas bangun tidur, Yuna tersenyum menatap wajah sang suami. Ketampanan Morgan benar-benar tidak berkurang. Malah, pria itu terlihat makin matang dan dewasa. Perlahan, Yuna mengambil salah satu bantal sofa dan menaruhnya di bawah kepala Morgan sebelum ia pergi meninggalkan ruangan. Seketika itu juga ruang kerja Morgan menjadi sunyi seakan tak pernah terjadi apa pun di sana. Baru pada pukul tujuh, tidur Morgan terganggu oleh dering asing yang menguar di ruangan. Alis Morgan mengernyit karena terlalu bising. Pria itu mencoba mengabaikannya, mengingat itu bukan dering ponsel miliknya, tetapi bunyi itu terus terdengar. Makin lama makin membuat pria itu j
Tok tok tok Suara ketukan di pintu itu menjadi semakin mendesak, seakan memaksa untuk dibukakan. Yuna dan Nara masih membeku di tempat. Wajah mereka terlihat kaku sekaligus ketakutan. Bahkan, Nara yang biasanya mampu bersikap blak-blakan tiap menghadapi Morgan kini diam tidak berkutik. Tok tok tok “Yuna, apa kau ada di dalam?” Mata Yuna membelalak. Itu bukanlah suara seorang pria. Itu suara wanita yang amat ia kenali. “Yuna, Nara! Cepat buka pintunya!” Yuna berkedip satu kali dan langsung menyadari bahwa itu adalah suara sang ibu. Ia lantas bergegas ke arah pintu dan membukanya. Benar saja. Yang berdiri di depan pintu adalah Dewi dan Senna. Sebuah senyum penuh kelegaan terbentuk pada wajah Yuna dan Nara. “Apa yang sedang kalian lakukan? Mengapa lama sekali membuka pintunya!?” omel Dewi seraya berjalan masuk. Wanita itu membawa banyak bingkisan berisi makanan. Mendengar komentar itu, Yuna dan Nara hanya bisa saling berpandangan, kemudian meringis canggung. Kini,
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i