"Kami sudah bicara dengan pihak administrasi rumah sakit mbak. Kalau dalam waktu satu Minggu ke depan mbak tidak melunasi tunggakan biaya perawatan, kami terpaksa menghentikan semua hal yang berkaitan dengan perawatan ayah mbak."Amora menatap kertas tagihan rumah sakit di tangannya dengan tatapan kosong. Angka-angka besar yang tertera di sana seolah menekan dadanya hingga sulit bernapas. Ia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas apa yang petugas administrasi itu katakan padanya. Ayahnya masih terbaring koma, bergantung pada alat-alat medis yang biayanya terus membengkak setiap hari. Sudah tidak ada lagi yang bisa dijual, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan, dan penghasilannya sebagai karyawan pemasaran bahkan tidak cukup untuk membayar seperempat dari total tagihan itu.Ingin meminjam pada kantornya, sangat tidak mungkin. karena dirinya juga baru saja bekerja sejak dua bulan yang lalu. kantor mana yang mau meminjamkan uang sebanyak ini pada karyawan yang baru bekerja dua bulan
"Me--menikah?"Kalimat itu jatuh seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Amora membeku di tempatnya, pikirannya berputar tanpa kendali. "Melahirkan seorang anak?" bisiknya, seolah berharap ia salah dengar. "Kamu... kamu tidak serius, kan?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini hanyalah gurauan yang kejam."Tak ada yang bercanda dari ucapanku Amora. Dan Setelah anak itu lahir," lanjut Dirga dengan nada rendah, "pernikahan kita akan berakhir. Aku hanya membutuhkan seorang keturunan, tidak lebih."Kata-kata itu menghantam Amora seperti badai. Napasnya tercekat, dan ia hanya bisa menatap Dirga dengan ekspresi terkejut sekaligus terluka. Pria itu tidak sedikit pun memalingkan wajahnya atau menunjukkan keraguan. Ia seperti batu karang yang tidak bisa digoyahkan oleh badai emosi apa pun.Amora masih terpaku, pikirannya berkecamuk dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Namun, Dirga tidak memberinya waktu lama untuk mencerna semuanya."Jika kau se
Amora berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen baru yang kini disebut sebagai "rumah." Ia baru saja 'sah' menjadi istri seorang Dirgantara. bahkan Gaun putih sederhana yang ia kenakan tadi masih membalut tubuhnya dengan sangat indah. Jika pernikahan ini karena cinta, Sudah bisa dipastikan dirinya akan menjadi pengantin wanita paling bahagia di dunia ini. tapi nyatanya, Ia harus menelan pil pahit karena semuanya hanyalah sebuah perjanjian. Pernikahan yang sangat Amora impikan, hanyalah sebuah perjanjian. Amora semakin dibuat lirih saat ia menatap jari manisnya yang tak melingkar apapun. Seharusnya ada cincin di sini. tapi justru yang ia lihat hanyalah jemarinya saja tanpa cincin pengikat."Hahaha, Apa yang kau harapkan Amora! semuanya hanya perjanjian. Hamil lah dan lahirkan anaknya setelah itu kau harus siap dibuang seperti sampah." Ujarnya pada dirinya sendiri sembari menatap ke depan cermin."Oh, kau masih di depan cermin? keluarlah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Jam menunjukkan pukul tiga subuh. Dirga masih terjaga setelah pergulatan panjangnya dengan Amora yang baru selesai satu jam yang lalu. Ia tak menyangka keberanian Amora membuat mereka berakhir di atas ranjang yang sama. Entah berapa kali ia melepaskan calon anaknya di Rahim Amora. Dan ia berharap jika itu bisa cepat menghasilkan. Dirga memejamkan matanya. Ia bersandar di sandaran tempat tidur. Hanya sebentar, ia kembali membuka matanya dan menatap Amora yang kini sudah terlelap dengan tubuh telanjang yang hanya ditutupi selimut tebal. Tatapan Dirga terlihat kosong. Ia kembali teringat satu bulan yang lalu, kakeknya memberikan ancaman padanya.Satu bulan yang lalu, "Dirga, jangan bermimpi menjadi penerus utama keluarga ini jika kau belum memiliki keturunan. Warisan ini bukan untuk pria yang tak bisa melanjutkan garis keluarga." Dirga mengepalkan tangannya, merasa terdesak oleh tuntutan keluarga yang tak pernah memberinya ruang untuk memilih. Itulah alasan ia membuat keputusan dingin
Dirga duduk di ruang kerja di kantornya, mencoba fokus pada dokumen yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya terus kembali pada wajah Amora yang basah oleh air mata yang ia lihat tadi malam saat ia hendak kembali ke apartemen lama dan hendak melihat keadaan Amora untuk sebentar.Ia tak pernah peduli sebelumnya-air mata orang lain adalah urusan mereka, bukan urusannya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang aneh mengusik hatinya, seperti duri kecil yang menyakitkan meski tak terlihat. Dirga menepis pikirannya, menganggap itu hanya rasa bersalah yang seharusnya tak perlu ia rasakan. "Dia tahu konsekuensinya," gumamnya pelan, tapi suara itu terdengar lebih seperti pembelaan daripada keyakinan.Namun semakin lama Dirga mencoba fokus, semua semakin membuatnya sakit kepala. Dirga memijat pelipisnya, mencoba menghalau rasa lelah yang tak biasa. Pikirannya terus mengembara, kembali ke apartemen tempat Amora berada. Sudah satu bulan mereka menikah, dan meskipun hubungan mereka didasark
"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi.Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka."Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin.Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas."Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?"A
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.