“Runa, bawa mainan ini ke kamar ya?” pinta Roni sambil tersenyum. “Terima kasih, Yah!” Setelah Aruna menghilang ke dalam rumah, Roni lantas memandang Siska. “Ririn bikin keributan atau kamu dan Pasha sengaja mengeroyok dia?” “Apa kamu bilang? Kami mengeroyok? Astaga, benar kan? Dia pasti playing victim dan akan selalu seperti itu.” “Aku serius, Siska. Sebagai sesama perempuan, aku pikir kamu akan berempati sama Ririn yang mengalami keguguran. Bukankah kamu pernah hamil dan melahirkan, tapi kenapa kamu seperti tidak punya empati sama dia?” Siska berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Betul kan dugaan aku? Ririn pasti mengadu yang tidak-tidak tentang aku dan anak kamu, playing victim ... Bahkan sampai mengungkit-ungkit kejadian dia keguguran di rumah ini, niat dia tuh apa sih?” “Ririn berniat baik dengan datang ke sini untuk berkunjung, tapi kamu dan Pasha malah menyerangnya habis-habisan.” “Menyerang? Kami menyerang Ririn pakai apa kalau boleh tahu?” “Jangan mengelak, Sis. Bah
Siska ikut tersenyum bahagia melihat keceriaan yang terbit di wajah anak-anaknya. Setelah kenangan buruk yang ditinggalkan Roni dalam pikiran mereka, kini anak-anak tak bersalah itu mendapatkan bahagia.Malam itu, Pasha membawa keluarganya ke salah satu restoran seafood yang sering dikunjungi keluarga besar Danadyaksa.“Kalian bebas pilih menu, ayo!” suruh Pasha mempersilakan. “Siska, kamu mau makan apa?”“Nasi goreng seafood, Sha.”Ketika sedang asyik memilih makanan, tiba-tiba Roni dan Ririn mendatangi meja mereka.“Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini!” sapa Ririn sambil tersenyum lebar.Apa sih, cari perhatian banget. Cilla melirik ibu tirinya sembari membatin dalam hati, ekspresi tidak suka terlihat jelas di wajahnya.“Kalian tidak kebagian meja?” tanya Siska sambil celingukan ke sana kemari dan terlihat ada meja yang masih kosong.“Bukan begitu, kami tadinya mau pakai meja itu dan kebetulan melihat kalian ...” Roni memberi tahu.“Jadi?”“Sekalian saja kami mau b
“Mas, itu mantan istri kamu sudah kasih kabar belum soal Aruna?” tanya Ririn gelisah. “Kok lama sekali, jangan-jangan dia cuma pura-pura mau tanya Runa dulu. Padahal aslinya dia yang nggak setuju kalau kita bawa Runa tinggal sama kita.”Roni menatap layar ponselnya.“Jangan berpikir macam-macam dulu, siapa tahu Siska memang sibuk.”“Sesibuk apa sih, orang mereka tinggal seatap!” tukas Ririn. “Coba kamu hubungi dia, minta kepastian.”Roni menghela napas.“Besok saja aku telepon.”“Kok besok sih, Mas? Sekarang saja ....”“Kamu tidak lihat ini sudah jam berapa? Kenapa kita tidak usaha secara alami juga?” “Usaha alami?”Roni menatap Ririn. “Kamu sering merawat diri sampai bening seperti ini, masa aku tidak tergoda?” Ririn langsung tersipu malu. “Akan lebih sempurna lagi kalau ada Aruna buat pancingan, Mas. Sebelum ini kita sudah usaha alami, tapi belum berhasil juga. Siapa tahu dengan pancingan, perjuangan kita bisa membuahkan hasil?”“Iya, itu gampang. Aku yakin Runa bersedi
“Mas Roni masih kerja,” kata Ririn memberi tahu. “Aku minta dia untuk mencari alamat rumah suami kamu, makanya aku datang ke sini untuk bertanya langsung sama Runa.” “Jadi kamu sudah bertemu Runa?” “Ya, dia mau-mau saja tuh aku bujuk untuk tinggal sama aku. Nggak seperti yang kamu bilang kalau Runa menolak ajakan kami ....” “Aku tidak pernah bilang kalau Runa menolak, aku cuma bilang kalau dia belum bicara apa-apa soal ajakan kalian.” Siska membantah. “Runa biasanya bilang kalau dia punya keinginan, tapi kemarin itu dia sibuk main dan tidak kasih jawaban apa-apa.” “Ya sudah, kita tunggu Runa saja kalau kamu tidak percaya.” “Untuk apa menunggu, aku kan ibunya.” Siska berbalik dan langsung masuk ke dalam rumah sementara Pasha mengikutinya dari belakang. “Runa?” panggil Siska sambil melangkah memasuki kamarnya. “Kamu di mana, Sayang?” Kamar kosong, membuat Siska kebingungan mencari keberadaan putrinya yang paling kecil. Dia terus memanggil-manggil nama Aruna dengan panik, takut ter
“Runa, kamu apakan itu koleksi majalah fashion Tante?”“Gambarnya bagus, Tante ... Aku mau lihat-lihat!”Ririn menahan gemas, terlebih ketika menyaksikan jari-jari kecil Aruna membalik halaman majalah itu dengan cepat.“Run, jangan sampai majalah Tante sobek ya ... Nanti foto-foto di dalamnya bisa jelek.”Aruna mengangguk saja, tapi dia tidak berhenti untuk membolak-balik halaman majalah itu dengan enerjik.“Runa, kamu main yang lain saja ya? Tadi dibawakan apa saja Mbak Lani?” tanya Ririn mengalihkan perhatian.“Boneka, tapi aku bosan! Jadi aku mau lihat-lihat ini, boneka hidupnya cantik. Bajunya juga bagus, Tante.”Ririn memegang keningnya. Tidak, dia harus sabar. Jangan sampai Aruna merasa diperlakukan tidak ramah dan merengek untuk pulang ke rumah suami Siska.Alhasil Ririn hanya bisa diam sambil mengawasi tingkah Aruna, berjaga-jaga agar jangan sampai majalah fashion koleksinya rusak karena tangan atraktif dari putri sambungnya.“Hei, anak ayah sudah datang!” Sore itu
Aruna mengangguk-angguk kepalanya dengan pipi menggelembung penuh kue, menggemaskan sekali.Malamnya, Ririn menekuk wajahnya di hadapan Roni sementara Aruna bermain boneka di atas karpet.“Runa nggak tidur?” tanya Ririn dengan wajah mengantuk.“Nanti tidur sama ayah, Tante.”Ririn menatap Roni, minta penjelasan. Namun, Roni hanya menganggukkan kepalanya sebagai isyarat bahwa dia membenarkan ucapan Aruna.Hitung-hitung belajar jadi ibu sungguhan, batin Ririn dalam hati. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berusaha membujuk Aruna agar segera tidur di tengah-tengah mereka.“Run, sudah malam. Besok lagi ya mainnya?”Aruna celingukan ke arah jam dinding. “Ini jam berapa, Tante?”“Sudah malam, Run. Waktunya kamu untuk tidur, sini.”Roni tersenyum melihat kelembutan sikap Ririn yang keibuan, dia menoleh menatap Aruna dan memintanya untuk menuruti ucapan sang ibu sambung.“Sana, tidur dulu sama Tante Ririn. Besok kamu bisa main lagi sepuasnya, oke?”Aruna akhirnya mengangguk da
“Ke depan kan kamu nggak tahu apa yang terjadi, Say! Lagian kamu kenapa nggak pinjam anak dari keluarga kamu saja sih, masa ini anak dari mantan istri suami ....”“Hati-hati tersaingi, lho!”Ririn tersenyum saja, dia merasa tidak level untuk bersaing dengan Aruna yang masih anak kecil.“Ya sudah yuk, nggak usah dibahas lagi. Aku akan pastikan kalau anak sambung aku nggak merebut perhatian Mas Roni,” kata Ririn buru-buru.“Semoga ya, Say? Kita bukannya apa, cuma kasih saran saja supaya kamu nggak salah langkah.”“Betul itu, Sayang. Kalau kamu berhasil hamil, kami juga ikut bahagia!”Ririn menyunggingkan senyumnya, dia lantas menyibukkan diri dengan memilih-milih tas branded keluaran terbaru sekaligus limited edition.Mas Roni bisa marah lagi kalau tahu aku beli tas baru, batin Ririn. Namun, hasratnya untuk memiliki tas itu begitu menggebu-gebu sehingga dia pun segera mencari cara supaya keinginannya bisa tercapai.“Say, aku nanti beli tas ini. Nitip di tempatmu dulu, boleh?” ta
“Tidak masalah selama itu positif,” pungkas Roni. Sejak percakapan itulah, Ririn bertekad untuk mendidik Aruna dengan caranya sendiri. Prangg! Hari itu, sebuah piring meluncur mulus dari tangan Siska ketika dia sedang menyiapkan makan malam. “Aduh ...” Siska meringis ketika salah satu jarinya tergores oleh pecahan kaca. “Tumben licin sekali ... tidak biasanya.” “Kenapa, Sis?” Pasha melongokkan kepalanya ke arah dapur. “Tidak apa-apa, Sha. Cuma piring pecah kok, ini sedang aku bereskan.” Pasha bergegas mendatangi istrinya. “Hati-hati, kok bisa jatuh? Kebanyakan sabun mungkin ....” “Tidak tahu juga, mungkin aku yang kurang hati-hati.” Siska tersenyum. “Biar aku saja, itu berdarah kan?” “Sedikit ....” “Sana ambil plester luka, biar darahnya mampet.” Siska mengangguk dan bergegas pergi ke kamar sementara Pasha yang membersihkan pecahan piringnya. Ketika sedang membalut luka di salah satu jari tangannya, Siska tiba-tiba memikirkan Aruna. Sudah beberapa hari ini si kecil tidak