“Agar kamu tidak terjatuh.” Bian tersenyum sambil melihat istrinya dari pantulan kaca spion. Flavia tersenyum tipis. Entah kenapa dia malu harus memeluk Bian, tetapi dia tidak menolak juga ketika diminta untuk memeluk. “Baiklah, kita pergi.” Bian mulai menarik tuas gasnya. Melajukan mobilnya ke mal. Walaupun di dekat apartemen mereka ada mal, tetap saja mereka ingin pergi ke mal lain. Alasan Bian saja yang ingin menikmati naik motor dengan Flavia. Bian melajukan motornya. Jalanan cukup padat, meskipun tidak macet. Bian juga tidak melajukan motornya dengan kencang agar Flavia nyaman memboceng. Langit malam ini begitu indah. Flavia yang melihat ke langit, melihat bintang-bintang denga sedikit cahaya. Maklum, ibu kota dengan begitu banyak polusi memang membuat cahaya bintang sedikit tertutup. Udara malam yang cukup dingin, disertai angin yang bertiup kencang membuat Flavia mengeratkan pelukannya. Bian yang merasakan pelukan dari Flavia merasa senang. Perjalanan tiga puluh menit me
Bian dan Flavia melanjutkan berjalan-jalan ke toko-toko yang berada di mal. Saat melintas di toko sepatu Flavia terpana dengan sepatu yang begitu cantik. “Aku mau lihat itu.” Flavia menarik Bian. Bian pasrah saja ketika Flavia menariknya. Dia mengikuti ke mana istrinya membawanya. Ternyata sang istri sedang melihat sepatu yang terpajang. “Wah … cantik sekali.” Flavia melihat sepatu dengan warna toska yang begitu cantik sekali. “Cobalah.” Bian menatap sang istri. Flavia mengangguk. Dia meminta pramuniaga untuk mengambilkan ukuran sepatunya. Kemudian mencobanya. Warna toska dengan hiasan blink-blink tampak begitu indah sekali. Pas di kaki Flavia yang berwarna putih. “Berapa harganya?” tanya Flavia pada pramuniaga sambil hendak memasang sepatu di kaki satunya. “Lima belas juta.” Pramuniaga memberitahu. Seketika Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut. Karena harganya tidak masuk akal baginya. Tentu saja Flavia takut membeli barang dengan harga segitu. Dia segera
Pagi ini Flavia berniat untuk berolahraga. Dari kemarin, dia belum datang bulan. Berharap jika setelah olahraga kali ini dia akan segera datang bulan. Namun, karena Flavia juga takut jika sampai ada kehamilan, dia memilih untuk berenang saja. Olahraga yang menurutnya aman jika terjadi kehamilan. Saat keluar, dia melihat Bian yang juga sedang memakai sepatu olahraga. Tentu saja, dia menebak jika pasti Bian ingin olahraga juga. “Kamu mau olahraga?” tanya Flavia memastikan pada Bian. “Iya, kamu sendiri mau ke mana?” Bian melihat Flavia membawa tas di tangannya. “Mau berenang.” Flavia menunjukan tasnya. Walaupun Bian hanya melihat tas dari luar saja, tetapi dia tahu jika tas itu berisi alat untuk berenang. “Tunggu kalau begitu.” Bian melepas sepatunya. Dia ingin ikut Flavia berenang juga. “Tunggu apa?” Flavia bingung dengan Bian yang tiba-tiba membuka sepatunya. “Aku mau ikut berenang.” Bian tidak mau sang istri lepas dari pengawasannya. Dia segera berlari ke kamarnya. “Tunggu aku
Flavia memilih untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu, sedangkan Bian sudah langsung meluncur ke dalam air. Flavia melihat sang suami yang berenang. Tentu saja itu membuatnya ingin segera merasakan air dingin yang mengenai kulitnya. Pasti akan segar sekali. Setelah melakukan pemanasan, Flavia langsung meluncur ke dalam kolam renang. Rasa segar begitu terasa ketika Flavia berenang. Dia berenang sampai ke ujung di mana pemandangan kota terlihat dari ketinggian. Flavia muncul dari dalam air. Dia mengambil udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang kosong akibat menahan napas di dalam air. “Aku suka berenang di sini karena bisa sambil melihat pemandangan.” Flavia tersenyum ketika melihat pemandangan kota dari atas. “Perasaan sama saja jika dilihat dari balkon apartemen.” Bian merasa memang tidak ada bedanya. Flavia merasa Bian kembali menyebalkan. Padahal semalam begitu romantis sekali. Flavia merasa jika ternyata dia memang dirinya tidak boleh langsung percaya. “
“Tentu saja tidak. Ini pertama kali aku membelinya.” Bian menatap Flavia. “Kenapa kamu berpikir aku sudah biasa?” tanyanya ingin tahu. “Kamu tampak tenang ketika membeli alat tes kehamilan.” Flavia merasa Bian tidak setakut dirinya. “Aku dan kamu sudah menikah. Bukan berpacaran yang takut untuk membeli alat tes kehamilan. Jika pun anak itu ada, dia ada di dalam pernikahan. Lalu kenapa harus takut?” Bian justru bingung dengan apa yang dipikirkan oleh Flavia. Flavia terdiam. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Bian. Memang benar adanya jika dirinyalah yang terlalu berlebihan takut. Padahal mereka sudah menikah, jadi sah-sah saja jika membeli alat tes kehamilan. Bian melajukan mobilnya kembali ke apartemen. Dia tidak mempermasalahkan apa yang dikatakan oleh Flavia. Dia tahu jika sang istri sedang takut. Jadi dia memaklumi. ***Suara ketukan pintu terdengar. Flavia yang sedang menikmati tidurnya segera berangsur bangun ketika mendengar suara itu. Dilihatnya waktu me
Entah kenapa Bian senang ketika tanpa diminta Flavia memeluknya. Itu menandakan jika Flavia mulai nyaman dengannya. Benar kat Bian, naik motor memang secepat itu. Tentu saja itu membuatnya senang. Apalagi tadi ketika Bian menyelip antara mobil-mobil. Begitu seru dan menegangkan. Kebetulan motor Bian terparkir di depan kantor tepat. Karena memang disiapkan khusus untuk anak pemilik perusahaan. Jadi wajar saja. Flavia yang turun dari motor segera membuka helm-nya. Ketika rambutnya tergerai, dia mencium aroma rambut itu. Sayangnya, dia tidak mencium aroma rambutnya apa-apa. “Coba cium, ada bau asap tidak.” Flavia menyodorkan kepalanya untuk dicium oleh Bian. Bian tersenyum. Dia melakukan apa yang diminta istrinya itu. Namun, bukannya mendapatkan bau asap, dia mencium aroma shampoo Flavia yang begitu wangi sekali. “Wangi shampoo.” Bian menjelaskan aroma apa yang diciumnya. “Benar? Coba cium lagi. Siapa tahu terselip aroma asap?” Flavia masih belum percaya. Hingga membuat suaminya
Flavia terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Dia sendiri juga belum tahu perasaannya. Bagaimana bisa menjawab. “Aku belum bisa memikirkan itu semua. Aku memang mulai nyaman denganmu, tapi ….” Masih ada keraguan di dalam hatinya. Bian melihat jelas keraguan dari mata Flavia. “Aku masih punya waktu bukan untuk meyakinkanmu.” Bian menarik tangan Flavia dan menggenggamnya. “Jadi bisakah kamu memberikan waktu untukku?” Dia menatap penuh harap pada Flavia. Berharap Flavia tidak akan mengakhiri pernikahan mereka. “Aku rasa kamu masih punya kesempatan. Buatlah aku yakin jika aku bisa menerimamu. Memaafkan apa yang sudah kamu lakukan.” Flavia membuka pintu hatinya. Mengizinkan Bian untuk masuk. Kenyamanan yang diberikan Bian memang membuatnya terbuai. Jadi dia tidak bisa memungkiri hal itu. Walaupun belum sepenuhnya hatinya terbuka untuk Bian, tetapi dia pun mencoba memberikan ruang Bian untuk meyakinkannya. “Baiklah, aku akan mencoba.” Bian tersenyum. Ketika Flavia membuka hatinya, dia
Di dapur, Flavia langsung membantu mama tirinya itu. Menyiapkan makanan untuk makan siang bersama. Kebetulan Mama Agnes sudah memasak. Jadi Flavia tinggal memindahkan ke meja makan. “Sepertinya kamu sekarang bisa memikat Bian dan mengukuhkan dirimu jadi keluarga Adion.” Mama Agnes menyindir Flavia. “Bukankah bagus jika aku menjadi anggota keluarga Adion? Aku tidak perlu mengganggu Anda yang ingin menguasai uang papa.” Flavia balik menyindir. Mama Agnes kesal. Walaupun itu yang diharapkan tentu saja, dia tetap tidak suka diucapkan secara gamblang.“Bukankah kalian membuat surat perjanjian? Aku belum melihatmu yang hamil. Artinya kamu akan bercerai.” Mama Agnes tersenyum meledek. “Ingatlah, jika kamu bercerai. Jangan pernah sampai kamu ke sini meminta bantuan.” Flavia mengeram kesal. Entah orang tua seperti apa mama tirinya itu. Dia tidak mengerti. Seolah tidak mau melihat anak tirinya bahagia, dan juga tidak mau membantu anak tirinya. “Tenanglah, aku tidak akan pernah ke sini un
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber