Tanganku membelai rambut Rafa dengan lembut. Dia sedang memeluk foto ibunya yang kurobek dari sebuah majalah wanita. Wajah Sakira Safira saat diwawancarai oleh wartawan. Salah satu dari berita gosip di stasiun televisi. Memakai gaun sebatas lutut tanpa lengan terlihat cantik. Maklumlah Sakira adalah artis papan atas. Semua penampilannya menjadi sorotan media sosial. Bahkan, menjadi perbincangan hangat sekitar kariernya yang sedang naik daun. Ketika melihat wajah ibunya untuk pertama kali, Rafa tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Kata Rafa, 'atah, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan ibu.'' Sobekan majalah dipeluk dengan erat. Seperti menumpahkan kerinduan yang memuncak. Melebihi rasa rinduku pada wanita yang telah lama tidak ditemui. Entah seperti apa dia kini, bila saling bertatapan muka. Mungkin Sakura masih ada rasa cinta padaku?Dalam hatiku berpikir. Apakah reaksi Sakira nanti saat bertemu denganku. Apakah dia akan menerima Rafa? Kuharap begitu. Sebagai anak yang t
"Ibu!" Teriak Rafa. Dia segera berlari ke arah ibunya yang tidak lain adalah Sakira.Kubiarkan Rafa memeluk kaki Sakira dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan. Sakira Safira terkejut. Tiba-tiba saja seorang bocah kecil memeluk lututnya sambil tersenyum."Eh, siapa kamu? Kenapa memanggilku Ibu? Berani sekali memanggilku dengan sebutan, 'ibu.' Dasar anak tidak sopan!" Bentak Sakira.Sakira bertanya sambil menatap Rafa. Wajah Rafa mirip dengannya, bak pinang dibelah dua. Hidung mancung, kulitnya juga putih bersih. Plek-ketiplek mirip dengan Sakira Farida Safira.Aku mendekat ke arah Sakira dengan langkah ragu. Kemeja yang kukenakan terlihat melambai-lambai tertiup angin. Tubuhku gemetar seperti terkena arus listrik tegangan tinggi. Menatap wanita yang pernah singgah di hatiku sekian tahun lalu.Mencoba mengembangkan senyum. Pada wanita yang sudah lama tak kutemui. Dia tidak banyak berubah. Walau sudah sekian tahun tidak pernah muncul. Seakan lenyap ditelan bumi. "Kamu lupa kalau punya
Rafa tersenyum ketika melihat makanan yang disediakan Naina di atas meja dengan lengkap. Berbagai menu terhidang serta lauk pauk yang sangat lezat. Begitu menggoda selera. Dia memegangi sendok sambil menggoyangkan kaki duduk di kursi. Sekilas aku mencuri pandang ke wajah Naina. Dia cantik dan menawan. Mungkin karena ayahnya orang kaya, dan punya segalanya. Hingga Naina tak pernah kekurangan apa pun dalam hal materi.Berbagai menu sehat tersedia. Ada juga sayur dengan aneka seafood dan juga ayam goreng KFC. Cuci tangan sudah, kaki juga sudah bersih. Melihat kentucky tepung bumbu, perut Rafa menjadi lapar dan keroncongan. Pasti dia tidak sabar ingin segera menikmati.Sesekali aku menangkap basah ke arah Rafa, lalu melirik ke arah Naina yang sedang menyiapkan minuman. Aku jadi teringat dengan keponakan—Bang Furqon yang setiap hari digendong oleh pria itu. Ketika keponakannya sedang disuapi ibunya makan. Saat itu, aku bisa merasakan Rafa bersedih. Mungkin timbul rasa iri pada diri Rafa.
Angin bertiup menerpa baju putih kemeja yang kupakai. Mempermainkan seperti layang-layang. Di hadapan makam ibu, aku menaburkan bunga. Kemudian, berdoa tepat di sisi pusara. Beberapa bulan lalu dia masih bercanda, dan tersenyum bersamaku.Aku berziarah mengunjungi makam orang tua setelah pulang bertemu dengan Sakira. Tradisi nyekar sudah dilakukan sejak dulu. Ketika umat muslim ingin mengirimkan doa. Aku dan Rafa duduk bersila di atas rumput membacakan yasin. Rafa menabur bunga di atas kuburan ibu dan menyiramkan air."Ibu, aku datang. Lusa Rafa sudah mulai sekolah. Doa, kan semoga Rafa bisa tetap sekolah dengan baik. Dan aku bisa membiayainya."Aku berbicara pada makam ibu yang berjajar dengan makam lain. Menaburkan bunga, lalu menyirami dengan air mawar yang dibawa dari rumah. Hanya sesekali saja kalau aku rindu ingin nyekar ke makamnya. Jangan tanya ke mana ayahku pergi. Sejak kecil, aku tak pernah bertemu dengannya."Ibu, pasti kamu di atas sana sedang melihatku sekarang. Iya, aku
Malam yang dingin terasa menembus kulit dari dalam. Hujan turun dengan deras, hingga membuatku harus banyak menampung gebang air dengan menggunakan baskom. Atap rumah semuanya pada bocor.Ember dan baskom plastik pun berjajar dengan rapi. Di atas lantai semen yang sudah mulai retak sana-sini aku memperhatikan. Kupeluk erat lutut yang mulai kedinginan karena tertetes air hujan. Sementara tubuhku mulai terlihat menggigil juga karena menahan dingin. Akibat guyuran air dari atap yang bocor.“Rafa, kamu gapapa, Nak! Mendekatlah sama Ayah biar baju kamu tidak basah,” ucapku.Rafa segera bangun dari tidurnya. Kemudian, mendekat ke arah pojokan tempat tidur. Seraya langsung berlari ke dalam pelukkan.Kami tidur tanpa ranjang, hanya beralaskan tilam busa yang sudah tipis. Tilam pemberian tetangga semasa ibu masih hidup.“Ayah, dingin,” keluh Rafa.Dia meringkuk menahan rasa dingin yang kian menusuk ke tulang.“Pakai ini, Nak!” kuberikan baju hangat yang dipakai agar dia bisa merasa nyaman.“Ay
Matahari pagi terbit di ufuk timur. Ayam berkokok bersahutan menjelang pukul empat pagi. Menandakan sang fajar telah tiba, malam berganti dengan pagi, pun dengan sebaliknya. Pagi berganti dengan siang. Hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga lupuh menit.Seperti biasa, aku sudah bangun sebelum waktu salat subuh tiba. Menyiapkan keperluan sekolah Rafa. Rencananya akan pergi ke sekolah Rafa untuk membayar uang sekolah yang tertunda selama dua bulan.Itu pun hanya akan dibayar satu bulan lebih dahulu. Agar tidak terlalu menumpuk hutang di sekolah. Niat untuk menangguhkan agar Rafa tidak dikeluarkan dari sekolah. Setelah menyiapkan sarapan singkong rebus, aku membangunkan Rafa untuk melaksanakan salat Subuh."Rafa, bangun, Nak!" ucapku sembari mengguncangkan tubuh Rafa yang meringkuk di balik selimut. Semalam, dia tampak kedinginan tidur dengan udara yang menusuk tulang. Tak ada penghangat ruang di gubuk kami.Mata Rafa mengerjap. Perlahan membuka matanya. Dilihatnya jam
Aku dan Rafa berjalan beriringan menyusuri perkebunan jagung. Pulang dari sekolah pukul sebelas siang. Di bawah terik matahari yang menyengat. Sementara, Rafa berjalan dengan lesu di samping. Sepanjang jalan, kami tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi. Menggunakan punggung tangan."Ayah, Rafa haus," ucap Rafa menengadahkan kepala ke atas.Segera kuraih botol minum yang ada di dalam tasnya, lalu membNainan pada Rafa yang sedang kehausan. Rafa langsung meneguk minuman sampai habis tak tersisa. Melihat senyumnya yang manis membuatku merasa bahagia. Walau kehidupannya tak seberuntung anak yang lainnya, tetapi dia tak pernah mengeluh.Sejak kecil dia sudah hidup menderita bersamaku. Tidak banyak protes meski teman-teman sebayanya sering membuli."Terima kasih, Ayah."Rafa membNainan botol bekas air mineral kepadaku. Kembali kumasakukan wadah kosong ke dalam tasnya.Dengan pelan kita menyusuri melanjutkan perjalanan menuju ke arah desa. Begitu memasuki pe
Bab 17. Beasiswa Rafa masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hati bagai sebilah pisau tajam. Tega sekali Sakira tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Sehina itukah kami di matanya?“Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo, bangunlah!” ucapku membantunya berdiri.Mungkin karena seragam yang dipakai Rafa lusuh. Hingga terlihat perbedaan status sosial. Uang menjadi bukti. Cinta seorang ibu telah berubah untuk anaknya.“Rafa, jangan menangis, Nak. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Ersa.Bu Ersa mencoba menghibur Rafa. Pertemuan yang dramatis tadi telah menimbulkan rasa trauma bagi anak sekecil Rafa.Bahkan, binatang saja tahu kalau itu anaknya tapi Sakira tidak. Seorang ibu tega melalaikan buah hatinya demi harta dan pria lain. Apakah dia masih layak disebut sebagai ibu?Dengan rasa perih kupeluk tubuh Rafa yang malang. Aku dengan berat hati melepas kepergiannya. Mungkin ini terakhir kali aku bersed