'Pebisnis sombong!' maki Nadia dengan bibir mengerucut.
Dirinya sudah keluar dari ruangan interview tadi dan tengah berjalan meninggalkan kediaman megah tersebut. Namun, benak Nadia dipenuhi ingatan akan betapa dinginnya sikap Daniel.Entah kenapa, semakin sering dia mengulang kejadian tadi dalam benaknya, Nadia merasa semakin kesal. Walau dia tidak berpengalaman, pria itu sebenarnya bisa bersikap jauh lebih hangat. Akan tetapi, tidak! Pria itu harus bersikap begitu menyebalkan!Nadia terus memaki Daniel dalam hati, tidak berhenti sampai akhirnya dia menyadari satu hal."Ini ... di mana?" tanya Nadia sambil celingukan, merasa bingung karena tidak kenal dengan area yang dia lalui.Saat melihat seorang wanita berjalan tidak jauh di depannya, mata Nadia pun berbinar. Dia baru saja ingin berseru untuk memanggil orang tersebut, tapi langsung berhenti ketika melihat kantong plastik hitam besar yang dibawa wanita itu.'Ini mataku atau ... plastik hitamnya bergerak-gerak sendiri?' Nadia mengernyitkan dahinya.Nadia pun berjalan mendekat, sedikit mengendap karena wanita di hadapan melakukan hal yang sama. Namun, tak lama mata Nadia membulat ketika indera pendengarannya menangkap suara tangis lirih yang terpendam dari kantong tersebut.“Huuu, huuuu.”‘Loh, kok kayak suara–’Belum sempat Nadia menyelesaikan pergulatan batinnya, tiba-tiba wanita aneh itu menoleh dan bersitatap dengan Nadia. Detik itu juga, wanita tersebut malah berlari kencang!“Hei!” Sadar bahwa wanita itu bersikap layaknya perampok, Nadia refleks berteriak, "Jangan lari!!" Dia pun langsung mengejar.Ketika Nadia hampir menggapai wanita tersebut, tiba-tiba wanita itu berhenti dan mengayunkan sesuatu ke arah Nadia, membuat gadis itu menghindar.Dengan tatapan nyalang, wanita mencurigakan itu berteriak, "Jangan ikut campur!" Di tangannya, sebuah pisau–entah dari mana–telah terarah pada Nadia, darah menghiasi sisi tajamnya.Wajah Nadia terlihat serius, dia melirik ke lengannya, menyadari lengan kanannya tergores. "Si*l!" desisnya kala melihat darah perlahan mulai keluar dari luka tersebut.Nadia mengepalkan tangannya dengan erat, matanya kini tampak berkilat karena amarah. Merasa kesal, dia langsung menendang pergelangan tangan wanita yang telah melukainya itu hingga pisau terpental jauh.Wanita itu tersentak kaget, dia mencoba untuk kabur. Tapi sayangnya, Nadia sudah lebih dulu menendang tulang keringnya hingga membuat wanita itu langsung terjatuh."Ahh!" Wanita itu berteriak nyaring.Kantong hitam itu ikut terjatuh, lalu seorang bocah malang berguling keluar, menyebabkan mata Nadia terbelalak. Dengan kaki dan tangan diikat, juga mulut yang dilakban, mata bulat bocah tersebut terlihat mengeluarkan air mata dengan sangat deras."Kamu nggak apa-apa?!" seru Nadia seraya dengan cepat melepaskan ikatan dan lakban bocah tersebut.Bocah itu pun langsung memeluknya. "Huuu! Mama! Mama!" tangisnya sembari mencengkeram erat pakaian Nadia.Walau terkejut dengan panggilan ‘Mama’ yang bocah itu sematkan padanya, tapi melihatnya menangis tersedu-sedu dalam pelukan, Nadia langsung menggendong bocah tersebut, menepuk-nepuk punggungnya. "Kamu aman sekarang ya, Sayang. Kamu aman," ulangnya, terus berusaha menenangkan."Ada apa ini?!" seru seseorang dengan suara dalam, membuat Nadia menoleh, mendapati sosok Daniel hadir bersama dengan segerombolan orang. Terlihat pria itu sontak membelalak melihat bocah dalam pelukan Nadia. “Sean?!”Tepat di saat panggilan itu melambung, Nadia mendapati gerakan dari wanita yang tadi terjatuh ke tanah. Sadar wanita itu ingin lari, Nadia dengan cepat melepaskan sepatunya dan melemparkannya dengan kencang.BUK!“Ah!” Sepatu itu pun mendarat tepat sasaran dan membuat wanita jahat tersebut terjatuh ke tanah, tidak sadarkan diri.Di saat semua orang masih terkejut dengan apa yang terjadi, Nadia pun berbalik dan menghadap Daniel. "Cepat telepon polisi! Wanita itu berusaha menculik anak ini!"**"Terima kasih atas informasi yang Anda berikan. Kami akan segera mengusut masalah ini."Nadia mengangguk pelan. Polisi kini tampak berlalu pergi setelah mendapatkan informasi dari dirinya. Penculik yang masih tak sadarkan diri itu pun juga digiring pergi, membuat Nadia berkacak pinggang kesal.“Bisa-bisanya menculik di siang bolong, sudah gila kali, ya …,” gumam Nadia dengan lantang.Daniel beralih menatap Nadia. Gadis itu sibuk membersihkan pakaiannya. Perlahan, dia mendekat dengan auranya yang begitu pekat, dingin, dan … menyesakkan."Terima kasih sudah menolong anakku," ujar pria itu.Nadia mengangkat wajahnya dan menatap lekat Daniel. ‘Dia bisa berterima kasih?’ batin gadis itu sarkastis. Namun, melihat bocah menggemaskan di sebelah kaki Daniel, Nadia menahan emosi dan menjawab singkat, “Sama-sama.”Daniel lantas mengeluarkan dompetnya dan meraih sejumlah uang. Dia mengulurkannya pada Nadia. "Ambil dan anggap ini uang kompensasi untukmu," ujarnya lagi dengan wajah tanpa ekspresi.Nadia tersentak kaget, tapi dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak perlu membayar. Saya menolong tanpa mengharapkan imbalan. Hanya kebetulan saja," tolaknya.Tak ingin berlama-lama di tempat ini, Nadia langsung meraih tas miliknya yang tergeletak di tanah dan berniat pergi. Dia tak ingin menjadi pusat perhatian dari orang sekitar. Sudah cukup tenaganya terkuras karena melawan penculik."Maaf, saya permisi dulu."Tapi tiba-tiba sesuatu menahan langkahnya, Nadia menoleh dan mendapati sosok anak kecil yang diselamatkan olehnya barusan itu memeluk erat pinggangnya."Eh?" Nadia mengerutkan kening kebingungan. Dia pun berujar, “Kakak mau pergi dulu, jadi lepaskan, ya?”“Nggak boleh, Kakak Cantik nggak boleh pergi!” seru bocah kecil bernama Sean itu sembari mengeratkan pelukannya."Tuan muda Sean, mari ikut dengan saya." Sesosok wanita yang tak lain kepala pelayan di rumah ini mencoba untuk membujuknya.Sean menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak mau! Sean mau Kakak ini! Kakak ini harus jadi baby sitter Sean!"Semua orang terkejut, terlebih lagi Nadia dan ayah bocah tersebut, Daniel.“Sean, jangan nakal. Lepaskan kakak itu,” ucap Daniel.Sean tak pernah seperti ini sebelumnya. Anak itu bahkan tak mau dekat dengan siapa pun kecuali dirinya, Monica–sang ibu–kakek-neneknya, dan kepala pelayan. Tapi apa ini?Nadia tersenyum tipis dan berjongkok tepat di hadapan Sean. "Sean, Sean anak pintar, ‘kan? Tolong lepasin Kakak ya. Kakak nggak bisa jadi baby sitter Sean. Kakak nggak punya pengalaman dan nggak kompeten.” Dia melirik Daniel sesaat, sengaja menyindir pria tersebut dengan ucapannya tadi. Kemudian, dia kembali menatap Sean. “Ayah Sean pasti akan mencarikan baby sitter nanti."Meski Sean tampak cemberut, tapi bocah kecil itu cukup berujung menurut dan melepaskan Nadia. Hal itu membuat Daniel yang melihat interaksi keduanya sedikit kesal.Kenapa Sean malah lebih nurut dengan Nadia dibandingkan dirinya, sang ayah?Tapi, saat memperhatikan Nadia, mata Daniel terlihat memicing ketika menyadari adanya luka yang cukup panjang di lengan gadis itu.Daniel menghela napas berat. Dia kembali menatap lekat anaknya. "Sean, kemari."Sean menoleh sekilas, tapi dia merasa enggan untuk mendekat. Dia masih ingin memaksa sang ayah agar menjadikan Nadia baby sitternya."Ayah, Sean mau Kakak ini ….""Sean, Ayah bilang kemari. Cepat!" Suara Daniel berubah tegas.Tubuh Sean seketika bergetar karena ketakutan. Nadia yang menyadari hal itu tak habis pikir. Bagaimana bisa ada seorang ayah yang begitu dingin pada anaknya sendiri?Nadia menghela napas berat. Dia kembali menatap lekat Sean dan tersenyum tipis. "Sean, Ayahmu memanggilmu, kan? Menurut, ya," ujarnya lirih.Mata Sean yang berkaca-kaca itu tampak sedih. Dia tak bisa lagi menolak dan kembali pada Daniel. Dalam sekejap mata, Sean sudah berada di dalam gendongan sang ayah.Nadia kini bisa bernapas lega. Setidaknya dia bisa pergi sekarang. "Sean, Kakak pergi dulu, ya?"Setelah mengatakan itu, Nadia berbalik pergi. Tapi sebelum langkahnya benar-benar jauh, Daniel tiba-tiba membuka suaranya."Berhenti di situ."Nadia tersentak, dia berhenti melangkah dengan perasaan heran. Apa lagi?Daniel melirik ke arah salah satu pelayannya. "Obati luka di tangannya."Pelayan tersebut mengangguk pelan. "Baik, Tuan."Nadia tercengang. “N-nggak perlu, saya bisa–”Sebelum Nadia selesai berbicara, Daniel kembali membuka mulutnya."Mulai minggu depan, kamu bekerja sebagai baby sitter Sean.""Mulai minggu depan, kamu bekerja sebagai baby sitter Sean."Mata Nadia membulat. Apa dia tidak salah dengar?"Baby ... sitter?" ulangnya dengan pandangan kosong. "Saya diterima sebagai baby sitter?" tanyanya lagi.Pertanyaan yang terlontar dari mulut Nadia membuat Daniel menaikkan alis kanannya. "Kamu tidak bersedia?" tanyanya."S-saya bersedia, Pak!" balas Nadia setengah berseru.Tak bisa dipungkiri, Nadia sangat senang. Tanpa sadar wanita itu berteriak kegirangan. Dia seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah, membuat Sean terkekeh dalam pelukan ayahnya."Papa dipanggil 'Bapak'! Kayak sudah tua!" ejek Sean.Mendengar hal itu, Daniel melemparkan pandangan tajam kepada Nadia. "Panggil saya 'Tuan' kalau kamu mau bekerja di sini," titahnya.Mata Nadia berbincar dan dia menganggukkan kepalanya cepat. "Terima kasih banyak, Tuan! Saya akan bekerja dengan baik, sungguh!"Daniel hanya melirik gadis itu sekilas, lalu mendengus dan mengalihkan wajahnya kembali ke depan, tidak membalas ucapan
"Akhhhhh!" Nadia segera menutup wajahnya, dia merasa sangat malu setelah sadar kalau sosok pria yang dilihatnya saat ini adalah Daniel.Daniel pun terkejut dan langsung membalikkan badannya, merasa kaget sekaligus canggung. “Kenapa kamu ke sini?!”"Ma-maaf, Tuan. Saya pikir ini kamar Sean, saya juga sudah ketuk, tapi–""Keluar," titah Daniel tak memberi kesempatan untuk Nadia menyelesaikan kalimatnya.Seketika, Nadia pun langsung lari keluar kamar dan membanting pintu tertutup. Jantung gadis itu berdebar kencang, merasa sangat malu karena telah melakukan kesalahan konyol.Akan tetapi, kemudian Nadia teringat dengan dada bidang Daniel. ‘Umm … bagus juga sih ….’ Namun, sekejap gadis itu menampar dirinya sendiri. ‘Nadia! Sadar! Itu majikan! Sudah bagus nggak langsung dipecat!’Di sisi lain, Daniel yang masih terdiam di kamarnya menghela napas berat. Dia menyisir rambutnya yang setengah basah dan bergumam, “Ceroboh.”** "Kakak kenapa?" tanya Sean sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Nadi
“Kak Nadia, ayo temani aku main bola!” teriak Sean yang kini sudah berlari ke taman di samping rumah. Hari itu dirinya pulang lebih awal, jadi dia tidak pulang dengan sang ayah.Ketika Nadia sedang sibuk menemani Sean bermain bola, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan halaman rumah. Seorang wanita cantik berpakaian modis dengan kacamata hitam tampak keluar sambil menenteng tas mewah. Hal itu membuat Nadia bertanya-tanya mengenai siapa tamu tersebut.“Sean?” panggil wanita itu dari balik pintu gerbang dengan sebuah senyuman, mengalihkan pandangan bocah kecil tersebut.Seketika, wajah Sean berubah ceria. "Mama!"Nadia pun langsung mengerti. 'Oh, jadi itu ibu kandung Sean?' batinnya seraya menghampiri wanita itu bersama Sean. 'Kalau nggak salah ... namanya Monica?'Menyadari bahwa satpam gerbang sedang tidak di tempat, Nadia pun langsung membukakan pintu. Wanita dengan rambut coklat bergelombang dan bibir kemerahan nan ranum itu pun melenggang masuk dan memeluk Sean."Sean, saya
"Apa yang kamu pikir kamu lakukan kepada orangku?!"Pertanyaan Daniel membuat Monica tampak terkejut. Apa maksud pria itu dengan ‘orangku’? Mengesampingkan hal tersebut, Monica sendiri tidak menyangka pria tersebut pulang lebih cepat dari biasanya. "Kamu sudah pulang?" Dia terlihat tidak peduli dengan apa yang telah dia lakukan pada Nadia.Dengan tatapan mata tajam, Daniel menggeram, "Aku bertanya, apa yang kamu pikir telah kamu lakukan!?" Bentakan pria itu bergema di seluruh penjuru rumah, menyebabkan beberapa pelayan yang mendengar langsung berlari ke ruang tamu untuk mengecek keadaan. "Siapa yang mengizinkan wanita ini masuk ke rumah ini?!""Oh, ya ampun!" seru sang kepala pelayan ketika melihat darah yang berceceran di lantai. Dia juga terkejut melihat sosok Monica di ruang tamu kediaman itu.Melihat sang kepala pelayan telah tiba di ruang tamu, Daniel langsung membentak, "Bawa Nadia, periksa tangannya dan pastikan dia baik-baik saja!""B-baik, Tuan!" balas sang kepala pelayan yan
"Kamu ini gimana sih, kenapa tadi diam saja dan nggak minta tolong? Apa kamu nggak takut jika Nyonya Monica melakukan hal lebih sama kamu?" Kepala pelayan mengomeli Nadia selagi dirinya mengobati tangan gadis itu. “Lihat ini, lukanya dalam sekali!”Nadia pun tertawa dengan canggung. Jujur saja, dirinya di zaman sekolah dulu adalah seorang berandal, suka berkelahi, bahkan dengan para laki-laki. Luka yang Nadia derita sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan luka bekas tawuran dulu."Saya lebih takut jika dipecat dari sini sih, Kak,” balas Nadia sembari menggaruk kepalanya. “Ibu masih butuh banyak uang untuk bisa kembali sehat," jawabnya sembari tertawa untuk menceriakan suasana.Akan tetapi, ucapan Nadia malah membuat Kepala Pelayan menjadi semakin tidak enak. Dia pun menasehati, “Lain kali, kalau Bu Monica datang, jangan biarkan masuk tanpa seizin Pak Daniel. Selain itu, kalau ada yang berani bersikap seperti ini lagi atau kurang ajar sama kamu, teriak aja. Kami semua yang di s
Nadia membuka matanya perlahan. Gadis itu merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, tapi rasa nyeri yang paling kentara berasal dari area intimnya."Ugh … sakit," lirihnya.Samar, dia menatap ruangan yang tak asing, namun juga tak terlalu akrab. Suara deru napas seseorang membuatnya menoleh ke samping. Seketika, matanya membulat.Pria tampan itu masih memejamkan matanya rapat. Jantung Nadia berdetak semakin kencang. Apa ini semua? Pikirnya.Dia bukan gadis bodoh. Mereka kini berada di ranjang yang sama!Wajah Nadia mulai memucat seolah darah dikuras habis dari tubuhnya. Dia lantas memeriksa tubuhnya dan kembali terkejut ketika sadar tak ada sehelai benang pun yang melekat di kulitnya.Wajah Nadia seketika jadi pias. Ingatan kemarin malam kembali muncul dan membuatnya hampir berteriak.'Ini nggak mungkin,' batinnya lagi sambil menggigit bibirnya.Perlahan, Nadia menyibakkan selimut dan duduk di sisi ranjang. Dia meremas sprei dengan perasaan yang campur aduk. Bisa dilihat, kulitnya kini dihi
Bab 9“Papa!” seru Sean yang turun dengan Nadia ke ruang makan.Melihat sosok Nadia yang berada di samping Sean, jantung Daniel berdetak kencang. Dia hanya menganggukkan kepala kepada putranya dan terdiam setelah meminta anaknya untuk duduk.Sesekali, netra hitam Daniel mendarat pada sosok Nadia. Mengingat kembali akan kesalahannya semalam, juga dengan kenyataan dia telah merenggut kesucian gadis tersebut, rasa bersalah pria itu menjadi semakin besar.Akan tetapi, ketenangan Nadia membuat Daniel bertanya-tanya. 'Kenapa … dia tidak membuat keributan dan meminta pertanggungjawaban?' batin Daniel. Sejak bangun tadi, Daniel sudah bersiap akan keributan yang mungkin saja terjadi. Tapi apa ini? Nadia malah lebih sibuk mengurus Sean dibandingkan mencari penyelesaian masalah mereka?!Nadia yang tengah sibuk menyuapi Sean, juga merasa seseorang sejak tadi meliriknya. Tapi, gadis ini pura-pura tak tahu. Tidak Daniel ketahui, dalam pikiran gadis itu, hanya ada satu pertanyaan penting. Apa dirin
“Operasi ibumu berhasil. Sekarang, kita hanya perlu menunggu kapan beliau sadar,” jelas seorang dokter yang di sampingnya ditemani seorang suster. “Seharusnya, tidak lama lagi.”Mendengar hal itu, senyuman merekah di wajah Nadia dan matanya berkaca-kaca. Dia membungkuk hormat kepada sang dokter seraya berkata, “Terima kasih, Dok! Terima kasih!”Ketika dokter keluar dari ruangan, Nadia pun duduk di samping tempat tidur sang ibu. Dia menggenggam tangan ibunya yang begitu kurus sampai tulang terlihat menonjol.“Ibu dengar kata dokter, ‘kan? Ibu sudah baik-baik saja,” ucapnya dengan suara rendah sembari mengelus wajah sang ibu. “Ibu akan segera sadar."Setelah sekian lama ibunya berada dalam keadaan koma, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan kabar baik mengenai sang ibu. Ibunya akan sadar, dan Nadia percaya itu.Walau memang operasi ini berlangsung setelah sebuah malapetaka terjadi, tapi Nadia rela. Demi sang ibu, bahkan harga diri rela gadis itu jual.Tanpa Nadia ketahui, ada sepa
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h