Paket! Seorang kurir berhenti di balik pagar kayu ulin yang diplitur mengkilap setinggi telingaku. Agak ragu aktivitasku terhenti, kutoleh dan benar saja seorang abang kurir menyodorkan sebuah kotak paket.“Atas nama Alia Miresti, bisa minta tanda terimanya di lembar sini?”kuterima resi tanda terima dan mencoretkan paraf di salah satu sudutnya. Kotak persegi empat seukuran pizza extra jumbo kini berpindah ke tanganku. Si abang kurir segera tancap gas seiring ucapan terima kasihku.Siapa yang mengirimiku paket ke alamat rumah Erland? Sepertinya ada yang terlambat mengirimkan kado pernikahan, tapi kenapa yang satu ini tidak mennyusul dikirim ke rumah Om Rudi? Setahuku pihak even organizer sudah mengirimkan semua bingkisan untuk mempelai ke rumah Om Rudi yang alamatnya tercatat sebagai pengguna jasa EO.“Paket untukmu?” Erland muncul menjejeriku duduk di sofa ruang tamu.“He-em, sepertinya ada yang telat kasih kado lalu mengirim ke sini. Mungkin nanya ke Om Rudi alamat Kamu,”. Aku memand
Alia, Menikah itu seperti melakukan perjalananKadang kau mendapatkan teman di sampingmu Saling berbincang, berbagi ceritaMaka itu menyenangkanSuatu kali kau mendapati orang asingLalu perjalanan menjadi sangat membosankan.Barangkali segenggam permen ....Akan kutawarkan?Alia,Bila perjalananmu terasa nyamanCarilah gaun yg cocok dengan iniKenakan lah....Doaku beruntai dari sini?Kado sebesar kotak pizza ekstra jumbo itu kini terbuka.Selembar outer cantik yang terlipat kurentangkan, siapa pengirimnya? Kado ini bukan untuk Rivana, namaku tertulis jelas berarti si pemberi mengetahui aku lah yang akhirnya menikahi Erland.Temanku tidak mungkin, karena aku tak sempat memberitahukan pernikahan mendadak ini ke seorang pun. Salah satu dari Keluarga Om Rudi kah? Atau Rivana ....yang mengirimnya dari suatu tempat entah di mana.Aku berpikir keras pun tetap tak punya jawaban. Siapa sih, kenapa mengirimi bingkisan disertai seuntai kata yang maknanya pun tak kumengerti sepenuhnya.Suara
Tubuh ramping Alia menyamping memunggungi. Baru saja ku jeda ciumanku melumat bibirnya. Bukan tak sanggup menahan kedua tangannya yang mendorong, melainkan kesadaranku sendiri yang tidak menginginkan Alia merasa dipaksa di malam pertama.Wanita ini sangat yakin aku menjadikannya sebagai pelarian, setelah Rivana kabur meninggalkan pelaminannya. Alia kemudian dipaksa oleh keluarganya menggantikan sepupunya sebagai pengantinku.Aku tak keberatan karena lebih mudah mengupayakan keberadaanku di hidup Alia daripada Rivana. Alia jauh lebih polos, sedangkan Rivana? Pikiran Rivana sudah teracuni oleh seorang Dipo, kekasihnya selama 4 tahun itu pasti masih dicintainya. "Kenapa mau menikahiku padahal kau mencintai orang lain?" Begitu pertanyaan yang diteriaki oleh Rivana pada H-1 sebelum tanggal yang diatur sebagai tanggal pernikahan kami."Menikahi itu komitmen Riva, sedangkan mencintai itu persoalan hati, Dua hal yang bisa berjalan sendiri-sendiri." Jawabku tenang. Sudah kuduga Rivana akan me
Erland meraih lenganku menggandeng masuk ke sebuah butik dengan etalase yang cukup wah."Kita akan berlomba, siapa yang lebih cepat mendapatkan masing-masing tiga yang terbaik dari koleksi mereka" bisik lelaki itu sebelum mendorong pintu kaca. "Kenapa harus begitu?" Kutahan langkah hingga ia juga berhenti dan menjawab rasa heranku."Pertama supaya kau bebas memilih sesuai passion-mu, kedua aku juga mau dong, memilihkan untuk istri sendiri?" Kerlingannya membuatku tersenyum. Kami berpisah ke sisi yang berbeda, mataku mulai menyisiri sederet outfit yang ditata apik. Butik ini juga memajang koleksi gaun cantik yang terbaik produk brand ternama."Ada yang bisa saya bantu?" Seorang petugas menawarkan bantuan dengan ramah. Sejurus kemudian aku merasa sangat terbantu oleh pelayanannya yang sangat prima mendampingi pengunjung.Bukan hanya tiga, tapi aku memperoleh sejumlah dua kali lipatnya stelan outfit yang berbahan nyaman dengan kesan luwes dan elegan. Biarlah nanti pak suami yang akan
Papa dan Mama Erland tentu saja merasa surprais menyambut kedatangan anak mantunya, kami pergi menggunakan penerbangan pertama hari sabtu dan langsung menuju kediaman orang tua suamiku.Mama Erland sampai mengerling senang beberapa kali kepada putranya, seolah tak sabar apa gerangan penyebab mantunya bersedia diboyong secepat ini. "Mama pikir kalian masih honey moon, eeeh ternyata bikin kejutan buat Mama toh?" Tante Netty memeluk dan cipika-cipiki dengan bahagia. "Kalau Alia bisa membujuknya seperti ini, pasti lain kali putramu bakal sering pulang Ma!" Om Kaffa suaminya ikut berkomentar seraya tertawa menyinggung Erland yang rupanya sangat jarang pulang.Mama-Papa Erland menawarkan kami berempat untuk makan malam di luar, di tempat spesial keluarga mereka. Tentu saja Erland menolak dan mengatakan dirinya akan pulang dengan penerbangan terakhir malam ini.Menjelang siang baru lelaki itu membawaku makan siang demi mengenalkan lidahku pada kuliner khas kota kelahirannya. "Keluarga bes
Aku menuruni anak tangga dengan dengan agak cepat, tapi baru di tengah pada bagian yang melengkung langkah kaki terhenti begitu ucapan seseorang di ruang keluarga menerpa gendang telinga."Feysa bertemu Erland hari ini di ruang tunggu keberangkatan luar negeri, dia bersama Arumi?!" "Baru kemarin Erland pulang, dia mengantarkan istrinya, Alia menginap beberapa hari mengunjungi kami. Masa sih hari ini....?" Itu suara mama mertua, kalimatnya menggantung menanggapi.Tubuhku refleks terduduk di anak tangga, berlindung dengan tetap memasang telinga. Untungnya pagar tangga terbuat dari beton berpola penuh semacam model guci ramping berderet rapat itu bisa menyembunyikan tubuhku. Dari ruang keluarga, sofa menghadap ke jendela kaca yang menyajikan asri dan hijaunya pemandangan taman samping. Jika mama mertua duduk dia harus berdiri dan berbalik untuk memantau situasi sekitar tangga ini."So what?! Jadi istrinya diantar ke sini sementara dia pergi keluar negeri dengan Arumi? Bener-bener ya ana
"Tidak usah memikirkan Erlan, dia sedang bersama Arumi." Kata-kata yang diucapkan dengan santai, sementara mataku membulat menatap Restu. Tanpa basa basi lelaki ini langsung ke poin permasalahanku. Apakah kelakuan Erland sudah bukan rahasia lagi di kalangan keluarganya? Berarti aku saja yang tidak tahu apa-apa?"Keluarga kalian sangat moderat ya, saling terbuka dan memaklumi apa pun gaya hidup yang dipilih?" pungkasku setengah dongkol karena Restu bisa membaca kemelut isi pikiranku. "Kau pun sangat berani Alia, aku jadi penasaran apa tindakanmu setelah semuanya menjadi jelas nanti?" tandas Restu tak mau berhenti mengusikku.Sesaat aku terdiam, menimbang. Apakah aku akan terus terpancing pada lelaki ini, terus mencari tahu kebenaran tentang Erland. Tapi berikutnya apa? Bisa jadi pricacy rumah tanggaku dan harga diri suamiku jadi taruhannya.Bersabarlah Alia, jangan gegabah membongkar aib pernikahan. Toh, Erland sendiri baru tahap berbohong. Suamiku itu tidak mempermalukanku atau menca
Aku baru saja menggeser pintu pagar dan hendak berbalik masuk ke rumah, ketika sebuah mobil berhenti. Pintu belakang terbuka dan sesosok wanita yang berjalan memutari mobil segera saja ku kenali.Gegas kubuka kembali pagar dan menyambut dengan rasa campur aduk. "Alia...." Rivana menghambur memelukku, bagai bertahun-tahun tak bertemu. Padahal baru tiga minggu berlalu sejak H-1 hari akad nikah dengan Erland yang diabaikannya."Ayo masuk, nanti dikira orang ada apa kamu nangis-nangis begini?" kuhela lengannya ke arah teras setelah menutup kembali pagar. Rivana tadi datang dengan jasa taksi online. "Kamu benci sama aku, Al? Sumpah aku tidak menyangka papa memaksa kamu nikah dengan Erlan!" Rivana mengambil dua tangannku dalam genggamannya, kini kami duduk bersisian di sofa ruang tamu. Kulihat Rivana agak kurusan dibalik kaos lengan panjang dan kulot lebar yang dikenakannya. Nampak sekali penyesalan terpancar di wajah sepupuku ini, rasa bers