Otiz menyeberangi jalan di depan kantor polisi dengan tergesa, lalu membuka pintu mobil sedan berwarna hitam yang terparkir dan duduk di samping kursi kemudi. Ed ada di sana.“Apa yang terjadi?” tanya Ed. Ia belum tahu tentang apapun.“Penganiayaan anak.” Otiz menyerahkan salinan berkas kasus Ruby yang memang boleh dimilikinya sebagai pembela.“Siapa menganiaya siapa?” Ed dengan bingung membaca berkas itu, dan sama, ia menganggapnya sebagai lelocon, sampai akhirnya menatap bukti foto yang ada di sana dan mencengkramnya erat. Tanda lebam di sana sangat nyata.“Siapa yang melakukannya?!” desis Ed. Dirinya mungkin keji, tapi tidak pernah akan mampu menyakiti anak kecil. Itu butuh dari sekadar keji—tingkatan iblis.“Itulah yang menjadi masalah, hanya Senora… Maaf, tapi dia mirip sekali dengan Senora Rosas.” Otiz yang biasanya akan menyelesaikan laporan dulu sebelum membahas trivia, tidak bisa menahan diri untuk berkomentar tentang wajah Ruby.“Ya.” Ed mengangguk saja, dan tidak menjelaska
“Saya… Apa Anda memerlukan taksi?” Otiz mendampingi Ruby keluar dari kantor polisi tapi kemudian bingung. Ia belum menerima perintah dari Ed lagi. “Tidak.” Ruby menjawab dengan suara lemah, matanya tidak berhenti melirik ke arah pintu kantor polisi di belakangnya. “AJ sudah tidak ada di sana. CPS telah membawanya ke rumah penampungan.” Otiz memberi tahu kalau AJ tidak akan muncul dari pintu itu dengan tiba-tiba. Alasan Ruby menolak penawaran Otiz tadi, karena memang ia berharap akan melihat AJ dari kejauhan paling tidak. Ia akan menunggu di depan kantor polisi kalau perlu, tapi AJ sudah tidak ada di sana. “Saya akan…” Otiz akan menawarkan taksi lagi, tapi ada mobil yang berhenti perlahan di depan mereka. Ed tentunya, ia masih menunggu di dalam mobil sejak tadi dan mendekat saat melihat mereka. Ruby masih tidak bereaksi—ia tidak mampu berpikir tentang apapun---maupun menimbang baik dan benar saat ini. Jadi Otiz yang akhirnya membuka pintu, dan sedikit memberi dorongan pada Ruby aga
“Ruby!” Ed berlari mendekati mobil Ruby yang diam. Bagian dengan mobil itu ringsek, tapi Ed melihat air bag telah menggembung diantara Ruby dan roda kemudi. Ed sedikit lega karena seharusnya tidak terjadi benturan berbahaya.Ed menarik pintu, tapi masih terkunci.“RUBY! Bangun!” Ed berusaha membuat Ruby siuman dengan membuat keributan—memukul kaca mobil dan mengguncang pintunya.“Ruby!” Mata Ed bergulir ke sekitar, mencari sesuatu untuk memecahkan kaca mobil, tapi membatalkan karena Ruby akhirnya bergerak.“Ruby! Buka pintunya!” Ed kembali memukul kaca mobil dan mengguncang pintu mobil saat Ruby mencoba menegakkan tubuh.Ed ingin Ruby segera menjauh dari mobil itu karena apa saja bisa terjadi pada mobil itu. Ed tentu membayangkan yang terburuk, karena kecelakaan yang dialaminya. Ia tidak mungkin bisa diam saat bayangan bagaimana separuh wajahnya terbakar terus mendera.“Bagus… buka pintunya! Cepat!” Ed lega saat melihat Ruby menggelengkan kepala, mengumpulkan kesadaran dan berpaling.
“Ss…saya sudah menimbang. Kalau bertanya terlebih dulu, maka bisa jadi AJ yang akan semakin menderita. Pelaku akan semakin beringas saat ada yang mengkonfrontasi. Saya mengambil jalan yang paling aman.” Mrs. Rosemore yang sempat terintimidasi, menjadi lebih kuat setelah bicara sesuai dengan apa yang diyakininya.“Aman untuk siapa? Bagaimana kalau kau salah? Kau menyakiti Ruby dan juga AJ, bersamaan. Kau pernah memikirkan kemungkinan ini?” Ed masih tenang, tapi matanya yang semakin menyipit membuat Mrs. Rosemore kembali mundur.“Sudah, karena itu butuh waktu lama sebelum aku melaporkan hal ini. Cukup!” Mrs. Rosemore menutup pintu. Tidak ingin lagi bicara—atau mungkin terlalu takut.“TUNGGU! Aku belum selesai! Buka!” Ruby menggedor pintu yang tertutup itu, tapi Ed kembali menangkap tangannya.“Lepaskan! Aku perlu bicara…”“Polisi akan menangkapmu lagi kalau kau membuat keributan.” Ed berdiri di hadapan Ruby, menghalanginya agar tidak lagi menggedor.Mrs. Rosemore sangat bisa memanggil
Ruby menyorongkan kopi kental untuk Ed.“Terima kasih… atas bantuannya.” Ruby bersikap senormal mungkin, dan Ed memang layak mendapatkan ucapan terima kasih.“Ya.” Ed menanggapi singkat, karena tidak menyukai ucapan terima kasih itu. Tidak salah, tapi membuat Ed teringat kalau dirinya telah melakukan hal yang tidak seharusnya.“Itu… terlepas.” Ed menunjuk kaki Ruby. Tulang kering Ruby yang tadi terluka.Ruby sudah berusaha membersihkan dan membalutnya dengan perban, tapi karena tergesa, ikatannya tidak cukup kencang, dan terurai saat Ruby mondar-mandir.“Tidak… perlu!”Ruby mundur menjauh saat melihat Ed berlutut, tapi tangan Ed lebih cepat menyambar pergelangan kakinya. sampai membuat Ruby nyaris terjengkang. Ruby tidak terjatuh karena berhasil menyambar hal terdekat yang bisa dipakai sebagai pegangan. Rambut Ed yang sedang berlutut.“ASTAGA!” Ruby memekik dan seketika melepaskan rambut Ed.“Maaf… maafkan aku… maaf sekali.” Ruby merintih sambil mengusap rambut Ed. Campuran malu dan k
“Anda pergi kemana semalaman?” tanya Otiz, karena Ed baru kembali ke hotel saat hari hampir fajar.“Kenapa kau lebih terdengar seperti istriku dari pada istriku yang asli?” Ed mengangkat alisnya. Ia tidak mungkin akan menyebut kalau ia baru saja mengantar Ruby pulang tadi. “Apa Anda bersama Mrs. Herrera?” Otiz tidak perlu penjelasan tapi. Ia bisa menebak apa yang membuat Ed tiba-tiba sibuk seperti itu. Mereka sebenarnya tidak punya urusan lagi di New York.Ed hanya mengangkat bahu. Tidak ingin mendengar teguran.“Semakin lama Anda di sini, akan semakin berbahaya. Kalau Russel sampai tahu Anda di sini, ia tidak akan diam.” Otiz berharap Ed tidak akan mondar-mandir di luar hotel setidaknya. “Aku tidak mungkin meninggalkan kota ini kalau laporan yang aku minta belum datang! Aku ingin tahu siapa ayah AJ!” desis Ed.Ia tahu wajah mirip saja bukan jaminan, tapi Ed ingin berharap. Semua kemungkinan atau kebetulan yang membawanya bertemu AJ—dan Ruby tidak biasa. Ed tidak tahu akan seperti a
‘Kau tidak perlu melakukan ini.” Ruby melirik Ed yang mengemudi di sampingnya. Ruby tadi hanya mengikuti tarikan tangan Ed saat membawanya ke mobil.Ruby terlalu lega dan bahagia mendengar kabar tentang AJ, dan tidak mempermasalahkan bagaimana cara menemui AJ. Setelah mobil berjalan, Ruby baru menyadari kalau telah melakukan hal yang tidak seharusnya lagi. Berdekatan dengan Ed.Di cafe tadi, Ruby dengan sengaja mengabaikannya. Ia menolak mengantar pesanannya, dan menyingkir dari kasir saat melihatnya masuk. Percuma karena sekarang ia malah duduk di samping Ed.“Apa aku harus membiarkanmu menabrak pohon lagi? Mobilmu yang kemarin bahkan belum kembali seperti semula.” Ed melihatnya tadi, terparkir di depan Cassa Nueva. Ruby masih bisa memakainya—masih bisa berjalan meskipun bagian depan bumpernya penyok.“Malam itu… aku tidak stabil.” Ruby bergumam lirih. Ia malas mengakui keadaannya tidak sempurna. Membuatnya terlihat lemah. Padahal sudah jelas ia sangat terbantu oleh keberadaan Ed.“
“Kau yakin? Aku masih bisa membantu.” Ruby tidak tega meninggalkan Delia lagi setelah beberapa hari membiarkannya bekerja keras sendirian.“Astaga, Ruby! Pulanglah dan nikmati waktumu bersama AJ. Kau punya pegawai. Merepotkan kalau kau tidak ada, tapi bukan berarti Cassa Nueva akan ambruk kalau kau tidak ada sehari saja.” Delia menggelengkan kepala. Ia menodorong Ruby keluar dari balik kasir.“Sudah sana.” Delia mengusir lagi, dan langsung mengfungsikan diri menjadi kasir lagi, karena memang sudah ada yang mengantri lagi.“Kau masih di sini? Aku pikir kau sudah pulang dan menangis.” Delia menyapa berbeda, karena konsumen itu adalah Alejandro.“Apa aku terlihat sekalah itu?” tanyanya dengan senyum pahit.“Ya, kalah jauh.” Delia menekan kopi pesanan Alejandro, sementara matanya mengikuti Ruby yang berjalan mendekati AJ. Ia duduk bersama Ed, dan tampak seru menceritakan harinya. Dari gesturenya, mungkin orang akan mengira AJ tengah menceritakan petualangan seru yang melibatkan alien atau
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad