“Aku hanya malas mengganti.” Ruby mengucap lirih sambil meraih ponsel yang ditenteng dengan wajah jijik oleh Lori. Mempunyai ponsel itu sepertinya setara dengan aib di kalangan orang kaya. Lori masih mendesak sambil menggelengkan kepala tidak percaya, tapi alasan itu lebih bisa diterima—tidak mengesankan Ruby harus berhemat. “Aku batalkan. Eduardo sudah benar. Ini cocok untukmu. Ia pintar karena menyesuaikan dengan kebutuhanmu. Ini manis.” Lori membatalkan tuduhan terlalu cepat itu, dan membuka kotak ponsel itu untuk Liz. “Hoo… Custom.” Lori membelalak saat melihat bagian belakang ponsel yang amat berkilau itu tidak seperti normal umumnya. Ruby menerima, dan menatap dengan takjub. Tentu saja itu ponsel paling bagus dan mewah yang pernah dimilikinya. Ponsel itu tidak besar, dan bahkan bisa dilipat menjadi lebih kecil lagi. Memang model terbaru yang biasanya hanya dilihat gambarnya oleh Ruby menempel di bus ataupun televisi. “Daun apa?” Ruby bertanya sambil menunjuk custom case yang
Ruby sama sekali tidak bergerak karena sadar kalau langkah kaki berat itu milik Ed—yang mana mengejutkan. Seharusnya pria itu tidak pulang—seharusnya ia berada di Guadalajara sampai minggu depan atau terserah kapan, tapi tidak sekarang. Ruby tentu saja semakin tidak berani membuka mata, ia terus saja memejam, dan mendengar saat pintu almari terbuka dan lainnya. “Aku tidak perlu melihat untuk tahu kau belum tidur.” Ruby memekik pastinya. Kaget—sekaligus malu. Ia membuka mata dan perlu mencari sebelum akhirnya menemukan Ed tengah duduk di salah satu kursi yang ada di dekat teras. Ia tidak menghidupkan lampu, tapi sedikit membuka tirai. Membiarkan berkas cahaya masuk. Tidak sangat terang, tapi cukup remang-remang untuk menerangi. Ruby duduk menunduk. Masih malu, dan sebagian lagi karena tidak tahu harus bicara apa. Ia melirik, dan melihat Ed juga memandangnya. “Kau menyukainya?” tanya Ed, menunjuk ponsel yang rupanya masih ada di tangan Ruby. “Oh, ya. Ini indah. Terima kasih.” D
“Hm?” Ruby mengalihkan mata dari layar, menatap Ed kembali.“Apa?” Ed bertanya balik.“Kau tadi mengatakan sesuatu.” Ruby mendengar tapi tidak jelas.“Benarkah? Aku tidak mengatakan apapun” Ed menggeleng—membantah.Ed baru menyadari kalau ia mengucapkannya dengan keras. Ia tadi bermaksud menyebutnya dalam hati saja. “Oh, oke.” Ruby ragu, karena yakin ia mendengar sesuatu. Tapi tidak mungkin berkeras kalau Ed sendiri tidak merasa menyebut sesuatu.“Kau dua puluh empat,” kata Ed, tiba-tiba.Ruby kembali berpaling. “Umur? Ya. Aku dua puluh empat.” Hal yang sangat jelas, dan Ruby tidak perlu berpikir saat menjawab, karena usianya dan Liz sama. Dan seharusnya Ed juga tahu itu.“Kau tidak terlihat seperti dua puluh empat.”Ruby akhirnya menurunkan ponsel. Gilirannya untuk sedikit tersinggung. Ia tidak mengerti kenapa Ed membahas umur dengan tiba-tiba, tapi pernyataan ‘tidak seperti 24’ menyengat juga. Seharusnya wajahnya tidak setua itu. Apalagi membahas umur adalah hal sensitif bagi wan
Kata itu serupa mantra, menumbuhkan keajaiban. Ruby merasa tubuhnya meluncur ke dalam air sejuk, mengambang pelan, diliputi kenyamanan yang sunyi. Singkat, padat, tapi tidak sederhana Ruby tahu ia tidak salah mendengar, karena melihat mata hijau itu menatapnya. Tidak berkedip maupun terlihat ragu. Mata itu lembut. “Atas semua yang terjadi—atas apa yang menyakitimu. Maaf, dan aku tidak akan melakukannya lagi.” Rasa hangat mengumpul di wajah Ruby. Menumpuk menjadi air mata. Ruby tidak tahu kalau dirinya akan memerlukannya. Ruby tidak akan pernah berani meminta maupun menuntut permintaan maaf pada Ed. Ruby sudah bersiap untuk menyesuaikan diri bahkan sebelum Ed meminta maaf. “Kau tidak seharusnya menerima semua kekasaran itu, atau pun luka. Aku mengakui semuanya sebagai kebodohan.” Ed mengulurkan satu tangannya, karena melihat kilau air mata Ruby menuruni pipi. Tapi tidak langsung mengusap. Ed menunggu sebelum menyentuh, melihat apakah Ruby bergeser atau tersentak. Tapi Ruby di
Detik tidak pernah berjalan begitu lambat untuk Ruby. Atom waktu seakan beredar lebih pelan, memberi jangka lebih panjang bagi Ruby untuk mencerna apa yang di sekitarnya.Matanya masih gelap, tangan Ed masih menutupi, tapi Ruby sama sekali tidak merasa buta. Indera yang lain mengambil alih, memberi stimulasi kuat, menegaskan segala gelitik dalam perutnya, maupun ke ujung syaraf di seluruh tubuhnya.Ed menangkup dan menahan kepala Ruby, saat merasakan kepalanya menjauh. Bukan menghindar, Ed tahu. Ruby tidak takut, hanya lemas.Dan Ed tidak membiarkannya menjauh. Tidak saat bibir mungil itu terasa begitu manis untuknya. Ed menginginkan setiap jengkal darinya, dan seluruh reaksi Ruby bagaikan api yang menyulut tubuhnya.Ruby tidak membalas dengan benar, tapi secara insting bibirnya membuka, mengundang—mengizinkan Ed untuk menjelajah.Ed memagut bibir polos yang lembut, mengusap dan memberi gigitan gemas di sudut bibirnya. Mengendus dan menghirup keharuman feeromon yang menguar hangat itu
“Aku bukan ingin kejam, tapi sepertinya hal itu tidak mungkin. Ia tidak tampak mencintaimu.” Javier dengan jujur memberi pendapat, sambil tersenyum menyesal. “Kalau benar ia ketakutan padamu, aku rasa kecil kemungkinan ia menyukamu.” Javier menandaskan. Ed melirik sejenak. Penegasan itu sedikit menyengat, tapi ia tahu Javier hanya jujur.“Well, aku sudah menawarkan padanya untuk pergi, tapi ia mengatakan akan tinggal dengan cepat. Dan tidak menolakku lagi.” Javier mengerutkan kening, mencoba mencari konteks yang dimaksud. “Oh, kalian tidur bersama lagi.” Javier terkekeh, sambil menepuk paha kakaknya. Tertawa geli. “Apa karena itu kau menyebut tentang mencintai?” Javier tertawa lagi. “Stop!” Ed mendesis. Jengkel karena dilihat bagaimana pun, tawa itu ejekan. "Hermano…” (Saudaraku) Javier menahan tawa dan meletakkan cangkirnya. Tidak lagi mengejek. “Aku rasa kau sudah tahu kalau nafsu dan cinta tidak harus selalu ada bersamaan. Tidur bersama—Wait! Kau memaksanya lagi?!” Javier
“Tidak ada bagaimana? Mati?”Ed baru saja duduk dan Otiz telah memberinya kabar tidak menyenangkan—tentang Carlos.“Sepertinya tidak mati, tapi ada orang yang membantunya kabur.”Ed langsung mengerutkan kening. “Kau sepertinya terlalu sering mengecewakanku akhir-akhir ini. Kau yakin masih ingin hidup?”“Maafkan saya, Don Rosas!” Otiz menunduk. Tidak berani mengangkat kepala. Tidak pula membela diri, karena tahu kesalahannya besar.“Bagaimana bisa terjadi?” tanya Ed.“Dokter memerintahkan agar dilakukan CT Scan ulang karena sejak kemarin malam Carlos mengeluh sakit kepala—dikhawatirkan ada retak selain rahang. Sudah ada orang yang mengikuti saat ia melakukan CT Scan, tapi ternyata ia tidak kembali. Sepertinya ada yang menunggu di dalam ruang itu dan membawanya kabur dari jendela.” Otiz tetap menjelaskan sedetail mungkin. Sangat jujur meski akibatnya buruk.“Kemampuanmu memang sepertinya sudah berkarat. Apa aku perlu menggantimu dengan yang lain?” tanya Ed, sambil menopang kepalanya. N
“Ada apa?” Lori heran karena Ruby tiba-tiba berhenti berjalan.“Tidak ada. Ayo, kita ke pantai saja.”Ruby mendorong Lori keluar dari pintu gerbang samping, dan Lori sudah tidak curiga lagi.Ruby sama sekali belum pernah ke pantai yang ada di dekat rumah itu, jadi ia hanya mengikuti Lori yang terus membicarakan pakaian.Tapi Ruby sama sekali tidak mendengar karena sibuk memikirkan apa yang disebut oleh Lori tadi.“Oh, aku ingin bertanya tentang yang ini. Mumpung aku ingat. Kau mendapatkannya di mana?”Lori berbalik dan mengacungkan ponselnya. Menunjukkan foto di media sosial.Ruby nyaris saja tersedak karena terlalu kaget. Ruby langsung merasa tengah menjadi bagian dari film horor yang buruk, karena menatap orang yang seharusnya dirinya, tapi tahu benar kalau itu bukan dirinya. Foto itu memperlihatkan wanita yang nyaris tidak berbeda dengan dirinya. Lizeth Ramos yang asli. Rambut, mata, apapun itu—semuanya sama. Sedikit pembeda hanya lah rambut. Sedikit ikal, tapi panjangnya pun sama
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad