Time skip besok... :))
Ed mengusap debu yang menutupi nama Javier. Musim penghujan membuat batu nisan yang ada di makam itu terlihat kotor. Apalagi nisan Javier berwarna hitam.“Saya akan meminta agar dibersihkan,” kata Otiz. Ia berdiri di belakang Ed sejak tadi, dan kini mengulurkan karangan bunga yang dibawanya. Tangannya penuh. Ia juga membawa payung untuk Ed, karena memang hari itu mendung.Ed meletakkan karangan bunga berwarna dominan kuning itu di atas makam. Javier tidak pernah menyebut ia menyukai bunga apa, tapi Ed membawa kuning, warna cerah dan bahagia seharusnya. Karena Javier adalah itu. Cerah dan bahagia.Ed lalu kembali mengusap nama Javier, tapi bukan lagi karena noda. Hanya berusaha mencari sesuatu untuk disentuh. Sesautu yang tidak berupa bayangan yang bisa menghilang.“Berat… tidak lagi menyenangkan tanpamu,” gumam Ed. Ia tidak ingin mengeluh. Biasanya juga ia tidak pernah membicarakan hal berat saat menemui Javier, tapi harinya berat tadi. Ed ingin mengeluh. Ia tidak punya cara mengeluh
“AJ! Jangan membaca saat makan! Kau akan terlambat!” Ruby menegur untuk yang kedua kali karena putra semata wayangnya itu tidak juga menghabiskan sarapan, padahal hanya roti dengan selai kacang. AJ yang memang menyelundupkan salah satu buku miliknya ke atas meja, perlahan menyingkirkannya. Tidak membantah dan langsung mengunyah sisa sarapannya. “Aku tahu kau sudah bisa membaca dan suka membaca. Itu bukan hal buruk, tapi tidak saat kau akan berangkat ke sekolah. Kita akan terlambat kalau kau makan seperti siput.” Ruby tentu saja merasa buruk setelah membentak, dan memberi penghiburan lembut sambil mengusap kepala mungil berambut ikal itu. Ia juga memberi kecupan di kening. Tidak ingin anaknya itu cemberut sepanjang hari. AJ pada dasarnya riang, tapi kalau sudah kesal ia akan sangat diam. Ruby kelabakan kalau sudah seperti itu, karena ia tidak punya teman bicara lain saat di rumah, sebelum AJ menjadi lega. “Ayo, cepat.” Ruby dengan tergesa mengunci pintu, lalu menaikan zipper jake
“Apa keinginanku belum jelas sampai kau ingin aku datang ke sini?” tanya Ed, sambil duduk dalam naungan gazebo aestetik di taman samping rumah mewah milik Russel. Pria yang harus ditemuinya di New York.Russel adalah rantai baru dalam distribusi barangnya, tapi sedikit rewel dan mendesak ingin bicara langsung padanya.Ed tidak ingin sebenarnya, tapi ia juga tidak mau kehilangan jumlah besar keuntungannya. Dari beberapa pilihan yang diajukan Marco, Russel memiliki jaringan yang lumayan luas. Pilihan yang lain belum ada yang kelasnya menyamai Russel.“Saya ingin bertemu langsung dengan Anda, Don Rosas. Saya pebisinis yang menyukai kedekatan relasi. Kalau kita akan bekerja sama, maka saya ingin kita bisa bertemu muka. Paling tidak menyapa secara langsung,” kata Russel.“Lalu bagaimana? Kau terpesona memandangku?” tanya Ed, sambil melepaskan kaca mata hitamnya. Memperlihatkan wajahnya yang sebenarnya sudah membaik. Ed menjalankan saran Diego yang lain dua tahun lalu. Diego mengusulkan op
Selain gila, Ed juga merasa kalau mungkin luka yang dideritanya itu membuatnya hampir mati. Seharusnya mustahil, tapi bagaimana mungkin ia melihat Javier di hadapannya?Ed merasa lebih masuk akal kalau saat ini ia tengah mengalami halusinasi dan mengulang masa-masa kehidupannya karena sekarat.Jadi masuk akal kalau ia melihat Javier yang masih bocah.Tapi setelah lima detik saling memandang, Ed sadar kalau anak itu bermata hijau. Mata Javier tidak hijau, dan tidak mungkin ia mati hanya karena ujung telinganya hancur, juga ia kurus. Javier lebih gembul saat kecil.Tapi selain itu, ia mirip sekali dengan Javier. Bahkan rambutnya ikal. Sama dengan dirinya.“Mister, kau terluka.”Bocah itu akhirnya bicara, dan Ed lega ia tidak bermimpi. Ia tidak berhalusinasi tentang Javier. Bocah itu berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Aksen Javier cukup tebal, bahkan saat masih kecil.“Ya.” Ed perlahan duduk di lantai bersandar pada salah satu dinding papan yang ada di dekatnya. Kejutan wajah Javier
“Ah… Kesukaanku!”Grace berseru girang, menerima uluran gelas berisi kopi panas juga kotak pie apel dari Ruby yang dibawanya dari Casa Nueva—nama cafe miliknya.“Ini sempurna, seperti biasa.” Grace menghirup aroma kopi itu dan tersenyum berterima kasih. Saat datang menjenguk ibunya, Ruby memang selalu membawa sesuatu untuk Grace. Sebagai ucapan terima kasih.“Kau terlalu baik padaku, Ruby. Aku sudah sangat terbiasa dengan segala sikap manis ini sekarang. Aku akan menunutu kalau suatu saat kau datang tanpa membawa apa pun.” Grace meningintip pie yang dibawa Ruby dan mendecap tidak sabar. Aromanya harum sekali.“Jangan khawatir, aku akan selalu manis padamu.” Ruby mengedipkan mata pada Grace.Tentu saja Ruby tidak akan pernah keberatan berbaik hati pada Grace. Wanita itu bisa dikatakan malaikat baginya. Grace selalu membantunya, semenjak Ruby datang pertama ke Ney York.Bukan hanya berkenaan dengan perawatan ibunya di ADDF, tapi juga membantunya mengatasi kesulitan saat dirinya hamil da
“AJ? Kau dimana?”“Itu ibumu?” tanya Ed, sambil menunjuk pada wanita gempal yang memanggil itu. Ia mengintip dari jendela.“Bhuuu… bukan. Ibuku cantik. Dia Ms. Rosemore. Guru.” AJ langsung menggeleng kuat-kuat. Tidak terima tebakan Ed melenceng terlalu jauh.“Pergilah atau ia akan melapor pada ibumu.” Ed menunjuk pintu. Ak harus keluar sebelum wanita itu memikirkan kemungkinan dimana AJ berada.“Ya…” AJ mengangguk dengan malas, lalu menggendong tas punggungnya.“Pertemuan ini… tolong rahasiakan darinya.” Ed menunjuk wanita yang ada di bawah itu.“Tentu! Aku tidak akan memperkenalkan temanku padanya!” AJ menggeleng seketika.Ed lega tapi sekaligus geli. Melihatnya cemberut benar-benar seperti Javier yang merajuk. “Kau pintar.” Ed menepuk kepala AJ, dan hidungnya tampak mekar. Bahagia mendengar pujian itu.“Keluarlah.” Ed berbisik mengingatkan. AJ mengangguk“Bye, Beast!” AJ melambai lalu keluar dari pintu rumah pohon.Ed menghela napas lega, kembali mengintip dan melihat AJ mendapat t
“Beast? Beast apa?” Ruby bingung.“Beast di dalam dongeng,” kata AJ.Ruby tertawa pelan. “Sekarang bukan saatnya kau membahas dongeng, AJ. Kau sakit.” “Tapi…”“Jawab dulu. Apa yang kau lakukan sebelum hidungmu mengeluarkan darah?” tanya Ruby. Ia ingin tahu apa sebabnya.“Mm… apa ya? Aku… bermain.” AJ menjawab tergagap sambil menghindari pandangan.Ruby tentu mengenali gelagat itu sebagai usahanya berbohong. “AJ?” Ruby mendesak tentu.Bibir AJ langsung cemberut. “Aku bersembunyi di rumah pohon.” AJ mengaku dengan suara bisikan.Ruby menghela napas, dan duduk di tepi ranjang AJ. “Ms. Rosemore bukan tidak mengakui kemampuanmu, AJ. Ia hanya tidak menyangka kau bisa membaca dengan lancar. Kau tidak boleh marah padanya hanya karena ini. Kau…”“Astaga, AJ. Benarkah itu? Kau marah padaku?” Ms. Rosemore yang baru saja menyusul masuk, menyahut terkejut. Ini pertama kalinya ia mendengar tentang kemarahan AJ.“Maafkan aku, Manis. Benar kata ibumu. Aku bukan tidak percaya, aku saat itu hanya ter
“Saya…”Ed ingin menjawab teman, tapi kemudian sadar kalau seseroang yang nyaris berusia empat puluh sangat tidak cocok berteman dengan anak laki-laki berumur empat. Ia akan terlihat seperti predator anak yang mencari mangsa.“Apa kau kekasih dari ibunya?”Pertanyaan bernada curiga lain datang saat Ed masih berpikir, dan semakin aneh saja. “Apa maksuda Anda?” tanya Ed.“Untuk apa Anda mendekati AJ?” Masih dengan pertanyaan yang tajam, dan kini gerak-gerik wanta itu juga terlihat agresif. Ia berdiri di tengah lorong, menghalangi Ed. “Saya hanya ingin mengembalikan barang milik AJ yang kebetulan ada pada saya. Tidak bermaskud yang lain.” Ed mengangkat tangan dan mundur. Memperlihatkan sikap tenang. Ia tidak ingin terlihat agresif pada lingkungan dimana ada banyak anak-anak.“Benarkah?” Ms. Rosemore masih terlihat ragu, dan mengamati Ed dengan seksama. Dari luar, Ed tidak terlihat mencurigakan karena memang penampilannya rapi. Ia memakai mantel hitam mahal dan juga sepatu yang tidak ber
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad