Ck...ck... bayangannya liar amat Lori :)). Ya tapi buka2 sabuk sih : D
“Kau… dan Otiz! Apa selama ini kalian… kalian…” Lori kehilangan kata-katanya, sambil menunjuk Otiz dan Ed yang memang masih berpelukan di lantai kurang lebih. “Kotor sekali otakmu! Kau tidak melihat? Otiz pingsan!” bentak Ed, lalu dengan paksa membalik tubuh Otiz untuk membebaskan diri. Tadinya Ed tidak ingin kasar memperlakukan tubuh Otiz yang sakit, tapi tidak ingin pikiran liar Lori semakin menjadi. “Otiz? Otiz?!” Lori berlari menghampiri Otiz dan mengguncang tubuhnya. Akhirnya melihat kalau keadaannya tidak berdaya. “Dia sakit apa? Apa sangat gawat? Kata dokter apa?” Lori menuntut penjelasan. “Kau pikir aku tahu?!” Lori bertanya ditempat yang salah, Ed tidak tahu apapun tentu. “Kau selalu tidak tahu! Bagaimana kalau Otiz sakit parah? Seperti Javier!” Lori menepuk tubuh Otiz. Panik. “Kau jangan bicara sembarangan! Otiz hanya sakit biasa!” sergah Ed, sementara tangannya meraba mencari ponsel. “Kau tidak tahu pasti!” pekik Lori. “Kau juga tidak tahu Javier sakit! Kau tidak
“Apa kau yakin? Jangan gegabah dalam mendiagnosa!” Otiz membuka mata, tapi kata-kata yang didengarnya itu membuatnya meragukan kalau ia memang sudah benar-benar membuka mata. Suara itu seharusnya tidak ada di kamarnya. Otiz tahu ia ada di kamarnya. Masih bisa mengenali benda dan yang lain, jadi tidak mungkin Lori ada di kamarnya. Tapi saat berpaling, Otiz tahu kalau yang didengarnya bukan bagian dari mimi. Memang Lori yang ada di sana, sedang berdebat dengan dokter Bernal. Kehadirannya tidak aneh, karena ada Ed juga di kamar itu. Sudah jelas siapa yang memanggilnya. “Ini hanya flu biasa. Ia pingsan memang lemas!” Bernal menegaskan sambil menjinjing tasnya. Lori masih tampak ingin memprotes, tapi Bernal sudah menghampiri Ed. Menyerahkan obat dan vitamin lalu berpamitan. “Kau harus membawanya ke rumah sakit!” Lori memprotes pada Ed akhirnya. “Kata dokter tidak perlu! Apa kau tidak mendengar?!” sergah Ed. “Tapi Otiz belum bangun sampai sekarang! Bagaimana kalau ia benar-benar sa
“Aku… bukan hanya itu. Aku ingin meminta maaf.” Lori tidak akan bisa tidur dengan tenang sebelum mengucapkannya. “Untuk apa? Perasaanku? Tidak perlu.” Otiz menggeleng. “Perasaanku hanya untukku. Kau tidak salah dan…” “Bukan itu saja!” Lori memotong karena bisa melihat perubahan wajah Otiz. Permintaan maafnya yang berkaitan dengan perasaan Otiz tidak seharusnya diucapkan, karena akan semakin menyakitinya. “Aku ingin minta maaf karena marah padamu tanpa alasan… well, maksudku… seharusnya aku tidak marah saat kau mengatakan kebenaran itu. Aku hanya terlalu buta untuk menyadarinya.” Lori membahas yang berkaitan dengan perasaannya sendiri saja. “Kau minta maaf untuk?” Otiz tidak paham. “Tentang… Javier. Yang kau katakan tentang Javier… aku tidak tahu… dan kau sangat benar. Aku seharusnya tidak marah saat kau benar.” Otiz termangu. Ia takjub Lori mengakuinya dengan cukup mudah. Lori kemarin menutup telinganya—mencoba membantah sekuat tenaga. Lori kini terlihat menyerah. “Justru aku h
“Karena aku memang ingin kau berbahagia. Itu cukup untukku, Lori.” Otiz sudah ada dalam fase sangat rela. Ia tidak berharap apapun selain kebahagiaan Lori, bahkan saat dirinya menanggung sakit. “Selama ini aku melihatmu redup, dan sekarang kau sudah kembali. Matahari yang dulu aku lihat sudah bersinar. Aku tersenyum karena kau bahagia,” kata Otiz, kembali jujur. “Tapi kau tidak. Kau…”“Tapi kau bahagia. Itu yang penting untukku.” Otiz mengucapkannya tanpa ragu. Lori terdengar menghela napas. Menutup mata selama beberapa saat sebelum bicara. “Kenapa kau selalu menyebutku matahari?” tanya Lori, sedikit teralihkan. “Kau selalu ceria—tertawa dengan hangat, dan bergerak bebas ke sana kemari. Sangat sulit disentuh. Seperti matahari di langit. Terik tapi mengagumkan tapi tidak terjangkau olehku.” Otiz menjelaskan dengan lancar, karena tidak perlu lagi menahan perasaan. Jujur apa adanya karena Lori sudah tahu semuanya. Lori tersenyum. “Aku menyukainya. Matahari.” Otiz mengangkat bahu
“Hanya Ibanez? Otiz kemana?” AJ terlihat tidak terima. Ed baru saja mengatakan kalau setelah ini yang menjemputnya adalah Ibanez saja. Bukan Ibanez yang menggantikan Otiz. “Apa Otiz sangat sakit? Apa tidak sembuh? Seperti Abuela?” Air mata AJ merebak. Setahu AJ, Jade meninggal karena sakit tentu. Ia kini beranggapan Otiz tidak akan kembali karena hal yang sama. “Bukan.” Ed menepuk kepala AJ perlahan sambil berjongkok di hadapannya. Ed lupa kalau AJ cukup dekat dengan akan memprotes dan mengatakannya sambil lalu tadi. Sekarang sadar kalau ia harus menjelaskan dengan lebih baik. “Otiz tidak lagi bekerja untukku. Jadi hanya Ibanez yang akan menjemputmu mulai sekarang,” kata Ed. “Kau memecatnya?!” AJ sudah siap marah. “Kau belajar dari mana kata itu?” keluh Ed. Tidak tahu kapan dan bagaimana AJ menemukan kata itu. “Kenapa kau memecatnya?! Tidak boleh!” AJ menarik tangan Ed, dan semakin menangis. “Aku tidak memecatnya begitu saja, AJ. Otiz punya kehidupan sendiri. Ada bagian lain
“Apa maksud Anda?” Mata Otiz sampai menyipit nyaris terpejam karena kerut kebingungan di keningnya begitu dalam.“Kau tentu sangat sadar kalau resiko bekerja denganku adalah nyawa yang pendek bukan? Sudah berapa kali kau terluka untukku? Yang aku ingat saja sudah dua kali. Yang sebelumnya—dan yang kecil tidak aku ikutkan. Aku tidak ingin kau ada dalam bahaya setiap saat.”Ed hanya ingat dua yang mencolok. Saat Pedro dan Marco membuatnya hampir mati di hutan dan saat di New York. Dua bahaya yang jelas bisa memendekkan umur saat salah sedikit saja.“Tapi… tapi itu tugas saya. Saya memang ada untuk melindungi Anda. Saya tidak merasa terpaksa atau takut. Jadi…”Ed tersenyum dan mengangkat tangannya. “Aku juga tidak menuduhmu takut atau apa, aku hanya ingin menyelamatkanmu. Dan soal harus yang kau sebut, sudah aku katakan kemarin kalau hal itu tidak lagi berlaku. Kau tidak harus mati untukku. Dan jangan mengatakan kau rela. Aku tidak mau.”Ed menolak pengorbanan sebesar itu—bahkan kalaupun
“Otiz?!” Lori memekik terkejut, melihat Otiz berdiri di ruang depan. Lalu melirik sekitar dengan panik. Ia tidak mengundang Otiz, dan akan gawat kalau sampai ada yang tahu. Ia tadi keluar setelah pelayan menyebut ada tamu, tapi tidak mengira akan Otiz yang muncul.“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak menghubungiku dulu?” Lori menarik tangan Otiz, memintanya keluar. Tapi Otiz menahan tangannya.“Ada apa?” Lori bingung.“Apa aku meninggalkan sesuatu di tempatmu? Kenapa kau mengantarnya ke sini? Antar saja ke apartemenku!” Lori menyambung.Lori ada di rumah orang tuanya saat ini, tapi tidak setiap saat. Meski tinggal terpisah, tapi ia akan ada di sana saat sangat malas untuk melakukan apapun kegiatan rumah tangga. Termasuk memasak, makan dan lainnya. Rumah orang tuanya dilengkapi pelayan. Di sana Lori tidak perlu menggerakkan tangan saat perlu sesuatu. Lori perlu ada disitu akibat kejutan setelah acara golf itu.“Kau tahu apa pekerjaanku bukan?” tanya Otiz.“What? Apa kau bercand
“Andreas, ada yang ingin bicara padamu, Darling.” Dengan suara nyaris terdengar manja, Adela mengetuk pintu ruang kerja. Sebelum ada sahutan, Adela tidak membukanya.“Masuklah.” “Ayo.” Adela menyuruh Otiz masuk.“Lihat siapa yang datang.” Adela memamerkan Otiz pada suaminya—yang terkejut.“Oh…”“Aku menyukai yang ini.” Adela tertawa terkikik, sambil mengedipkan sebelah mata pada suaminya.“Hoo… ya. Bisakah kau meninggalkan kami? Kau boleh menyusul nanti.” Andreas mengusir dengan halus. Adela tampak tidak suka, menyipitkan mata, tapi mundur ke dekat pintu. Tidak mengatakan apapun, tapi matanya dengan jelas memberi isyarat kalau Andreas harus mengatakan semua padanya nanti.“Oke… oke…” Andreas menyetujui permintaan tanpa kata itu, baru Adela keluar.“Aku terkejut,” kata Andreas sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya, meminta Otiz duduk.“Saya terkejut Anda berhasil menemukan saya. Anda menemui Don Rosas.” Otiz cukup terkejut memang.Meski memberikan namanya, tapi koneksinya den
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad