“Salam kenal mahaguru. Nama saya Indra Purwasena,” kata Indra.
“Kami sudah mendengarmu tadi dari Rima. Aku benar-benar berterima kasih karena telah menyelamatkan cucuku,” tukas Pratiwi.
“Silahkan duduk,” timpal Nisri. Saat itu juga Pratiwi langsung mundur lagi bersama Nisri dan duduk di teras, Rima juga duduk di sebelah ibunya. Namun tiba-tiba saja Indra langsung duduk di tanah yang ada di bawah teras.
“Di sini saja,” ucap Pratiwi sembari menunjuk teras tempatnya berdiri.
“Tidak Mahaguru, sebuah kehormatan bagi saya karena telah bertemu dengan anda. Karena itu saya tidak ingin mengotori peristiwa ini dengan sikap yang kurang sopan kepada anda,” jawab Indra. Mendengar perkataannya itu Pratiwi tampak tersenyum.
“Kelihatannya gurumu mengajarkan ajaran yang baik,” puji Pratiwi.
“Memang
“Kalau begitu, matilah disini!” tegas Pratiwi yang tiba-tiba sudah ada di depan Indra sambil melayangkan cakar tangan kanannya.Namun Indra yang sudah waspada langsung melompat mundur ke depan para murid Pancasagara, namun dada Indra terasa begitu perih. Saat dilihat ternyata di dadanya terdapat tiga goresan bekas kuku Pratiwi, Indra benar-benar terkejut padahal dia merasa sudah melompat secepat yang dia bisa.“Nenek? Ada apa ini?” tanya Rima sembari bangkit, tapi Nisri langsung menahan tubuh putrinya.“Mahaguru, apa yang terjadi?” tanya Indra dengan wajah bingung, jelas-jelas serangan Pratiwi tadi bisa saja membunuhnya.“Jangan pura-pura bodoh! Aku yakin si keparat Braja Ekalawya menyuruhmu datang kemari untuk menghancurkan Perguruan Pancasagara, sama seperti yang dilakukannya tiga puluh tahun yang lalu!” tegas Pratiwi sambil berdiri dengan tatapan pen
“Dia bertingkah seperti itu karena kalian tidak pernah mengatakan semua kebenarannya kepada Rima dan Gina!” bentak Pratiwi.“Tapi jika aku mengatakannya, maka mereka berdua juga akan berakhir seperti Darga Lodaya!” jawab Suradwipa. Saat itulah Pratiwi tampak tersentak kaget dan mulai tenang.“Aku yakin Rima memiliki alasan untuk melindungi pemuda itu,” sambung Suradwipa.“Aku yakin pemuda itu sudah berpura-pura baik kepada Rima, semua itu bertujuan agar bisa masuk ke perguruan ini dan menghancurkannya dari dalam,” ucap Pratiwi sambil berjalan mendekati Indra yang berusaha bangkit.“Ibu, bisa saja muridnya memang berbeda dengan Braja,” kata Suradwipa.“Tidak mungkin. Aku yakin semua sikapnya tadi hanyalah kebohongan untuk menarik simpatiku saja. Yang namanya sikap murid pasti tidak akan jauh seperti gurunya, Braja p
“Mau apa kau kemari? Apa kalian masih kurang puas menghinaku serta guruku hah?” tanya Indra dengan waspada.“Tidak, justru aku datang kemari untuk meminta maaf. Sebenarnya kedatangan kisanak bersama kakakku sudah disadari oleh ayah waktu kami berlatih ilmu kanuragan. Kami juga memperhatikan kalian dari kejauhan, namun saat ayah melihat nenek begitu marah dia langsung turun untuk meredamnya. Tapi sebelum itu dia menyuruhku untuk menghadangmu dan meminta maaf kepadamu,” tutur Gina.“Meminta maaf?” tanya Indra tanpa menurunkan kewaspadaannya.“Ya, saat ayah tahu bahwa kau murid Braja Ekalawya dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Dalam waktu singkat dia menceritakan kepadaku bahwa kakekku tiga puluh tahun yang lalu sudah dihabisi oleh Braja Ekalawya, aku tidak tahu siapa itu Braja Ekalawya dan kenapa dia menghabisi kakek. Namun hanya itu yang dikatakan ayah dalam waktu sin
“Maaf kisanak tapi saya sedang tidak semangat untuk diajak bercanda,” kata Indra sambil kembali berjalan.“Sayang sekali, padahal aku pernah melihat orang yang memakai ikat pinggang hitam bergambar tengkorak,” ucap Ki Maung Lara sembari duduk di sebuah batu. Indra langsung menghentikan langkahnya seketika dan berbalik menatap Ki Maung Lara.“Apakah yang Aki katakan itu benar?” tanya Indra.“Tentu saja, aku pernah melihat seorang pendekar memakainya,” jawab Ki Maung Lara sambil terkekeh.“Di mana Ki?” tanya Indra dengan antusias.“Aku melihatnya di sekitar Desa Jambe, Kadipaten Talaga, tapi aku tidak tahu mereka masih ada di sana atau tidak,” ucap Ki Maung Lara.“Tunggu, tapi darimana Aki bisa tahu kalau saya sedang mencari pendekar dengan ikat pinggang bergambar tengkorak?” ta
Esok harinya pagi-pagi sekali Indra sudah berpamitan kepada Manan untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan cepat Indra berjalan menuju ke arah utara, hutan belantara dengan pepohonan tinggi besar sudah terlihat di kejauhan. Diantara ujung Kampung Lanjar dengan Hutan Alas Roban terdapat sebuah jurang yang cukup dalam, di bawahnya tampak mengalir sungai yang tenang.Sebuah jembatan kayu tua terlihat masih tertambat menyambungkan kedua tebing, namun dari penampilan dan kondisinya jembatan itu pasti sudah lama tidak diurus dan dilintasi oleh orang. Indra menghirup udara dalam-dalam untuk menggunakan ajian hampang raga untuk mengurangi berat masa tubuhnya.Indra dengan cepat berlari melintasi jembatan, saking ringannya tubuh Indra jembatan tua yang rapuh itu bahkan tidak terlihat bergerak saat kaki Indra menapak diantara kayu lapuk jembatan. Indra dengan lincah langsung melompat ke sisi tebing lain tepat di pinggir hutan setelah melewati jembatan.
“Aku pikir kau Darjasena, siapa kau kisanak? Kenapa kau memiliki ikat pinggang kami?” tanya Geni tanpa bergerak sedikitpun.“Aku adalah malaikat mautmu!” tegas Indra yang sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi.‘Bbbrrrakkkhh’‘Dddaaakkhh’Kursi yang diduduki oleh Indra mendadak hancur berkeping-keping saat Indra melayangkan pukulannya ke wajah Geni. Tapi dengan cepat Geni menahan pukulan Indra dengan telapak tangannya, suara benturan terdengar keras. Meja dan kursi lainnya yang ada di sekitar mereka langsung hancur karena benturan tenaga dalam yang terjadi.Para wanita yang tadi keluar bersama Geni langsung menjerit dan berbalik lagi masuk ke dalam rumah, Indra langsung menundukan tubuhnya dan melayangkan kaki kanannya mengincar wajah Geni. Tapi Geni dengan gesit menghantamkan kakinya ke kaki Indra hingga serangannya hanya melebar ke samping.
‘Dddaakkhh’“Heuk..” kali Indra memekik kesakitan seiring dengan tubuhnya yang terjungkal ke belakang, dari hidungnya juga mulai mengalirkan darah. Saat itulah Indra mulai memahami rahasia dibalik enam tapak iblis yang digunakan oleh Geni.Tapi Geni tidak membuang kesempatan, dia langsung menendang perut Indra yang masih melayang di udara hingga terpental menabrak sebuah rumah sampai rumahnya ambruk karena semua tiang penyangganya patah. Indra kembali mememkik kesakitan, dari mulutnya kembali mulai mengeluarkan darah.“Hahaha.. padahal aku baru menggunakan gerakan tapak pertama dari gerakan enam tapak iblisku. Kelihatannya aku terlalu berharap banyak hanya karena kau adalah murid Braja Ekalawya,” ejek Geni sambil tertawa puas.Indra dibawah puing-puing rumah langsung bergerak bangkit kembali, tubuhnya benar-benar terasa sakit. Namun kini dia akhirnya mengerti semua
Bagi Geni sendiri Indra adalah pemuda berbakat yang cukup merepotkan, di usianya yang masih terbilang muda nyatanya dia sudah sanggup mengimbangi semua serangannya. Enam tapak iblis yang selalu dia andalkan dengan mudah bisa diantisipasi oleh Indra, namun mengingat bahwa gurunya adalah Braja Ekalawya membuat Geni tidak terlalu heran dengan hal tersebut. Dia yakin Indra sudah dilatih dengan keras salama ini oleh Braja.Geni langsung melompat mundur saat menghindari tendangan kaki kanan Indra. Saat itu juga Geni langsung berkonsentrasi untuk menggunakan salah satu ajian tingkat tinggi yang dikuasai olehnya yang bernama ajian ekabaya. Melihat hal itu Indra juga mulai membuat pola gerakan untuk menggunakan ajian bayubaraja.Tanah di sekitar tempat mereka berdiri mulai bergetar, riuh angin bergemuruh mulai terdengar menderu. Semua orang yang ada di tempat itu langsung melompat mundur karena tahu akan ada benturan ajian tingkat tinggi yang digunak
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari