“Aku jamin, aku tidak perlu melewati garis ini untuk mengalahkan gurumu itu,” ejek Darjasena sambil menyeringai menunjuk garis yang dia goreskan di tanah.
“Kau sudah melampaui batas! Menghina mahaguruku sama saja dengan membangunkan singa yang tertidur!” ancam Salaksa sambil berusaha membuat pola kuda-kuda tehnik pedang andalannya.“Hahaha.. Kalau singanya ompong seperti gurumu, aku tidak takut!” balas Darjasena sembari tertawa puas.“Guru, izinkan muridmu ini untuk membungkam mulut pendekar yang menghinamu itu!” batin Salaksa sambil memejamkan kedua matanya, perlahan dia membuka kedua matanya lagi.Pedangnya langsung Salaksa genggam dengan kedua tangan, bilah tajamnya mengarah ke kanan sementara bilah lebar pedangnya dia tempelkan ke pundak kanan sampai bagian tumpul pedangnya menyentuh lehernya sendiri, gagang pedangnya dia angkat ke depan bersamaan dengan kaki kirinya yang sedikit“Kelihatannya malah otakmu yang aneh, aku nanya kemana kau jawabnya apa,” kata Darjasena lagi seolah tidak menyerah untuk memancing amarah Indra.“Hihihi.. sejak kapan kau nanya kemana? Aku juga nggak menjawab apa. Otakmu kali yang karatan noh,” balas Indra sambil berjalan mendekat dan memainkan pedang milik Salaksa.“Melangkah sekali lagi maka akan kutebas kepalamu itu!” bentak Darjasena seraya menghunuskan pedangnya. Indra malah tersenyum lalu melangkah dua kali ke depan Darjasena.“Keparat!” bentak Darjasena yang langsung menebaskan pedangnya ke depan.Riuh angin langsung bergemuruh menciptakan tekanan udara seperti pedang, Indra langsung membuat pola kuda-kuda gerakan silat yang diajarkan Braja Ekalawya. Tebasan jarak jauh yang dilakukan oleh Darja langsung melesat vertikal mengarah kepada Indra, tapi dengan gesit Indra melompat ke samping menghindari tebasan Darjasena.
Indra kali ini yang memulai serangan dengan melesat ke depan dalam gerakan kedua pancalima, Darjasena langsung menyambut kedatangan Indra dengan tebasan pedangnya ke depan. Namun kaki Indra langsung dihentakan ke samping hingga tubuhnya terlontar ke arah samping Darjasena. Tak sampai di sana sebab Indra menghentakan lagi kakinya ke samping, kini tubuhnya melesat cepat ke arah Darjasena.‘Trang’Pukulan Indra yang melayang langsung ditahan oleh bilah tumpul pedang Darjasena, sejujurnya Indra sangat terkejut sebab baru kali ini ada lawan yang sempat menahan gerakan kedua pancalima miliknya. Padahal biasanya musuhnya memilih untuk menghindar sebab tidak sempat menangkis serangannya.“Gerakannya sangat cepat,” batin Indra.Tak patah semangat Indra langsung melesatkan lutut kanannya mengincar perut Darja, tapi Darja dengan cepat mengangkat lutut kirinya hingga membentur serangan lutut Indra. Suara benturan terden
Setelah batang pohon Indra langsung berpindah ke batu-batu besar yang ada di sekitarnya, dengan cepat dia melemparkan batu-batu itu mengarah kepada Darjasena. Alih-alih menebaskan pedangnya Darjasena justru menghindari setiap lemparan batu yang dilontarkan oleh Indra. Melihat hal itu Indra langsung tersenyum lalu membawa batu yang dikepal di kedua tangannya serta melesat kembali menyongsong Darjasena.‘Trang’Indra mengayunkan tangan kanannya mengincar kepala Darjasena namun langsung ditangkis olehnya menggunakan pedang sampai terdengar suara dentingan nyaring, Darjasena terlihat terkejut sebab dia tidak menyangka jika Indra membawa batu di kedua tangannya.‘Trang’‘Tring’‘Trung’Terdengar suara dentingan secara terus menerus saat batu ditangan Indra ditahan oleh pedang yang dipegang oleh Darjasena. Secara beruntun Indra terus menyerang Darja dengan batu di
“Lalu kau telah menyesal karena pernah berdiri di posisiku saat ini? Sebenarnya sejauh mana keyakinanmu kepada kebenaran dan keadilan yang kau bicarakan hah? Asal kau tahu, seburuk-buruknya orang adalah orang yang tahu kebenaran dan keadilan tapi lebih memihak kejahatan dan kebiadaban serta bungkam ketika melihat ketidak adilan dipertontonkan!” tegas Indra.“Omong kosong! Keadilan dan kebenaran tidak pernah ada di dunia ini! Jika memang ada maka orang-orang jahat dan biadab pasti akan hidup sengsara di dunia ini!” potong Darjasena.“Kau yang mengatakan omong kosong Darjasena! Lihatlah dimana kita berdiri saat ini! Apakah aku datang ke sini karena buah dari kejahatan? Apakah aku bisa berdiri di sini karena titah kebiadaban?! Guruku Braja Ekalawya, orang yang kau sebut paling biadab dan keji di dunia ini! Jika kebenaran dan keadilan hanyalah kepalsuan kenapa murid Braja Ekalawya sepertiku berdiri menantangmu di sini?! Aku adalah
Darjasena menjulurkan pedangnya ke samping kiri dengan bilah tajam menghadap ke depan, sementara itu kaki kanannya sedikit maju ke depan dengan sedikit menekuk sedangkan kaki kirinya menjulur lurus ke belakang. Indra sendiri langsung mengangkat tinju tangan kanannya ke udara, gemuruh guntur yang menggelegar terdengar bersahutan di langit seiring dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar.Sambaran kilat langsung menghantam tangan kanan Indra sampai kilatan-kilatan petir kecil menyelimuti tangannya. Mereka berdua kembali saling menatap satu sama lain, riuh angin yang bertiup langsung menerbangkan dedaunan yang gugur di tanah hingga berhamburan ke tubuh mereka berdua.Indra langsung mengambil ancang-ancang untuk menghentakan kakinya, saat itu juga di saat yang bersamaan mereka berdua menghentakan kaki kanannya. Tubuh mereka berdua langsung melesat menyongsong lawannya, Indra menggerakan pukulannya ke depan sementara Darjasena menggerakan tangannya yang memeg
“Apa yang terjadi di sini, Indra? Kenapa Salaksa bisa sampai tewas hah!” bentak Windu dengan penuh amarah.“Saat aku datang kemari dia sudah tewas di tangan Darjasena,” jawab Indra dengan tetap tenang.“Apa?” ujar Windu dengan wajah kaget.“Dia sama sekali tidak memanggil bantuan, aku berusaha datang kemari setelah mendengar dentuman dahsyat. Tapi ternyata aku terlambat,” tukas Indra.“Keparat! Saktiwaja benar-benar sudah mengambil kesalahan besar dengan memintamu ikut dengan kami! Jika saja aku berada di tempatmu pasti aku bisa menyelamatkan Salaksa!” tegas Windu sambil menghempaskan tubuh Indra ke belakang. Tak lama kemudian beberapa prajurit lainnya datang menghampiri mereka untuk memberi laporan bahwa anak buah Darjasena sudah ditangkap semuanya.“Bawa mayat Darjasena dan juga Salaksa ke kereta kuda. Kita akan menyerahkannya ke tempat Senopati melaku
“Katanya sudah tidak jauh lagi, tapi belum kelihatan. Pusat kadipatennya juga di mana lagi? Kok sepi bener, ah jangan-jangan si kakek sudah pikun lagi,” ujar Indra setelah berjalan agak jauh. Beberapa orang tampak ramai hilir mudik di jalanan. Beberapa orang berpakaian khas pendekar juga terlihat berlalu di depan Indra.“Maaf kisanak, kalau Perguruan Melati Putih sebelah mana ya?” tanya Indra kepada salah satu pendekar yang berpapasan dengannya.“Oh, dari sini kisanak silahkan lurus ke depan. Nanti ada pasar, belok ke kanan. Dari sana sudah kelihatan bukit yang ada di belakang Perguruan Melati Putih. Kisanak tinggal berjalan saja menuju ke arah bukit, nanti juga ketemu perguruannya,” jawab pendekar yang Indra tanya.“Terima kasih kisanak,” kata Indra sambil kembali berjalan sesuai petunjuk dari pendekar yang barusan dia tanya.Setelah mengikuti arahan pendekar tadi Indra akhirnya bisa
Indra yang terkejut langsung sadar kalau saat ini dia berada di hadapan Mahaguru Larasati, saat itu juga dia langsung duduk dengan sopan dan memberi salam kepada Mahaguru Larasati. Tanpa di duga Drajat juga ikut duduk di ruangan tersebut. Indra memang masih menyimpan rasa penasaran kepada kakek tua di dekatnya, tapi rasanya tidak sopan jika dia malah berbincang dengan tamu lain di depan pemilik rumah.“Aku sudah menunggu kedatanganmu kemari Indra. Malah undangan dari Maharaja Kalya Cakra aku tolak,” tutur Larasati sambil tersenyum. Lagi-lagi Indra dibuat kaget karena Mahaguru Larasati seolah sudah tahu kalau dia akan datang kesana.“Maaf Mahaguru. Tapi apa Mahaguru tahu bahwa saya akan datang kemari?” tanya Indra.“Aku sudah menerima surat dari Mahaguru Maung Lodra, kalau dia mempercayakan masalah Kelompok Tangkurak yang ada di Kadipaten Santana kepadamu dan Saktiwaja. Tapi dia bilang kemungkinan kau akan datang ke
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari