"Dasar pelayan lamban! Apa kau sudah bosan hidup?!"
Wajah Genjo Li menjadi seputih kertas atas sambaran suara dari salah seorang rombongan Aliansi Jing Quo. Bahkan, ketakutan yang ia buat menjadi semakin kentara dari nampan yang dibawa sampai bergetar. Untung saja nampan itu tidak jatuh.
"Tuan Ju, lihatlah kau membuatnya takut," ucap seorang lainnya dengan tawa tertahan.
"Tuan Dong, seharusnya aku membunuhnya sejak tadi!" imbuh Ju Shen sembari menggenggam pegangan pedangnya.
"Tu-tuan ...."
"Sudah, sudah, letakkan teh itu." Dong Wei berdiri dan mengambil secangkir teh dari atas nampan yang masih digenggam erat Genjo Li. Ia menghirup kepulan asap yang keluar dari dalam cangkir. Lalu, dengan seutas senyum ia menyesapnya. "Ini ... teh ini sangat nikmat!"
"Tuan Dong, tidak perlu berpura-pura untuk menghiburnya. Aku akan meminta Shen Xiao untuk memecat pelayan ini." Ju Shen menggeser pandangannya ke arah Genjo Li. Kedua matanya m
Bantu vote agar author lebih semangat up
"Ge-genjo Li ...." Junsi yang berbalik mendengar suara rekannya, kini tampak pucat dengan kedua mata yang masih membesar. Ia sangat yakin telah mengunci pintu kamar sebelumnya, lalu mengapa Genjo bisa masuk bahkan tanpa menimbulkan suara sedikit pun? Detik itu pula Junsi semakin yakin bahwa Genjo Li memang bukan orang sembarangan. Junsi yang belum bangkit dari lantai, terlihat mundur beberapa langkah ketika Genjo Li berjalan menghampirinya. Ia tahu jika selama ini Genjo Li menyimpan rahasia besar. Ia juga sudah mengira jika rekannya itu terlibat dalam peristiwa menghilangnya para anggota Aliansi Jing Quo. Ia pun curiga kalau pemuda itu pula yang menyamar sebagai Pendekar Bertopeng, sebab beberapa kali ia mengetahui Genjo Li menyelinap masuk ke dalam kamar pada dini hari. Meskipun demikian, Junsi benar-benar tidak mengira jika Genjo Li adalah bagian dari Sekte Teratai Putih. Semua orang di Haidong tahu, Wang Weo dan seluruh anggotanya telah menghancurkan sekte t
Kedai Shui Dong telah tutup. Namun, Genjo Li tampak masih menyeduh teh, sedangkan Mingmei berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Tuan Shen hanya berkunjung seperti biasa.”“Tapi Genjo Li, bagaimana jika Tuan Shen datang untuk mengingatkanku agar pergi dari sini? Aku ... a-ku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku takut anak buah Tuan Ju akan menemukanku jika keluar dari kedai ini. Aku ....”Genjo Li meletakkan cangkir di tangannya, lalu memegang kedua bahu Mingmei. Ia menatap gadis di hadapannya dan berkata, “Aku berjanji semua akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas. Jika Tuan Shen memang meminta kau pergi dari sini, aku akan mencarikan tempat yang aman untukmu.”Mingmei menatap Genjo Li lekat-lekat. Mata lelaki itu penuh dengan keyakinan hingga mampu menyingkirkan ketakutannya. Setelah kematian sang ayah, Mingmei selalu merasa takut sebab tidak ada lagi tempat untuk berl
Genjo Li menutup mata ketika Shen Xiao memegang gagang pintu. Merasa belum cukup, ia membalikkan badan, membelakangi pintu. ‘Aku tidak bisa membayangkan, seberapa besar rasa malu yang akan mereka tuai.’Pintu berderit. Genjo Li menahan napas. Ia bahkan menutup kedua telinga lantaran dirinya turut merasa malu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian Genjo Li kembali membuka telinga dan matanya karena setelah beberapa saat pintu terbuka, tidak terjadi apa-apa.Genjo Li membalikan badan. Benar saja, Shen Xiao hanya diam terpaku memandang seorang gadis yang mengenakan topi besar dengan kain tipis hitam yang terjuntai di sekelilingnya. Meski demikian, wajah gadis itu masih terlihat.Sementara itu, hal yang sama juga dilakukan gadis tersebut. Ia hanya diam memandang Shen Xiao. Tampak jelas ia sangat terkejut karena yang membuka pintu untuknya ternyata adalah sang pemilik kedai, sedangkan sejak tadi ia telah terlanjur melontarkan segala macam kata-kata kasar. M
Napas Wang Shixian tersengal-sengal dengan keringat bercucuran. Detak jantungnya masih tak karuan setelah menuntaskan pembalasannya pada pelayan Shui Dong yang menyebalkan. Kini, ia menatap Genjo Li yang terpaku dengan wajah begitu terkejut.Sesaat, tidak ada kata di antara mereka. Keduanya diam dengan mata yang tidak berhenti bicara, memandang satu sama lain tanpa niatan untuk menggeser tatapan mereka sedikit pun. Namun, berbeda dari Wang Shixian, sorot yang terpancar dari mata Genjo Li seperti sedang menerawang jauh ke sebuah tempat bernama entah.Plak!Secara mengejutkan, Genjo Li tiba-tiba menampar dirinya sendiri, membuat Wang Shixian tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak ternganga. Lantas gadis itu bertanya, “Apa yang kau—”Plak!Belum sampai Wang Shixian menyelesaikan perkataannya, Genjo Li telah menampar pipinya lagi. Sudah barang tentu Wang Shixian langsung disergap cemas. Ia meraih tangan Genjo Li yang suda
"Mingmei, Mingmei, apa yang akan kau lakukan? Sebaiknya kau kendalikan amarahmu. Aku tahu, rasanya pasti sangat sakit.” Junsi tertunduk lantaran ucapan itu juga mewakili perasaannya. “Tapi jangan biarkan rasa sakit itu membuat kita menyakiti orang lain.”Mingmei menggeleng pelan. “Tidak Junsi, kau tidak mengerti. Aku harus menemui mereka untuk mengungkap yang sebenarnya. Aku tidak akan membiarkan hatiku terluka lagi!”Mingmei berjalan mendekati Genjo Li dan Wang Shixian tanpa menghiraukan panggilan dari Junsi. Maka, Junsi hanya bisa menyisir rambutnya dengan tangan membayangkan keributan, bahkan peperangan, akan segera terjadi.“Kalian ...,” ucap Mingmei dengan suara rendah, tetapi cukup jelas untuk didengar dalam kesenyapan malam. Seketika itu pula Wang Shixian melepaskan pelukannya dari Genjo Li.Wang Shixian mengamati Mingmei yang masih berpenampilan seperti laki-laki dengan saksama, mulai dari ujung kaki sampa
Orang-orang di dalam Shui Dong menelan ludah mendengar ucapan Genjo Li. Jika memang seseorang di depan kedai teh itu tidak untuk dilawan, mengapa wajah Genjo Li tampak sangat waspada? Belum sampai pertanyaan dalam benak Mingmei, Junsi, dan Wang Shixian terjawab, suara ketukan pintu terdengar, diikuti teriakan dari seorang laki-laki, “Buka pintunya!” Detik itu pula kedua mata Wang Shixian terbuka lebar. Ia sangat mengenal suara itu. Wang Shixian menoleh pada Genjo Li. Kekasih barunya itu mengangguk seolah mengerti apa yang ada di dalam benak Wang Shixian. “Buka pintunya sekarang juga! Jika tidak, aku akan menghancurkan kedai ini!” kata seseorang di depan kedai lagi. Kentara sekali jika orang tersebut sudah kehabisan kesabaran hingga menggedor pintu dengan sangat keras. Detik berikutnya, suara pedang yang ditarik dari selongsongnya juga terdengar jelas dalam keheningan malam. Sebelum tamu tidak diundang itu merusak pintu Shui Dong, Genjo Li berjal
"A-aku ...." Mulut Wang Shixian yang biasanya fasih mengomel mendadak kaku seketika.Jika menuruti ego, tentulah dia akan mengatakan yang sebenarnya, tidak peduli meski sang pengawal akan menentang hubungannya dengan pelayan rendahan, dia akan ngotot memilih Genjo Li. Sesudahnya, sang putri berpikir bisa dengan leluasa memarahi Liu Xingshen karena sudah sangat lancang menyinggungnya.Namun, apa boleh buat. Dia sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengatakan hubungannya dengan Genjo Li pada siapa pun. Sayang sekali Wang Shixian adalah seorang yang biasa memenuhi janji sehingga tidak bisa pura-pura pikun begitu saja. Lagipula, aneh juga jika dia sudah lupa pada janji yang baru saja disepakati. Bukankah kulitnya terlalu kencang untuk disebut tua?Maka dari itu, sebesar apa pun Wang Shixian ingin jujur, dia tidak mungkin mengakui bahwa pelayan yang dulu dia bentak-bentak itu telah menjadi kekasihnya. Braaak!Sungguh malang, meja yang tidak bersalah menjadi pelampiasan atas kejengkelan Wa
Tanpa ragu Genjo Li menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan dari rekannya. Maka sangat wajar jika kini kedua tangan Junsi dengan kompak berada di depan mulutnya.'A-apa ... Genjo Li sudah hilang akal?' Satu kalimat itu tidak bisa ditahan Junsi untuk tidak terlontar di hatinya. Betapa tidak, mereka sama-sama tahu bahwa Wang Shixian adalah putri semata wayang dari Kaisar Wang Weo. Lalu, apa sebutan yang lebih pas untuk seseorang yang berniat mengajak seorang anak untuk menentang ayahnya sendiri?Mungkin hal itu akan menjadi wajar dalam kasus perebutan kekuasaan oleh para pangeran. Katakanlah para pendukung pangeran tidak terima dengan dinobatkannya putra mahkota menjadi seorang kaisar, lalu mereka melakukan pemberontak. Akan tetapi, kasus yang terjadi di Haidong ini jelas berbeda. Wang Weo bahkan tidak memiliki putra atau putri lain kecuali Wang Shixian. Selain itu, semua orang di Haidong tahu bagaimana sikap Kaisar Wang pada putrinya. Sekejam apa pun pria itu selama ini, d
Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang
Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji
Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn
"Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P
Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem
"Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia
Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang
Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme
Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah