Semua orang di meja itu pun menatap wajah Genjo Li. Sudah barang tentu hal itu membuat jantung Genjo Li berdetak sangat kencang.
Junsi yang melihat Genjo Li tampak kesulitan, lalu berjalan mendekatinya. “Tuan Dong, perkenalkan dia adalah Genjo Li, pelayan baru dari salah satu desa terpencil. Dia baru datang kemarin dan mulai bekerja hari ini. Oleh sebab itu, dia menjadi sangat gugup dan tidak mengatakan apa pun.”
Dong Wei tersenyum. “O, pelayan baru. Entah mengapa wajahnya tidak asing. Tapi baguslah, tampaknya setelah ini kami tidak akan menunggu terlalu lama untuk bisa menikmati teh di Shui Dong.”
“Terima kasih karena Tuan Dong dan para pendekar Jing Quo sudah menjadi pelanggan di kedai ini. Kami kembali ke belakang dulu.”
“Ya, ya, pergilah!” sahut Ju Shen dengan wajah malas. “Tidak ada gunanya berbicara dengan pelayan. Meski dia bisa membuat teh ternikmat di Haidong, bukan berarti kita harus berbincang dengannya. Membuang-buang waktu!”
Pelip
Bantu author dengan klik tombol VOTE yaaa
Lelaki botak membalikkan badan sambil menghunuskan pedang. Namun kemudian yang terdengar justru suara jerit kesakitan yang berasal dari mulutnya sendiri. "Ah ...!" Sang gadis memejamkan matanya erat-erat. Meski lelaki botak itu telah membunuh ayahnya dengan begitu kejam, ia tidak sanggup melihat tubuh lelaki itu terbelah menjadi dua bagian akibat tebasan melintang pria bertopeng di perutnya. Sang gadis berjingkat ketika pria bertopeng membuka ikatan kaki dan tangannya. Lelaki itu juga membuka kain yang menyumpal mulut sang gadis. "Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau membantuku?" tanya sang gadis ketika pria bertopeng berdiri dan hendak meninggalkannya. Namun, pria tersebut tidak menjawab dan kembali melangkahkan kaki. "Tunggu!" teriaknya membuat pria bertopeng kembali berhenti. "Tuan, siapa pun Tuan, terima kasih atas semua kebaikan Tuan. Tapi jika Tuan bersedia membantuku lagi, aku akan sangat berterima kasih." Pria bertopeng berbalik dan duduk
Matahari baru saja terbit, Genjo Li yang sudah bangun lebih dulu, kini tampak sedang membersihkan kedai. Ia mengelap seluruh meja sampai bersih setelah sebelumnya menyapu lantai. Tidak hanya itu, ia juga memberikan sentuhan yang berbeda pada Shui Dong dengan meletakkan vas bunga pada setiap meja. Di dalamnya terdapat sekuntum bunga mawar. Ketika Genjo Li meletakkan vas dan bunga pada meja terakhir, mendadak ingatannya kembali pada gadis cantik yang ia tolong semalam. ‘Semoga dia baik-baik saja dan sudah pergi dari sini,’ batin Genjo Li cemas. Ia masih tidak habis pikir, mengapa orang-orang seperti Ju Shen merasa perlu untuk melakukan segala jenis kejahatan? Benar-benar memanfaatkan posisi dan kedudukan untuk mendapatkan apa pun yang diinginkan dengan cara bagaimanapun. Tiba-tiba, derap langkah kaki mengejutkannya. Ia melihat ke arah jalan dan mendapati seorang gadis berlari dengan wajah pucat. ‘Bukankah dia ....’ Tanpa pikir panjang Genjo Li melambaikan tangan dan be
Ketika ingatan gadis itu kembali pada tragedi yang menipanya tadi malam, tiba-tiba seseorang mencengkeram lengannya. Sudah barang tentu hal itu membuat gadis tersebut berteriak ketakutan. “Siapa kau? Mengapa kau bersembunyi di sini? Cepat keluar!” teriak Junsi sambil berusaha menarik sang gadis untuk keluar dari persembunyiannya. Sementara itu, Shen Xiao yang mendengar keributan dari dapur, langsung berlari untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Genjo Li yang menduga bahwa Junsi melihat dan menangkap gadis itu, tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti sang majikan pergi ke dapur. “Ada apa ini?” bentak Shen Xiao melihat Junsi memegang erat lengan seorang gadis yang tampak begitu berantakan. “Dan siapa kau? Mengapa kau ada di kedaiku?” “Apa kau ingin mencuri di sini?” tanya Junsi. Sejak kesulitan melanda, kasus pencurian di kota semakin meningkat. Pelakunya tidak hanya laki-laki, perempuan, bahkan juga anak-anak kadang dilibatkan dalam tindak kej
Baik Genjo Li maupun Junsi sama-sama bergeming melihat Mingmei yang telah membersihkan diri. Meski perempuan itu kini berpenampilan layaknya seorang pria, tetap saja tampak ... cantik. Kulit putih bersih, bibir kecil dan tipis, serta mata hitam pekat yang menawan, membuat dua lelaki yang menatapnya kini tidak bisa untuk tidak terpukau. "Apa ... aku kelihatan sangat aneh?" tanya Mingmei sambil memegangi lehernya. "Ah, tidak, tidak," jawab Genjo Li dan Junsi kompak dengan senyum lebar. Mingmei menyunggingkan senyum. Ia merasa sangat beruntung karena bisa bertemu dengan orang-orang yang baik hati. "Kalau begitu aku akan ke depan dulu. Sebentar lagi mungkin akan ada banyak pelanggan yang datang. Genjo Li akan menjelaskan pekerjaanmu." Junsi bergegas pergi. Ada kesedihan yang kembali terlihat di wajahnya. "Tuan, mohon bimbingannya." Ucapan Mingmei menyadarkan Genjo Li yang mencoba menebak hal apa yang membuat Junsi yang mendadak terlihat se
"Genjo Li, apa yang terjadi?" tanya Junsi melihat rekannya masuk dapur dengan ekspresi wajah menahan amarah. Entah bagaimana wajah ramah dan tatapan lembut Genjo Li bisa berubah menjadi begitu menakutkan. Genjo Li mulai menyalakan api untuk menyeduh teh, seolah tidak peduli pada kecemasan Junsi. "Tidak, apa-apa. Aku akan mengurus semuanya." Meski Junsi baru mengenal Genjo Li, ia tahu bahwa pemuda itu bukan seseorang yang tak acuh. Selain itu, biasanya Genjo Li juga selalu menyunggingkan senyum. Namun kali ini ... Junsi menduga, para pelanggan mungkin sudah bersikap sangat buruk padanya hingga membuat Genjo Li benar-benar kesal. "Biar aku bantu," kata Junsi setelah beberapa saat terbengong. Ia hendak mengambil nampan dan gelas sesuai dengan jumlah pelanggan yang tadi ia lihat. Namun, Genjo Li langsung mencegahnya. "Tidak perlu. Mereka hanya memesan satu cangkir saja." "Benarkah?" "Ya," jawab Genjo Li sangat singkat, benar-benar me
Junsi tampak berlari tergopoh-gopoh menuju belakang. Terlihat tiga lelaki yang duduk di meja samping Wang Shixian sudah hendak berdiri dan menyusulnya, tetapi dicegah gadis itu dengan tatapan tajam. Adapun hal yang membuat Junsi terlihat sangat cemas adalah karena Wang Shixian membentaknya untuk segera memanggil Genjo Li setelah tahu pemuda itulah yang membuat teh untuk sang putri. Junsi berlari menuju gudang sebab Genjo Li tadi mengatakan ada urusan dengan Mingmei. Akan tetapi, setibanya ia di gudang, hanya ada Mingmei yang merapikan teh-teh aneka jenis. "Ada apa Junsi?" tanya Mingmei melihat wajah Junsi yang pucat. "Di mana Genjo Li?" "Dia menemuiku sebentar dan pergi lagi. Mungkin di dapur." "Apa? Pemuda itu!" Junsi tampak kesal karena tidak kunjung bertemu Genjo Li, padahal situasinya sangat mendesak. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Junsi menyunggingkan senyum dan berkata, "Tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja. Kalau beg
“Apa maksudmu mengatakan kalau aku kekasihmu? Apa kau tahu siapa aku?!” protes Wang Shixian ketika keempat pemuda itu telah pergi. Junsi bersandar pada dinding. Ia tidak mengira jika Genjo Li begitu ‘kuat’ dan berbakat. ‘Uh, dia bahkan menunjukkan senyum menawan seperti itu, tanpa takut atau cemas pada teriakan Tuan Putri,’ bantinya nyaris tak percaya. Melihat Genjo Li yang tampak begitu ‘lugu’, tidak akan ada orang yang mengira jika pemuda tersebut menyimpan keahlian seperti itu. “Aku tidak tahu siapa dirimu. Aku hanya berusaha menjaga kehormatanmu di depan para pemuda itu. Jangan dikira kaum lelaki tidak suka bergosip. Sekali mereka buka suara tentangmu, kau mungkin tidak akan menemukan seseorang yang mau menikahi denganmu. Membayangkannya saja aku tidak tega." “Apa? Kurang ajar!” “Semestinya Nona berterima kasih padaku. Tapi tidak masalah, aku mengerti beberapa orang menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain,” ucap Genjo Li sambil memegang er
Dalam ruangan yang begitu megah, terlihat seorang gadis duduk di depan cermin, memandangi dirinya sendiri. Sesekali ia mengembangkan berbagai senyum di wajahnya, mulai dari senyum tipis, senyum miring, kecut, getir, lebar, sampai dengan seringai menakutkan. “Apa iya selama ini aku jarang sekali tersenyum?” lirihnya. “Putri Shixian, siapa gerangan lelaki yang membuat Tuan Putri menjadi seperti ini?” celetuk seorang pelayan yang sedari tadi senyum-senyum sendiri mlihat tingkah aneh majikannya. “Mingyue, apa kau ingin mati?!” bentak Wang Shixian yang menoleh menghujani pelayannya dengan tatapan mengintimidasi. Namun, tidak tampak ketakutan sama sakali di wajah sang pelayan. Sebaliknya, Mingyue justru tampak berusaha keras menahan tawa. “Mingyue! Keterlaluan, bahkan kau berani menertawakanku.” “Putri Shixian, aku sungguh ingin melihat lelaki yang membuat Putri jatuh cinta,” kata Mingyue kembai menggoda. Ia memang tidak takut sama sekali dengan Wang Shixian. Sebel
Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang
Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji
Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn
"Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P
Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem
"Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia
Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang
Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme
Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah