Begitu Kirana berhasil cepat berdiri, takut diserang lagi, ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak bernyawa dan Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya.
"Prana...!" Kirana ingin berteriak, tapi tak mampu, sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam.
Ia pun tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan dari Ekayana kembali membahayakan jiwanya. Kirana menangkis serangan itu dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana hingga terjeng kang jatuh sang lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang membahayakan itu. Ia berlari sambil membawa kesedihan atas kematian kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana berlari mengejarnya.
Kalau Kirana tidak lari, dia akan mati. Kirana tahu persis kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau mati konyol melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang dimilikinya. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana
"Hmm... di mana tempat itu? Maksudku, Bukit Canang terletak di sebelah mana?" tanya Baraka semakin serius.Tapi tiba-tiba Kirana terperanjat. Matanya melebar seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau tua yang melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang terkesiap dan tak sempat menghindar itu dihantam sinar hijau tua dalam bentuk seperti ujung anak panah.Melihat hal itu, Baraka bergerak cepat di luar dugaan Kirana. Suling mustikanya dihadangkan di depan Kirana, dan sinar hijau itu membentur suling tersebut.Trangng...!Bagai dua besi baja beradu suara nya. Sinar hijau itu membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat gerakan terbangnya.Zlappp...! Duarrr...! Brrrukk...!Sebatang pohon kelapa menjadi sasaran sinar hijau tersebut, sebab pemiliknya segera melompat menghindari sinar yang membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian yang terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas tumban
"Kau mengatai dirimu sendiri!" kata Baraka. "Kalau kau tidak merasa banci, cengeng, dan kecil nyalimu, coba kau lepaskan diri dari pengaruh totokan itu! Coba!" tantang Baraka makin memanaskan hati Ekayana.Saat itu, darah Ekayana benar-benar mendidih. Tapi karena tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa menggeram penuh kejengkelan. "Tunggu! Jangan pergi ke mana pun kalian! Aku akan datang kembali menemui kalian di sini!" setelah berkata begitu, Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari lari, tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas pundak kanannya. Baraka menertawakan dan Kirana pun cekikikan geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu.Mereka tak tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari meninggalkan tempat, "Nini Pasung Jagat pasti sedang memburuku! Kalau aku dalam keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti dengan mudah membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus melarikan diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu at
Banyak yang dibicarakan oleh Kirana dan Tabib Cawan Maut. Karena asyiknya mereka bicara, Baraka keluar menikmati pemandangan dan udara malam, karena saat itu rembulan muncul separo bagian di balik awan bermega putih perak. Memandang malam, menikmati sunyi, merupakan sesuatu yang berarti sekali bagi jiwa Pendekar Kera Sakti itu. Setidaknya ia memperoleh sebentuk ketentraman jiwa yang begitu menyegarkan.Sesaat kemudian, Jongos Daki muncul dan mendekati Baraka yang duduk di pelataran dekat pagar tebing samping. Baraka duduk di sebuah bangku dari kayu gelondongan, hanya dikemas bagian atasnya supaya enak dipakai duduk. Jongos Daki membawa kan empat potong jagung rebus yang konon diambilnya dari ladang petani yang sudah kenal baik dengannya, beberapa waktu yang lalu.Di bangku itu, mereka duduk menghadap ke tebing tinggi dan laut yang menggelora. Suara debur ombaknya terdengar jelas dari tempat mereka berada. Tanpa sadar percakapan mereka sampai pada Kirana."Dia ga
Kembali Baraka tersentak kaget begitu Jongos Daki menyebutkan nama Ki Padmanaba. Cepat-cepat Pendekar Kera Sakti bertanya kepada Jongos Daki, "Apakah Paman banyak mengetahui tentang Ki Padmanaba"'"Hmmm.. yah, sedikit banyak tahulah! Dulu aku pernah mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia mengangkat murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak tahan melihat tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya sendiri itu.""Hmmm...!" Baraka manggut-manggut."Kakek dan cucunya sangat bertolak belakang sifatnya. Ekayana itu sombong dan berjiwa kejam. Kakeknya kebalikannya dan...""Tunggu, Paman!" kali ini Baraka baru memotong pembicaraan karena dirasakan ada yang perlu ditanyakan sebelum percakapan menginjak ke masalah lain."Apakah Paman tahu, bahwa Ki Padmanaba mempunyai sebuah pusaka yang sangat dirahasiakan?""Hmmm... ya, memang dia punya! Dia pernah bercerita padaku tentang pusaka tersebut. Tapi tak pernah ditunjukkannya kepadaku
Setelah dijelaskan lebih rinci lagi maka meledaklah tawa Logayo bersama yang lainnya. Rupanya Logayo salah duga dan menyangka mau dibabat pedang oleh Ekayana, padahal Ekayana mau memberi laporan dan meminta tolong tentang tangannya yang kaku itu. Andai Ekayana datangnya tidak dari belakang Logayo dan menyapanya tidak dari jarak dua langkah di belakang Logayo, tentunya Logayo tak akan berpikiran buruk. Peristiwa salah paham itu sungguh menggelikan bagi mereka, tapi memalukan bagi Ekayana.Untuk menghibur hati Ekayana, Logayo membuat pesta kecil-kecilan dengan beberapa guci arak yang paling bagus dan berharga mahal. Apalagi setelah Brajawisnu dan beberapa orang membuktikan mayat Sedayu terkapar di samping Pranawijaya, mereka semakin yakin dan mengelu-elukan Ekayana, memuji dan menyanjung-nyanjung Ekayana.Bahkan Logayo berkata, "Tak ada lagi yang perlu dicemaskan oleh kita sekarang ini! Dua orang itu sudah mati. Sedayu dan Pranawijaya! Dan kalau bukan karena kehebatan Ek
BARAKA merencanakan untuk mencari pusaka itu di Cemara Tunggal. Ia akan mendesak Kirana agar mau mengantarkan ke Bukit Canang. Tetapi, ketika bangun di pagi hari, ternyata Kirana sudah tidak ada di tempat tidurnya. Sementara itu, Tabib Cawan Maut dan Jongos Daki belum bangun. Baraka bangun lebih dulu karena tiba tiba hatinya tersentak kaget tanpa tahu apa sebabnya."Kirana hilang! Pasti dia mau menghindar dari janjinya! Aku sudah tolong dia, tapi dia tidak mau tunjukkan di mana Bukit Canang dan Cemara Tunggal itu! Kurang ajar!"Baraka menggaruk kepalanya sebentar, kemudian bergegas pergi walaupun hari masih terlalu pagi. Ia tak sempat membangunkan Jongos Daki atau Tabib Cawan Maut karena tergesa-gesa. Hatinya diliputi rasa jengkel dan ia berharap bisa mengejar Kirana. Karena tergesa-gesa itulah maka Pendekar Kera Sakti pun lupa menutup pintu kembali. Namun, baru saja ia melangkah tiga tindak dari depan pintu, ia melihat Kirana berjalan santai dengan kedua tangan berada
"Menurutmu, apa yang dicari gurumu di petilasan tempat tinggalnya dulu itu!""Sudah kubilang, aku tak tahu!" sentak Kirana. "Tapi sebelum guruku pergi, sudah pamit kepada salah satu temanku bahwa dia mau ke Cemara Tunggal. Lalu aku menyusulnya kemari dan menemukan Guru sudah terkapar di batu sebelah sana itu!" sambil Kirana menuding ke arah dua batu yang berjejeran, masing-masing tingginya sebatas dada manusia dewasa."Mari kita ke sana!" ajak Pendekar Kera Sakti dan hal itu semakin membuat Kirana terheran-heran.Sampai di batu dua jajar itu pun, Kirana bertambah kerutkan dahi melihat Baraka berusaha mendorong batu itu dengan tenaga biasa. Baraka juga memandangi sekeliling batu tersebut. Kirana tidak tahu bahwa Baraka menduga ada lubang atau ruangan di bawah tanah yang pintunya melalui tempat sekitar batu tersebut. Baraka menyangka cara membuka pintu ruangan itu dengan menggeser batu tersebut. Tapi ternyata, Baraka segera menghapus dugaan itu. Karena menurutnya,
Baraka ikut memandang jauh. Dan ternyata benar, ada seseorang yang berlari menuju ke arah Cemara Tunggal itu. Orang tersebut mengenakan pakaian abu-abu dan berbadan sedikit pendek dan agak gemuk. Semakin dekat semakin jelas bentuk wajahnya, "Paman Jongos Daki!" gumam Kirana."Benar! Kelihatannya memang dia. Tapi mengapa dia menyusul kita kemari? Pasti ada sesuatu yang penting."Mereka berdua bergegas menyongsong kedatangan Jongos Daki yang tampak berwajah tegang. Kirana yang menyapa lebih dulu dengan cemas, karena firasatnya mengatakan ada yang tak beres telah terjadi di kediaman Tabib Cawan Maut itu."Ada apa, Paman!"Jongos Daki menjawab dengan napas terengah-engah. Agaknya ia melarikan diri terus-menerus tanpa berhenti dari bukit karang itu sampai ke Bukit Canang."Tabib... tewas!""Hahh...!" Baraka dan Kirana sama-sama terkejut dan terbelalak. "Apa yang terjadi sebenarnya, Paman!""Orang... orang-orang Kobra Hitam menyerang. Tabib
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
Pendekar Kera Sakti manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Kera Sakti."Ada maling!"Baraka berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?""Tidak.""Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "A
Tawa pun terdengar pelan. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Baraka?""Bukan.""Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.Baraka tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek.""Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Baraka pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya."Baraka....""Ada apa?""Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Baraka!” Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil meng
"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!""Setan Bangkai.""Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah! Masih ingat!""Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas."Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa."Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula!""Ya!""Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!""Silahkan!""Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!""Katakan.""Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu! Mana Logayo!""Sudah
Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun."Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya