Zhou dan Shi sampai di perempatan jalan. Begitu ramai jalan itu dipenuhi orang-orang yang membawa buntalan, juga kotak-kotak besar. Antrian gerobak terjadi karena tidak bisa jalan.
Zhou mencari tahu sumber kemacetan. Ternyata gerobak terdepan yang ditarik kerbau, ban-nya rusak. Puluhan pemuda berusaha mendorong gerobak ke tepi jalan.
"Ayo Kkita bantu mereka!" ajak Zhou dengan penuh semangat, tanpa memperhitungkan siapa mereka. Yang dia tahu orang butuh bantuan harus ditolong.
Kehadiran bocah itu tidak banyak membantu, akan tetapi Shi yang lebih dewasa mampu memberi sedikit kekuatan untuk menyingkirkan gerobak.
"Haah, dasar lemah. Minggir!" Seorang pemuda kekar datang. Ototnya sebesar batu sungai. Walau wajah belum berjenggot, dia berani menarik mundur orang-orang yang lebih tua.
"Hei, anak muda, bisa apa kamu, hah?" tanya seorang tua.
"Bisa begini!" Dia mengangkat gerobak seorang diri ke tepi jalan.
Aksinya menyita perhatian. S
"Aku beli lima!" Sejenak Zhou merasa di atas angin ketika banyak orang memandangnya sambil bertepuk tangan. Gaya berjalan Zhou seperti juragan tanah membawa bungkus bakpao. "Minggir!" teriak seorang pasukan berkuda, membuka jalan untuk beberapa penunggang kuda lain. Zhou yang kurang sigap terlambat menyingkir dari jalan hingga dia terjungkal ke belakang. Kantung berisi bakpao jatuh ke comberan, dua bakpao terinjak injak tapal kuda. Belum sempat dia memungut yang tersisa, beberapa tangan merebut bakpao, hingga Zhou hanya bisa mengambil dua bakpao. Satu masih bagus satu sudah kotor terjatuh. "Manusia biadab! Merebut bakpao dari anak kecil!" "Yang sudah di tanah, bebas diambil orang!" Begitu jawab pemungut bakpao, melahap habis makanan itu. Andai Zhou punya ilmu silat pasti sudah menghajar mereka semua. "Heh, bocah," ucap penjual bakpao, menaruh satu bakpao ke kepala Zhou. "Anggap bonus, sudah sana, kembali ke kelo
Ujung tajam pedang Qiao mengarah ke tangga yang gelap. Sebagai yang lebih tua, dia ingin melindungi Zhou. "Siapa di sana, keluar atau kuhajar!" Suara langkah terdengar mendekat. Sosok Shi menuruni tangga sambil membawa mangkuk berisi nasi. Suaranya terbata-bata ketika menjawab. "A-ahm, maaf. Apa nona melihat adikku?" Zhou langsung melepas gandengan Qiao, meluncur menarik tangan Kakaknya mendekat. "Kak, tadi aku diberi makan sama Kak Dendeng. Enak sekali loh, mantaunya. Tadi aku mau minta lagi--" "Kamu meminta makanan pada Nona ini?" Shi menepuk kasar kepala Zhou. "Siapa yang mengajarimu mengemis?" Qiao menangkap tangan Shi yang nakal, menahan supaya tidak menganiaya
Bagai semut yang mengerumuni tumpahan kuah sop, para warga berkumpul memadati satu sudut pasar. Kebanyakan dari mereka lelaki, tua muda, campur aduk dan berteriak histeris sambil membawa koin-koin perunggu yang diikat menjadi satu. Dia melihat sosok pembawa ayam masuk ke sana, membuatnya mendatangi kerumunan. Badan Bian kecil jadi bisa dengan mudah merangsak maju. Pagar bambu mengelilingi lahan kecil. Di sana terdapat dua ayam jago yang saling menyerang. Keji, sungguh biadab, para manusia memaksa mereka untuk saling melukai. Untung tidak sampai terbunuh. Ayam yang menjatuhkan tujuh bulu, kalah. Bulu besar, bukan yang lembut, kecil dan mudah tertiup angin. Lucu juga melihat ayam yang kalah, seperti bisa bicara, aku menyerah aku menyerah, sambil melangkah menjauh dan kepalanya maju mundur, menghindari serangan lawan. “pemenangnya, si hitam!” teriak seorang pria yang membawa bendera. Dua pemuda mengambil ayamnya. Pemuda pemilik ayam yang kalah marah-mara
Keesokan hari giliran Zhou yang menguasai badan. Dia bangun sebelum Kakak bangun, bahkan langit masih belum terang. Ini kebiasaannya suka bangun pagi untuk buang air kecil di semak-semak. Setelah puas dia hendak kembali ke penginapan.Belum juga sampai ke sana, seseorang memanggil. “Hei Nak.”Zhou tidak tahu siapa yang dipanggil Nak, dia memandang ke sekeliling, hanya ada beberapa lelaki yang membawa cangkul menuju sawah dan seorang gadis sibuk menyapu pelataran penginapan.“Nak, kamu yang kemarin bermain suling,” panggil seorang lelaki yang duduk di dalam warung makan di depan penginapan.Zhou menunjuk wajah bloon-nya sendiri. Setelah menerima anggukan dari pria itu, dia mendekatinya. “Ada perlu apa, Paman?”Pria tampan berbadan tegap menarik Zhou duduk di kursi kosong di sebelahnya. “Kamu jago sekali bermain suling, padahal umurmu masih sangat muda. Paman kagum Nak. Siapa namamu?”Zhou
Sementara itu di Luoyang. Cao Cao belum tenang. Semenjak Bian menghilang, dia tidak bisa bertemu dengan Ibu Suri. Semua terjadi karena Cao Cao gagal melindungi Bian. Tiada Sang Ibu Suri ketahui jika anaknya selamat. Parahnya, beliau mengira Cao Cao membunuh Bian. Dengan begitu Xian pun membenci Cao Cao, sebuah benci kesumat yang bagai nyala api yang susah padam, sepertinya hanya bisa padam kala kiamat tiba. Sekarang seperti malam sebelumnya, Cao Cao duduk di gazebo taman rumah, meneguk arak sambil memandang langit bertabur bintang. “Aku mengangkat minuman dan menyanyikan sebuah lagu, karena siapa yang tahu apakah hidup seseorang pendek atau panjang? Hidup manusia seperti embun pagi, hari-hari yang lalu banyak hari yang akan datang belum tentu berjumlah sama. Kesedihan hatiku hatiku berasal dari kepedulian yang tidak bisa aku lupakan. Siapa yang bisa mengungkap kesedihanku ini, aku hanya mengenal satu orang, Dewa Arak!” Dia mendongak, menuang a
Beberapa hari berlalu semenjak kematian Ibu Suri, akan tetapi kesedihan di hati Cao Cao belum mereda. Tentu dia sudah punya Istri cantik dan beberapa anak lelaki di rumah, tetapi Ibu Suri berbeda. Cintanya pada beliau seluas Tarim Basin. Salah satu penyakit Cao Cao adalah pencinta wanita cantik. Hari ini Cao Cao mendapat tugas dari Dong Zhuo untuk mendatangi rumah menteri Wang Yun. Seorang Menteri tua yang rumornya mengadakan pesta ulang tahun tanpa mengundang Dong Zhuo. Perdana Menteri curiga jika Wang Yun merencanakan sesuatu. Untuk itulah Cao Cao ditugaskan mencari tahu. Dia tiba sendiri di lokasi. Dua daun pintu gerbang megah berdiri gagah, tiada satu pun manusia. Tiada lampion merah, tiada kereta kuda tamu, hanya suara jangkrik bersahutan. Saking dinginnya
"Namaku Diao Chan, putri angkat Tuan Wang Yun." Dia sedikit melipat kaki ke depan dengan anggun ketika memperkenalkan diri, semakin membuat Cao Cao kagum. "Jenderal Cao Cao, Ayah meminta Tuan menunggu di Paviliun belakang."Cao Cao tertawa kecil mendengar permintaan itu. "Cepat sekali arah angin berhembus berganti?""Tuan," suara Diao Chan terdengar lembut. "Ayah pasti menganggapmu sebagai tamu istimewa.""Dari seekor anjing, menjadi tamu kehormatan. Baiklah, baiklah, silakan tunjukkan tempatnya. Asal ada arak, aku akan menunggu sampai pagi."Sebenarnya Cao Cao masih dongkol lantaran diusir, tetapi siapa yang bisa menolak ajakan dari gadis secantik Diao Chan?Gadis itu benar-benar membawa Cao Cao ke paviliun paling bela
Sementara itu, Nu An yang kembali ke desanya akhirnya sampai juga ke tujuan. Cukup lama dia berkelana karena banyaknya pemberontakan yang dia temui di jalan.Dia terpaksa memutar mengambil jalan lain yang sangat jauh. Di perjalanan pun dia melihat banyaknya pengungsi. Tak jarang dia harus kabur ketika para bandit menyergap rombongan pengungsi di jalan. Tiada pasukan kekaisaran yang menolong. Sungguh keadaan yang tidak kondusif untuk para pengungsi.Langkahnya melambat melihat desa yang dulu indah ditumbuhi banyak bunga dan penuh tawa, sekarang tinggal puing-puing.Kiri dan kanan, rumah-rumah kayu hanya tinggal reruntuhan belaka, sawah yang dulu subur sekarang ditumbuhi ilalang tinggi. Hanya sedikit penduduk di sana yang berusaha bercocok tanam di sawah. Tiada kerbau yang membantu petani dalam menggarap sawah.
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun