Hari selasa kemarin. Hari dimana Indra dan Caca bertemu tatap muka sebelum Caca menghilang bagai ditelan bumi.Hari selasa itu, Caca menyampaikan kisi-kisi ujian akhir semester untuk mata kuliahnya. Sepanjang kelas, Caca hanya mengulangi materi yang diajarkan sepanjang semester, atau dalam hal ini, Caca hanya mengulangi hasil presentasi tiap kelompok sepanjang semester. Indra memandangi Caca sepanjang kelas. Dan akibat hal itu pulalah, semua yang keluar dari mulut Caca gagal masuk ke otaknya.Sementara itu, Caca beberapa kali melihat ke arahnya. Senyuman tipis yang hampir tak tampak bagi mata orang awam tersungging di bibir Caca. Senyuman yang hanya untuk Indra. Selasa itu, Indra tidak bertegur sapa dengan Caca. Dan memang seperti itulah biasanya. Caca setelah kelas akan langsung meninggalkan kelas tanpa menoleh ke belakang untuk mencari Indra. Dan Indra juga tidak akan mengejar Caca.Kepala Indra menggeleng. Dia yakin tidak ada yang aneh selasa kemarin. Indra tidak merasakan keanehan
Satrio duduk diam menunggu jawaban dari Caca yang juga terdiam duduk di depannya. Pertanyaan krusial yang akan menunjukkan arah hubungan mereka berdua. Pandangan Satrio ke bawah, ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Seharusnya, kalau Caca benar-benar mencintaiku dan menginginkanku, jawaban itu akan meluncur mulus dari mulutnya tanpa pikir panjang.” kata Satrio dalam hati.Satrio tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan sejak pertanyaan itu dilempar. Yang dia rasakan hanyalah waktu yang berjalan sangat lambat.Saat itulah, ponsel Satrio tiba-tiba menyala, berdering dengan menampilkan nama Irene di layarnya. Irene meneleponnya.“Dokter ada dimana? Bisa ke rumah sakit sekarang?” Suara Irene terdengar panik.“Saya ada di luar. Ada apa?” jawab Satrio sambil berdiri. Jauh dari lubuk hatinya, Satrio merasakan ada hal yang salah dengan telepon Irene.“Ada pasien lelaki muda kecelakaan dan jantungnya tidak berdetak dengan normal dan pasien mengalami syok yang hebat dan pendaraha
Tak sampai satu jam, Satrio sudah berada di ruangan direktur rumah sakit. Di ruangan itu sudah menunggu Pak Bondan dan seorang staff legal rumah sakit yang duduk di sofa.“Kita tidak perlu berbasa-basi ya Mas Satrio, langsung saja ke pokok permasalahan.” kata Pak Bondan sesaat setelah Satrio duduk di sofa.“Ya Pak. Bagiamana ceritanya?”“Orang tua dari korban tidak terima dengan kenyataan bahwa anak mereka meninggal di rumah sakit ini. Mereka menuntut agar rumah sakit bertanggung jawab atas kematian anak mereka.”“Bertanggung jawab bagaimana? Bukankah penyebabnya adalah kecelakaan?”“Mereka mau ada seseorang yang disalahkan atas kejadian ini. Mereka menuntut tanggung jawab.”“Terus bagaimana Pak? Apa yang bisa saya lakukan?”“Mas Satrio bisa bersaksi bahwa dokter Irene bertindak di luar tugas pokok dan fungsi dan sekaligus melanggar standar operasional prosedur.”Satrio tidak paham, “Bagaimana bisa dokter Irene dibawa-bawa ke masalah ini Pak?”“Semalam, dokter Irene mendapat tugas jag
Jumat pagi, Izzy bangun dengan semangat membara di dalam dadanya. Dengan hati yang berbunga-bunga, dia menuju dapur dan mulai menari-nari di dapur untuk memasak sarapan. Izzy sudah berkata pada para asisten rumah tangganya kemarin, bahwa hari ini dialah yang akan menyiapkan sarapan untuk Papa dan Mamanya.Setelah pertemuan dengan Ibuk Indra, Izzy mempelajari dan mendapatkan sesuatu yang penting. Izzy menemukan titik lemah Indra pada Ibuknya. Titah Ibuk Indra bagai sabda seorang nabi yang harus diikuti.Maka Izzy harus terus menekan titik lemah tersebut agar Indra semakin dekat dengan dirinya. Izzy yakin, kalau tidak bisa mendapatkan Indra melalui Indra sendiri, maka dia harus mendapatkan Ibuknya agar mendapatkan Indra.Namun seperti biasa, Papa Mamanya terlalu sibuk untuk sarapan bersama Izzy. Bukan masalah, kata hati kecil Izzy. Tidak ada yang bisa membuat hatinya kacau sekarang.Maka, jumat siang itu Izzy berangkat ke rumah Indra. Izzy berniat membuat janji dengan Ibuk Indra untuk m
Tentu saja, dua perempuan itu takjub dan kaget ketika memasuki ruangan VVIP.“Bagus semua berjalan sesuai dengan rencana.” Pekik gembira hati Izzy.Izzy juga sadar bahwa tindakannya bisa saja membuat Indra murka. Tapi, dia tidak peduli. Izzy sudah menyiapkan strategi juga.Benar, Indra bertingkah sesuai dengan perkiraannya. Dengan berakting marah, Izzy keluar dari ruangan Ibuk ketika Indra marah-marah. Semua berjalan sesuai rencananya.Izzy sama sekali tidak merasa sakit hati atas perlakuan Indra. Indra dan keluarga Indra harus tahu betapa besarnya cinta Izzy pada Indra.Terlebih lagi, hari jumat itu, Bu Syasmala tidak terlihat batang hidungnya di ruangan Ibuk.Di dalam mobilnya, Izzy mengangkat tangannya ke atas, meluapkan kemenangannya hari ini.Setelah menerima keangkuhan dan tinggi hatinya Indra di hari Jumat, Izzy tidak berniat memperpanjang kemarahannya di hari Sabtu. Tindakan Izzy yang mengacuhkan Indra pada Jumat sore sudah cukup untuk membuat keluarga Indra tahu bahwa Izzy ti
Sehabis Isya, Indra sudah siap pergi ke Neal’s dengan dandanan yang ganteng. Bahkan sore tadi, Indra sempat mampir ke tukang potong rambut untuk merapikan rambutnya. Dia tidak mau tampil di depan Caca ala kadarnya. Caca harus terpukau oleh penampilannya.Indra memutuskan untuk memakai kaos warna putih dengan blazer warna hitam dan jeans hitam.“Perpaduan yang sempurna” pikir Indra.Hatinya berdendang. Senyuman di bibirnya tidak pernah hilang sejak tadi. Indra sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Caca. Rasa rindu di dalam dadanya menggelegak bagai lahar yang siap dimuntahkan oleh gunung berapi.Hanya ada satu yang ada di pikiran Indra saat ini. Caca pasti mau memberikan jawaban atas pertanyaan Indra tempo hari. Indra yakin, meskipun hanya delapan puluh persen, Caca akan menerima cintanya.Sedangkan untuk dua puluh persennya, Indra penasaran atas menghilangnya Caca selama tiga hari terakhir. Indra mencoba untuk berpikir positif. Menghilangnya Caca selama tiga hari adalah untuk memikir
Untuk sesaat, Indra tidak mempercayai telinganya atas apa yang dia dengar. Seolah-olah waktu berhenti saat itu juga. Matanya melotot. Pikirannya buntu. Rohnya lepas dari raganya. Kepalanya menggeleng dengan cepat.“Apa? Kamu bilang apa?” tanya Indra dengan suara lirih.“Aku tidak bisa menerima cintamu. Kita tidak bisa bersatu.”Sekali lagi, kepala Indra menggeleng dengan cepat.“Tunggu sebentar, kamu sedang bercanda ‘kan?”Caca menggeleng, “Aku serius. Aku tidak sedang bercanda.”Indra tidak bisa berkata-kata. Tangannya menggaruk alisnya yang tiba-tiba terasa gatal. Indra tahu bahwa suasana Neal’s malam itu riuh rendah karena banyaknya pengunjung tiba-tiba sepi. Indra mundur, tubuhnya sekarang bersandar pada kursinya. Keringat mulai timbul di dahinya.“Tidak mungkin.” desis Indra lirih sembari menggoyangkan kepalanya tidak percaya.Perut Indra merasakan sensasi aneh dan berat. Dadanya terasa sesak, nafasnya tersengal pendek-pendek.“Kenapa?” tanya Indra dengan kepalanya tertunduk, pan
Kepala Indra berdenyut-denyut tak karuan. Rasa denyutan yang nyata di dahi dan diantara kedua matanya. Mungkin saja daging yang ada di dahi dan kedua mata Indra saat ini sedang berkerut-kerut dan bergerak-gerak karenanya.Matanya berkunang-kunang dan tidak dapat melihat dengan jelas. Hatinya sakit sekali. Seolah-olah hati itu sedang mengalami penyiksaan tak terperi. Sayatan luka memanjang yang diakibatkan oleh sebilah pisau yang tak terlalu tajam berhasil mengeluarkan darah dari hatinya.Perih.Tapi anehnya, hati Indra di saat yang sama juga terasa mengeras. Hati itu mengeras bagaikan karang yang kokoh tak terkikis meskipun terjamah dentuman ombak Samudra Pasifik selama berabad-abad.Hati yang keras namun perih terluka.Indra masih belum beranjak dari tempatnya duduk. Kakinya masih lemas tak berdaya. Tak sanggup rasanya kakinya itu untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya. Lutut itu serasa kehilangan tulangnya.Matanya masih memandangi kerumunan orang-orang dimana siluet seorang per
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja