"Gila kamu, Mas. Anak kamu lagi sekarat loh, bukannya memikirkan keselamatan Maura, malah masih memikirkan kepentingan kamu sendiri!" sungutku kesal, sambil menatap sinis wajah mantan suami.
"Memangnya golongan darah Maura apa, Lin?" Kami semua menoleh ke arah sumber suara mendengar suara berat Dafa."AB, Daf. Tapi darah aku gak cocok sama dia!" jawabku masih diselimuti rasa panik."Alhamdulillah kalau begitu. Kebetulan golongan darah aku AB juga. Aku siap mendonorkan darah aku tanpa syarat." Dafa melenggang masuk menemui perawat lalu segera melakukan pemeriksaan kesehatan.Tanpa terasa buliran-buliran air hangat mengalir begitu saja melewati pipi. Di saat mantan suami yang notabene ayah kandungnya Maura tidak perduli dengan keselamatan putri kami, Tuhan mengutus Dafa sebagai malaikat penyelamat yang rela melakukan apa saja demi keselamatan buah hatiku. Tidak salah ternyata memutuskan memilih dia sebagai calon pendamping hidup.Sambil men"Cie ... Yang lagi mikirin calon suaminya," ledeknya membuat pipi ini seketika bersemu merah juga menghangat."Kegeeran kamu, Daf!""Kan tadi kamu sendiri yang bilang kalau kamu lagi mikirin aku?""Sudah, ah. Aku mau ke ruangan Maura, mau lihat keadaan anakku dulu!""Aku ikut.""Tapi badan kamu masih lemes loh?""Sudah mendingan kok. Sudah seger, apalagi lihat senyum kamu. Langsung fit lagi ni badan.""Dasar tukang gombal. Pasti di luaran sana juga banyak banget cewek yang sudah kamu gombalin ya, Daf?""Nggak, lah. Kalau aku raja gombal, pasti nggak menjomblo sampai bangkotan!"Aku tertawa mendengar jawabannya. Salah sendiri nggak mau mencari pendamping hidup. Masa iya lelaki seperti dia nggak ada perempuan yang mau melirik sama sekali?Berjalan bersisian menuju kamar Maura, Mas Aldo terus saja memperhatikan kami dengan mimik wajah yang sulit sekali bisa diartikan. Sedangkan Mama, seu
Mobil taksi yang dia tumpangi bergerak perlahan meninggalkan parkiran rumah sakit. Aku segera masuk sambil menggosok-gosok lengan yang terasa dingin karena dibelai oleh angin, kembali ke kamar Maura dan segera menghempaskan bobot di sofa yang tersedia."Ternyata Dafa orangnya baik juga ya, Lin?" ucap mama sambil tersenyum menatapku."Tapi slengean," jawabku."Bukan slengean menurut mama sih, mungkin pengen mencairkan suasana di depan mama saja, biar nggak terasa kaku. Dafa itu orang baik, mau berkorban untuk orang yang dia cintai.""Aku nggak nyangka Mas Alex juga bisa setega itu sama anaknya sendiri. Masa mau donorin darah saja syaratnya harus balikan sama aku? Ayah macam apa kalau begitu.""Dia pantas menjadi ayah sambungnya Maura!"Aku menoleh menatap mama. Sepertinya sudah ada lampu hijau dari dia, tinggal menunggu persetujuan dari Mas Aldo juga papa saja. Semoga saja tidak ada aral melintang yang menghalangi hubungan kami be
"Maaf, Tiara. Untuk soal itu aku nggak bisa. Kamu salah dan tetap harus dihukum," jawabku tanpa lepas dari wajahnya."Alina, aku mohon. Kamu sudah berhasil merebut kembali Mas Alex dari aku, sekarang tolong kasihani aku sedikit saja. Aku ini sudah sekarat, mau mati dan nggak punya siapa-siapa. Keluar juga tidak ada yang peduli. Hanya kamu harapkan aku satu-satunya, Alina." Dia terus menangkupkan tangan, menatap memelas dengan raut mengiba.Namun entahlah. Hati kecil ini tetap mengatakan kalau Tiara sedang berdusta. Tidak ada keyakinan sama sekali kepadanya, apalagi tersentuh untuk membantu melepas dia dari jeratan hukum."Sekali lagi aku minta maaf, Tiara. Aku tidak bisa menarik gugatan aku. Lagian, hukuman kamu itu tinggal beberapa pekan doang, kok. Semoga saja kamu bisa mengambil hikmah dari semua masalah yang menimpa kamu. Bisa berubah juga bertaubat." Melekuk senyum kepadanya."Wanita bodoh, sok tahu, sok alim, sok menasehati. Ngaca dong, kamu
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, mobil yang aku kemudikan menepi di depan rumah sakit tempat dimana Tiara dirawat, mengayunkan kaki lebar-lebar menuju kamar rawat inap putriku."Pagi, Bidadari," sapa Dafa yang tiba-tiba keluar dari balik tembok lorong, menyodorkan setangkai bunga mawar di tangan serta senyum sok manis yang dia kembangkan."Duh, Dafa. Kamu itu ngagetin aku tahu nggak?" Mengerucutkan bibir manja."Oh, sayangku kaget ya? Kasian ... Sini, Mas Dafa peluk." Dia merentangkan tangan."Nggak usah aneh-aneh. Tadi bunda nelepon, katanya beliau lagi di sini. Kirain kamu lagi di kamar Maura sama bunda?""Bunda ke sini?" "Iya! Ayo, buruan kita ke kamar!""Ish! Belum halal, Sayang.""Apaan, sih. Ke kamar Maura maksud aku. Otaknya ngeres banget sih kamu!"Dia menyeringai lalu segera mengikutiku ke kamar Maura.Mama dan tante Melinda menoleh secara bersamaan mendengar
"Tante Farhana, Mas Umar?" sapaku berusaha ramah walaupun sedikit merasa canggung kepada mereka."Kamu apa kabar, Alina?" Wanita dengan hijab panjang menjuntai itu mengulurkan tangan menyalami diriku.Duh, sampai lupa menjabat tangan tante Farhana."Alhamdulillah saya sehat, Tan. Bagaimana dengan keadaan tante dan Mas Umar?" tanyaku balik."Kami juga sehat, Lin. Maura bagaimana? Sudah mendingan?""Alhamdulillah sudah kelihatan lebih sehat. Mari, silakan masuk!""Iya!" Mama tersenyum melihat kedatangan tante Farhana, berjabat tangan lalu bercipika cipiki, mengenalkan ibunya Dafa yang memang baru pertama kali bertemu dengannya."Melinda, calon mertuanya Alina," ucap wanita ber-pasmina lilac itu seraya menyebutkan nama, juga mengatakan kalau diri ini calon menantunya.Air muka ibunda mas Umar mendadak berubah setelah berkenalan dengan tante Melinda, lalu dia menoleh ke arahku juga sang putra, akan tetapi
Hari ini, setelah lebih dari tiga hari dirawat di rumah sakit, dokter akhirnya memperbolehkan Maura pulang dan menjalani rawat jalan. Dafa sudah menunggu di parkiran, menjemput kami karena katanya tidak tega melihat aku terus menerus mengemudi sendiri. Ditambah lagi keadaan Maura belum sepenuhnya pulih dan dia selalu merengek dan menjadi agak sedikit cengeng."Mau langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu, Lin?" tanya Dafa sambil melirik dari kaca spion depan. Aku memang memilih duduk di kursi belakang karena Maura sedang tertidur dan menjadikan pahaku sebagai bantalnya."Langsung pulang saja, Daf. Aku udah capek!" jawabku."Hu'um, pinggang Mama juga sudah pegel," sambung Mama."Oke!""Omong-omong, kapan keluarga kamu datang ke rumah buat melamar Alina, Daf? Soalnya takut pas kebetulan jadwalnya papa pergi ke luar kota.""Insyaallah secepatnya, Mam. Bunda juga maunya saya cepet nikah. Katanya sudah terlalu t
Mengayunkan kaki menuju dapur, membuka lemari es, aku mengambil sirup rasa melon lalu menuangkannya ke dalam gelas, dicampur air putih serta es batu. Terlihat begitu menyegarkan.Ketika kembali ke ruang tengah, aku lihat Mas Aldo sedang duduk memangku Maura, bersenda gurau dengan gadis kecil itu, dan binar bahagia terpancar jelas di wajah garang kakakku itu.Dia bisa tersenyum dan tertawa lepas dengan Maura, tetapi kenapa tidak jika denganku? "Ini, Mas. Minumnya!" Meletakkan segelas sirup di atas meja."Hmm ...." Hanya itu jawabannya."Maura mau, Bunda," rengek anakku."Bunda buatkan dulu ya?" Mengusap lembut rambut panjangnya yang diikat rapi serta dipasang jepit bunga-bunga oleh mama, melekuk senyum menatap wajah anakku yang sudah semakin terlihat sehat."Barengan sama ayah Aldo saja. Maura nggak boleh terlalu banyak minum es, takut batuk. Apalagi Maura juga baru sembuh dari sakit. A
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu