Karina merasa jantungnya berdebar, pasti David telah memperhatikannya sejak tadi. Tandanya, David tersenyum senyum padanya. Dengan malu, Karina membalas senyuman itu sebelum segera memalingkan wajah, menepiskan rambutnya, dan bergumam sendirian. "Sejak kapan dia ada di sini, betapa malunya aku," keluhnya pelan. Kakek yang menyadari kegugupan Karina pun lalu menegurnya, "Karina, kenapa diam saja? Ayo bergabung dengan kakek dan juga David." Karina menoleh, tersenyum tipis, dan memberi alasan ingin mencuci muka dulu sebelum bergabung dengan mereka. Kakek Harmoko mengangguk, mengizinkan Karina untuk sejenak membersihkan wajahnya.Karina bergegas kembali ke kamar, menuju kamar mandi dan memandangi wajahnya di cermin. Sambil mencuci muka, ia menggumamkan kata kata cemas. "Pasti David telah melihat wajah kusam ku ini. Benar benar malu sekali, ceroboh. Mengapa tidak melihat hal sekitar saat menuruni anak tangga, dan sejak kapan David berada di sana?" Karina menepuk jidatnya, kemudian menggi
Laras sibuk mempersiapkan acara arisan di rumahnya; pesanan makanan enak sudah dipesan dan para undangan arisan akan segera datang. Namun, tanpa diduga Lidya muncul dengan tujuan menemui Adnan yang sebenarnya sedang berada di kantor. Melihat keramaian yang terjadi di rumah itu, Lidya bingung dan dengan lantang bertanya, "Bu, ada acara apa? Sepertinya kok ramai sekali, arisan ya?" "Iya arisan, ada apa? sini duduk." Bu Laras segera mengajak Lidya untuk duduk, penasaran dengan cerita yang akan dibagikan oleh calon mantunya itu. "Kamu bawa berita apa hari ini? Seru gak?" tanya Bu Laras dengan ekspresi penasaran. Lidya pun tersenyum kecil, lalu teringat alasan kedatangannya dan bersiap untuk menceritakan hal tersebut kepada Bu Laras. "Ibu, berita ini pasti akan membuat ibu penasaran," ujar Lidya dengan senyum kecil yang menggoda, sambil mengejek sedikit. Bu Laras tertawa kecil, Lidya tahu betul bagaimana menggoda bu Laras. Merasa ada yang menarik, Lidya bercerita tentang apa yang
Karina menatap jauh punggung Adnan yang semakin menjauh, hingga tiba tiba ponselnya berdering. Dia terkejut saat mendengar kabar dari sisi lain. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas pergi menuju rumah sakit. "Rumah Sakit Citra Mulya," perintah Karina pada sopirnya dengan nada tergesa gesa. Mobil Bentley hitam melaju dengan kecepatan di atas rata rata.Karina merasa ingin segera sampai ke rumah sakit secepatnya, kemudian Karina berkata, "tambahkan lagi kecepatannya, aku sudah terlambat," ucap Karina dengan nada panik. Sopir hanya menjawab, "Baik, nona muda," sambil menginjak pedal gas lebih dalam. Sayangnya, kemacetan jalan raya yang mengerikan menghadang perjalanan mereka. Karina, yang semakin tidak sabaran, akhirnya membuka pintu mobil, meskipun sang sopir berusaha mencegahnya. "Susul aku ke rumah sakit, aku akan menunggumu di sana," ujar Karina tegas, lalu berlari mencari ojek. Sopir hanya bisa mengangguk patuh, sementara Karina berhasil menemukan pangkalan ojek dan langsun
Siapa sangka kakek Harmoko bisa bangkit dari koma? Terbaring di atas ranjang rumah sakit, kakek Harmoko menatap kosong ke arah langit langit. Di sisi ranjangnya, David duduk dengan penuh perhatian, sedang mengaduk bubur di piring yang akan disuapkan kepada kakek. Gerakan lembut tangannya mencerminkan rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam. Sementara itu, Karina sibuk membersihkan barang barang kakek Harmoko yang akan dibawa pulang. David terkejut saat ponselnya mulai berbunyi. Dilihatnya layar ponsel yang kemudian ia alihkan pandangannya ke arah kakek Harmoko. Kakek Harmoko mengangguk pelan, mengizinkan David mengangkat telepon tersebut. Dengan hati berdebar, David menoleh ke arah Karina yang memberikan senyuman kecil dan penuh makna. Akhirnya, David pun melangkah keluar ruangan sambil mengangkat telepon. "Hallo, Ma," sahutnya lembut. David mengangkat telepon dari mamanya. "Iya, Ma. Sudah sampai di bandara ya?" ujarnya. "Oh, sopirnya di bengkel? Oke, nanti David kasih tahu kake
David melangkah ke dapur dan tak disangka ia bertemu kakek Harmoko yang tengah meneguk air putih sambil bersandar di meja. Pandangan kakek beralih pada David. "Di mana Karina?" tanya kakek Harmoko, mengangkat sebelah alisnya. "Karina sedang merasa tidak enak badan, Kek. Dia meminta ku mencari minyak kayu putih dan—" potongan kata David terhenti oleh tawa kecil kakek Harmoko. Kakek Harmoko mengibaskan tangannya, tersenyum pada David. "Minyak kayu putih tidak ada di atas meja, David. Yang ada di sini hanya nasi dan lauk-pauk saja." Wajah David bersemu merah, ia menggigit bibir bawahnya, kemudian berkata, "Begini, Kek... sebelum memberikan minyak kayu putih kepada Karina, saya ingin menyuguhkannya sarapan. Kasihan Karina, mungkin ia saat ini sedang lapar." Ucap David diakhiri dengan senyuman. Kakek Harmoko tersenyum puas, berdiri, lalu menepuk bahu David dengan penuh kebanggaan. "Sungguh suami yang bijaksana, penuh perhatian, dan kasih sayang," puji Kakek Harmoko sambil mengacungk
setelah beberapa bulan kemudian, Karina bangkit dengan tekad kuat untuk membuat perusahaan Adnan bangkrut. Setelah dipermalukan di depan umum waktu itu, amarahnya memuncak, dan dia tak ragu lagi untuk mencabut semua suntikan dana untuk perusahaan Limanto. Dengan tatapan tajam, Karina mengutus orang orang kepercayaannya, meminta pengembalian dana tersebut dari perusahaan Limanto. Karina sengaja bermain waktu hingga tiga tahun lamanya. Dalam hatinya, dia tahu Adnan dan Lidya akan bersenang-senang dulu, dan tidak menyangka Karina berani mengambil langkah ekstrim untuk membalas dendam. Karina akhirnya mengambil keputusan untuk mencabut semua dana yang telah disuntikkan oleh perusahaan Harmoko ke Limanto demi menghancurkan perusahaan Adnan. Tersenyum sinis, David mengamati istrinya itu dari kejauhan. "Ayo tunjukkan padanya bahwa kamu bukan Karina yang dulu, tapi cucu Harmoko dan istriku David, CEO Anderson!" ujar David tegas. Karina memalingkan wajahnya, menatap David dalam-dalam, lalu
Suara handphone yang tergeletak di atas meja tiba tiba berbunyi, menginterupsi keheningan pagi. Sinar matahari perlahan menyelinap masuk melalui celah celah gorden putih yang menutupi jendela kamar. Haru, yang masih setengah terjaga, menggeser tangan untuk meraih handphone yang bersemayam di sampingnya. Layar handphone menampilkan pukul 05.30 pagi. Dengan mata yang masih sayu, Haru membaca pemberitahuan dari aplikasi idolanya, yang mengajak para penggemar setia untuk bergabung dalam ajang penciptaan lagu. Rasa berdebar mulai mengepul dalam dadanya. Seakan tergopoh gopoh, Haru bangkit dan melirik ke lantai kamar yang berserakan berbagai draft lirik lagu yang belum sempurna. Tetapi, sepertinya Haru masih belum menemukan aransemen lagu yang paling merepresentasikan jiwanya. Tak putus asa, Haru menghabiskan dua hari penuh dengan terus mencari inspirasi. Kemudian terlintas di benak Haru, bunga anggrek yang tumbuh di musim salju. Melambangkan keteguhan hati untuk tetap mekar dan berkem
"Haru, yuk, kita pergi," ajak Jimin sambil tersenyum ramah, menunjukkan kedua lesung pipinya yang menggemaskan. "Mau kemana?" tanya Haru, alisnya terangkat penasaran. "Kemana aja yang penting kamu senang," sahut Jimin, matanya berbinar penuh semangat. "Duh, maaf, kak. Aku tak tahu tempat yang bagus di kota S ini," ungkap Haru sambil menggaruk garuk kepalanya, menunjukkan wajah bingung. Jimin mengerutkan kening sejenak, seolah memutar otak mencari ide. "Bagaimana kalau kita makan malam saja?" "Di mana?" Haru bertanya, wajahnya kembali ceria, penasaran. "Disekitar sini, nggak jauh kok," jawab Jimin sambil menunjuk ke arah depan. Haru menoleh ke arah yang ditunjuknya dan kembali menatap Jimin dengan penuh tanda tanya. "Kenapa? Apa kamu tidak mau pergi makan malam bersamaku?" tanyanya dengan suara sedikit gugup. "Tidak, Kak," jawab Haru segera, menggeleng cepat. "Lalu?" "Baiklah, kita pergi," ucap Haru, akhirnya pasrah. Jimin tersenyum lebar, lalu menawarkan, "Naik mobi