“A-apa?!”Pekikan kencang keluar begitu saja dari mulutnya.[“Kami baru saja ti-tiba di rumah sakit, Nyonya! Aku akan kirimkan nama rumah sakitnya! Ma-maafkan aku,” suara pria itu terdengar sedih. Juga seperti menahan sakit yang amat sangat.]“Bagaimana dengan Adrian?! Kenapa bukan dia yang menelponku? Kalian pergi kemana? Apa yang sebenarnya terjadi?” isaknya pilu tidak tahan lagi dengan berbagai macam pertanyaan memenuhi kepalanya. Namun Joseph hanya diam lalu mematikan panggilan itu. Membuat Clara semakin menangis kencang dengan kedua bahu yang terlihat berguncang. Bi Sari yang masih meneliti keadaan berusaha menenangkan istri Tuannya itu. “Tenang dulu, Nyonya. Maaf, ada masalah apa?” dia memberanikan diri untuk bertanya. Clara tergugu menatap wanita itu dengan nanar, “Me-mereka … kecelakaan, Bi!” Pak Bagas dan Bi Sari pun terkejut. Pantas saja majikan mereka begitu shock menerima telepon dari Joseph. “Nyonya, yang kuat. Sekarang sedang hamil, tidak boleh stress,” desahnya
Clara menggeliat pelan, mengerjap beberapa kali. Rasanya sangat berat untuk membuka kelopak mata yang masih membengkak itu. Bi Sari menatapnya dengan senyuman lebar. “Nyonya, sudah bangun?”Clara berusaha untuk duduk dengan susah payah karena posisinya yang tidur menyamping. Perasaannya merasa aneh karena bangun di kamar yang berbeda. Dia pun tersadar kalau sedang di rumah sakit. “Adrian!” dia pun menatap tubuh suaminya dengan wajah terkejut. Tangannya terulur mengelus kepala suaminya yang masih tertidur. Entah kapan dia bisa membuka matanya karena Clara ingin segera memberitahu soal anak mereka. ‘Aku mohon cepatlah sadar! Aku takut!’Lalu air matanya kembali keluar tanpa bisa dicegah. Melihat itu Bi Sari hanya bisa menghembuskan napas kasar. “Nyonya, duduk saja di sini. Ayo, sarapan dulu!” ucapnya lagi sambil menenteng semangkuk bubur hangat. Clara menggelengkan kepalanya dengan pelan. Tidak ingin meninggalkan Adrian sendirian. “Nyonya sekarang sedang hamil, jadi harus ba
Kinan yang sedang bersiap, kembali menatap layar ponselnya saat pesan masuk. (Ini nama rumah sakitnya dan nomor kamarnya ya, Kinan. Hati-hati bawa mobilnya!) “Hah? Dimana? Kenapa rumah sakit di Kota Biru? Ck! Jauhnyaaaa,” desahnya dengan bibir berdecak kesal. Dia tidak tahu kalau mereka dirawat di rumah sakit yang bukan dari kota itu. Tapi memang gadis itu tidak pernah terpikir kenapa dan curiga sama sekali karena mengerti kalau Adrian bisa pergi kemana saja saat bekerja. “Kalau begini aku tidak bisa mengajak Tyo ikut. Aku terpaksa pergi sendiri!” gumamnya yakin karena tidak mungkin menjemput adiknya dulu. “Pantas tadi Kak Clara bilang begitu. Aduh, aku harus cepat!”Kinan pun bergegas mengambil tasnya. Dia akan ngebut supaya cepat sampai di sana waktu masih sore nanti. Di Rumah Sakit… Cindy sedikit berlari dan membuka pintu kamar dengan buru-buru. “Clara?!” suaranya tercekat karena panik. “Aku di sini, Ma! Ayo, duduk dulu, Ma.”Clara menepuk sofa di sebelahnya. Wanita itu
Mata gadis itu langsung terbelalak mendengar pengakuan Joseph. Adalah hal yang paling dia inginkan dari pria itu dengan memiliki perasaan yang sama sepertinya. Setidaknya dulu, saat semua terasa baik-baik saja baginya. “Oh, ya? Aku tidak peduli!” ucapnya ketus ingin melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Meskipun sedang sakit, nyatanya tenaga Joseph lebih besar dari Kinan dan masih memberikan cekalan erat. “Aku serius, Kinan!” ujarnya penuh penekanan. “Bohong! Aku tidak akan percaya apapun lagi dari mulutmu itu!” kali ini tatapan tajam menusuk dia berikan ke Joseph. Matanya yang sudah berkabut amarah tidak bisa lagi menilai apa pria itu serius atau sedang mempermainkannya, supaya dia memaafkan perbuatannya. Joseph pikir setelah mengungkapkan isi hatinya, keadaan bisa membaik dan Kinan bisa melunak. Tapi ternyata kali ini bukanlah waktu yang tepat. “Baiklah. Aku hanya ingin mengatakan itu dan kalaupun aku mati setidaknya aku sudah bilang dengan orangnya langsung, jadi t
Besok paginya… Pak Bagas sudah membeli sarapan untuk mereka dan akan menemani Joseph di kamar sebelah. Sementara itu sekarang Bi Sari menyiapkan semua makanan di atas meja kaca. “Nyonya, Non Kinan, ayo sarapan dulu. Nanti keburu dingin!” panggilnya sedikit keras. Clara menoleh dan tersenyum karena baru saja selesai mengelap tubuh Adrian. Kinan yang tidak sabar menepuk perutnya karena sudah lapar. “Yuhuuu! Mari makan!” ucapnya bersemangat. Bi Sari hanya menggelengkan kepala dan tersenyum geli melihat tingkah gadis itu. Selesai sarapan, Kinan pun mandi dan berganti pakaian yang lebih santai. Untung dia sempat membawa baju karena tahu kalau akhirnya akan menginap. Pintu kamar terbuka dan nampaklah Baron dan Cindy. “Papa!” Clara langsung berdiri dan memeluk Papanya. “Clara kangen, Pa! Huaaa!” Tangisnya langsung pecah. Dia tidak peduli orang lain melihatnya seperti apa
Hampir saja Kinan menjatuhkan sendok di tangannya karena terkejut. Sementara Joseph masih diam dan tetap bersikap biasa saja dengan wajah datarnya itu. “Ma-mama?! Sejak kapan sampai?” Kinan dengan susah payah menelan ludahnya. Wanita itu berjalan cepat dan menarik tubuh Kinan untuk berdiri. Tangannya menunjuk ke arah Joseph. “Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu menyuapi dia? Memangnya dia tidak bisa makan sendiri?!” Tyas berkata ketus dengan mata mendelik tajam, bergantian menatap putrinya dan juga Joseph. Kinan pun dengan cepat buru-buru menjelaskan. “Tangan Kak Jo sakit, Ma. Pak Bagas sedang pergi, tadi aku kasihan karena melihatnya susah makan jadi aku hanya membantunya,” dia mencoba untuk tidak gugup. Dia sangat berharap Mamanya tidak salah paham. Tyas pun mau tidak mau menerima alasan putrinya. “Ya, sudah. Ikut mama ke sebelah! Dan kamu Joseph, tahu diri sedikit jadi jangan manja!” “Mama!” protes Kinan. “Baik, Nyonya. Terima kasih banyak Nona!” Joseph menjawab
Semua orang terkejut dengan ucapan Sandy barusan. Berbagai pertanyaan muncul di benak mereka, terutama Clara. “Paman, mohon bersabar. Kita bicarakan hal ini baik-baik,” Clara menyela dengan berani untuk mencegah keributan. Tentu Clara tidak bisa diam saja melihat mereka seperti itu di saat Adrian masih belum sadar. Namun ia juga sebenarnya ingin tahu lebih lanjut soal ucapan Sandy barusan. Clara yang menikah dengan Adrian karena keadaan terpaksa, semakin tertarik untuk mengetahui kehidupan masa lalunya.Dia jadi tambah penasaran masalah apa yang dihadapi Adrian sehingga terdampar di kota mereka dan berakhir menjadi suaminya. Kinan menatap Papanya dan Joseph bergantian. Tercetak jelas tanda tanya di wajahnya untuk mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi, tapi gadis itu tidak mampu untuk bicara. Lidahnya kelu, tenggorokannya seperti tercekat karena takut Papanya tambah murka. Clara dan Cindy saling pandang. Mereka semakin tertarik untuk mendengarkan. Apalagi dulu Adrian dat
Sosok pria paruh baya yang mengamuk itu adalah Sandy. Siapa lagi orang yang tidak senang akan kesuksesan Adrian, kalau bukan dirinya. Dulu ia selalu berusaha menyembunyikannya, tapi sekarang sudah tidak bisa ditahannya lagi. Apalagi tadi semenjak Joseph mulai berani menjawab ucapannya. “Dasar brengsek! Lihat saja kau! Aku akan membuat perhitungan denganmu!”Pria itu tidak menyangka kalau Asisten keponakannya bisa bertahan selama ini meskipun tanpa Bosnya. Dia telah salah menilai mereka.Lalu Sandy mengambil ponselnya dengan cepat untuk menghubungi seseorang yang juga sudah lama membuatnya kesal. “Halo! Dari mana saja kau? Apa kau sekarang hanya bersantai-santai saja?!” bentak pria itu langsung dengan napas memburu. [“Sabar dulu, Bos. Ada apa? Aku juga sibuk bekerja, bukan sedang main!”]Orang yang menerima telepon dari Sandy adalah Bastian. Pria yang juga ikut bertanggung jawab atas menghilangnya Adria
Adrian menatap lekat lembaran foto di tangannya secara bergantian.Sorot matanya yang tajam meneliti setiap detail petunjuk yang ada.Raut wajahnya penuh tanda tanya. “Siapa pria ini, Jo? Lalu apa yang dia lakukan dengan Pamanku?” Joseph pun duduk dan terlihat antusias sekali.“Aku yakin pria ini adalah orang penting sampai mereka harus bertemu di tempat tersembunyi, Tuan!” ungkapnya bersemangat.Kening Adrian berkerut mendengar itu. Masih tetap tidak puas dengan penjelasan Asistennya.“Tapi, kenapa kau memberikan foto ini padaku? Memangnya apa yang menarik dari dia?” ucapnya kesal dan melempar asal ke meja.Dia sudah pusing dengan masalah perusahaan dan sekarang harus mengurusi orang asing pula!“Nah itu dia, Tuan! Apa Tuan tidak penasaran siapa dia sebenarnya? Tapi, tenang saja karena aku sudah mencari tahu siapa pria itu!” ucap Joseph dengan senyuman misterius.Dia pun membuka Tab miliknya dan mendekatkan lay
Pria paruh baya itu memberikan tatapan menusuk.Sementara pemuda lajang di seberang sana tampak duduk dengan gelisah, susah payah menyembunyikan raut wajah kesal karena kembali mendengar kata-kata yang sangat ia benci.‘Huh! Lagi-lagi cuma bisa menyalahkanku!’ hanya berani menggerutu dalam hati.Tangan kanannya mengambil gelas whisky, menghabiskan sisa minuman itu hingga tandas dan meletakkannya kembali ke atas meja kaca.Butuh sesuatu yang menantang untuk berbicara dengan pria itu.“Aku sudah mengatur semuanya, Bos! Dia gadis yang bodoh. Bahkan tidak memberitahuku kalau si cecunguk itu punya rekaman videonya!” jelasnya berkelit.Yup!Sandy dan Bastian bertemu diam-diam hari ini.Tentu untuk membahas situasi yang makin rumit karena rencana pemuda itu yang hanya ampuh di awal dan menguap begitu saja setelah Adrian berhasil memutar balikkan keadaan.Sandy menyenderkan punggungnya ke sofa.Senyuman miring pun terbit di sudut bibirnya, “Hahaha! Kalian berdua itu sama-sama bodoh! Kau itu s
“A-apa? Ti-tidak mungkin!” ucapnya dengan bibir bergetar. “Kalian pasti salah orang!”[“Tidak, Pak. Kami sudah memeriksa di dalam selnya dan memastikan informasi ini dengan dokter terkait,” jelasnya lagi.]Tangan Bryan lemas dan ponselnya pun jatuh ke lantai.Pria di seberang sana masih bicara, tetapi pria paruh baya itu sudah tidak peduli.“Ti-tidak! Putraku tidak mungkin mati! Ronald … tidak mungkin! Tidaakkkkk!!!”Suaranya menggema di ruangan kerjanya.“Tidak mungkin! Hu-hu-huaaaaa!” Tangis pria itu akhirnya pecah.Kedua bahunya berguncang karena terisak pilu.Setelah semua kejadian yang dialaminya, dia selalu berusaha untuk kuat.Namun, sekarang adalah puncaknya.Putra satu-satunya dan kebanggaan baginya sudah pergi untuk selamanya.Dan dalam beberapa jam saja, berita kematian Ronald langsung laris manis mengisi stasiun televisi.Semua orang pun membicarakan berita itu dengan berbag
Sementara itu…Seorang pria paruh baya baru saja ingin merebahkan badan karena lelah seharian bekerja.Namun atensinya teralihkan saat mendengar bunyi ponsel yang ada di samping ranjang.Saat melihat nama yang ada di layar, raut wajahnya langsung berubah menjadi masam.“Halo! Untuk apalagi kau menelponku?” jawabnya ketus.Pria di seberang sana mencoba bersabar walaupun juga sama kesalnya.[“Tidak usah ketus begitu, Baron! Aku hanya ingin minta keringanan hukuman untuk Ronald! Kau bisa kan bicara pada polisi?” ucapnya sedikit memaksa.]Ya, Bryan menghubungi Baron untuk minta potongan masa tahanan putranya dan mereka tidak tahu sama sekali soal kedatangan Adrian dan rencana licik Ronald yang terbongkar.Belum ada yang memberitahu kedua pria ambisius itu.Jadi, apapun akan dia lakukan meskipun mengemis pada Adik satu-satunya.Baron merasa sangat emosi mendengarnya tetapi berusaha tetap tenang demi kesehatannya
Semua orang di ruangan terkejut mendengar ucapannya barusan.Tanpa banyak basa-basi lagi, Adrian melangkah mendekat ke arah pria yang dulu sangat sombong padanya.Orang yang menghancurkan keluarga istrinya, meskipun ada satu pengecualian karena berkat hal itu dia bisa menikah dengan Clara.Dengan cepat kedua tangannya menarik kerah baju berwarna oranye itu.Wajahnya berbalik ke belakang menatap Asistennya, “Berikan pisaunya, Jo!” teriak Adrian murka.Joseph yang tersadar langsung menaikkan celana kainnya di kaki kiri dan terlihat di balik kaos kaki itu sebuah benda tajam terbungkus dengan kulit khusus berwarna coklat.Dia pun mengambil bilah pisau lipat itu dan tanpa ragu memberikan pada Adrian.“Ini, Tuan!” ucapnya pelan.Adrian langsung mengambilnya dengan cepat dan kasar tanpa peduli kalau tangannya akan terluka.Dia langsung mengarahkan ke leher Ronald.Melihat itu salah satu petugas melarang Adrian untuk melakukan niatnya.“Jangan lakukan apapun, Pak Adrian! Ini kantor polisi dan
“Apa?!” teriaknya dengan raut wajah terkejut.Dia sampai bangkit berdiri dari kursi.Helaan napas panjang langsung keluar dari mulutnya.'Ini tidak mungkin!’ hatinya menolak percaya.Tentu saja!Bagaimana caranya dia membayar orang?Karena Joseph yakin kalau saat itu Ronald sedang berada di dalam penjara.“Kenapa pria itu masih bisa … ah, sudahlah. Cepat berikan semuanya pada kantor polisi atas nama Tuan Adrian. Aku akan menyusul ke sana!” putusnya cepat.[“Baik, Bos!”]Napas Joseph memburu lalu secepat kilat melangkah masuk ke dalam ruangan Tuannya.“Tuan, a-aku ada kabar buruk!” ucapnya sedikit ragu.Adrian memijat keningnya yang pusing karena dari pagi moodnya sudah jelek, ditambah informasi yang diterima dari Asistennya itu semua adalah masalah.“Ada apalagi, Jo?” jawabnya dengan ketus.Adrian terlihat malas meladeni Asistennya itu.Joseph pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Adrian.“Orangku bilang, kalau pria yang menabrak Tuan kemarin dibayar oleh Ronald. Dia pelaku
Klik!Panggilan telepon itu dimatikan sepihak oleh Bastian.“Ha-halo! Hei, aku belum selesai bicara!” teriaknya kencang.Nayla menatap layar ponselnya dengan nanar. Tanpa basa-basi lagi dia pun langsung membantingnya ke lantai.“Aarrgghhhh!!! Aku benci kalian semua! Dasar brengsek!”Tubuh gadis itu merosot ke lantai.Kedua bahunya berguncang karena menangis dengan histeris.Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa aman di sini.Dengan cepat dia menghapus air matanya dan segera bangkit menuju kamarnya.Nayla akan melakukan rencana yang terakhir supaya bisa hidup dengan tenang.Di Apartemen Joseph…Baru saja pria itu ingin merebahkan badan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan keningnya pun berkerut saat melihat nomor asing di layar.Meskipun ragu, ia akhirnya mengangkatnya juga.“Halo? Siapa ini?” ucapnya langsung.[“Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam. Tapi, aku sudah mendapatkan lokasi gadis itu!” ungkap pria di seberang s
Pria itu menarik sudut bibirnya dan tetap santai saja. Setelah seharian sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk, sekarang barulah ia tertarik meladeni gadis itu.[“Aku tentu saja sedang di kantor. Ada apa?” pria itu bertanya dengan nada malas.]Nayla semakin geram mendengar Bastian yang bersikap cuek padanya. Bahkan dia yakin kalau pria itu pasti sudah menonton berita yang mengguncang dirinya.Meskipun memakai inisial tapi semua karyawan perusahaan Adrian bisa menebak siapa orang yang dimaksudkan. Dan bukannya mendukung, malah mereka semua pasti akan menyalahkan dirinya.Kedua kaki Nayla menghentak ke lantai, “Kenapa kau membuat berita gosip tanpa persetujuan dariku? Kenapa membawa namaku, hah? Aku tidak terima!” teriaknya dengan kencang.Bastian sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.Tetapi, bukannya merasa bersalah malah menampilkan senyuman licik di sudut bibirnya.[“Memangnya aku harus minta pendapatmu kalau ingin melakukan sesuatu? Tidak ‘kan? Kau ti
"Baik, Tuan!" jawab Joseph patuh. Adrian membuka jasnya dengan cepat dan memberi perintah lagi, “Hapus berita murahan itu sekarang!”Pria itu pun mengangguk dan segera ke luar dari sana sebelum Tuannya semakin murka. Adrian pun mendudukkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Dia pun memegang kepalanya yang berdenyut pusing dengan kedua tangannya. "Apalagi sekarang?!" teriaknya frustasi. Tentu saja karyawan di perusahaan ini tahu siapa yang dipecat secara tidak hormat olehnya. Sebagian orang pasti ada yang percaya dengan berita itu dan Adrian tidak ingin hal itu memperngaruhi kinerja mereka. Juga dengan inisial nama yang sudah jelas merujuk pada Nayla. Adrian tidak menyangka kalau gadis itu masih berani bermain api dengannya setelah apa yang terjadi. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjauh dan tidak pernah memberikan celah pada wanita manapun untuk mendekatinya. Sedetik kemudian ia teringat kalau ponselnya masih dalam mode silent. Dengan terburu-buru Adrian merogoh saku jasnya.