“Kau tidak salah baca situasi, kan, Lucas?!” tegur Javier pada Lucas. Ia sedikit kurang percaya pada anak buah termudanya itu.“Ugh! Ini tidak perlu membaca situasi. Sejak selesai meeting dengan Svonzeus itu, Nona terus saja mengoceh mau makan enak. Lalu begitu sampai di dalam mobil, beliau berteriak-teriak, mengata-ngatai Svonzeus sebagai ‘pria tua sialan’,” jelas Lucas dengan cepat.Mendengar cerita Lucas, Javier jadi semakin ingin tahu, apa yang sebenarnya dilakukan Svonzeus pada Visha, hingga bisa membuatnya mengamuk sendiri di mobil.Baru saja Javier ingin melanjutkan pertanyaan yang sudah ada di kerongkongannya, ia terpaksa menelannya lagi, karena tiba-tiba pintu mobil terbuka.Visha keluar dengan mengenakan kacamata hitam. “Javier … kau di sini?!” serunya sambil memeluk pria kekar itu.Javier pun segera meminta Lucas untuk ganti berjaga di depan gerbang sekolah, sementara ia akan menemani Visha di restoran.Setelah duduk di restoran, Javier menunggu Visha untuk membahas mengena
“Mama, ada apa?” tanya Dante yang bingung karena tiba-tiba para paman dan juga mamanya terlihat panik.“Nah, gak apa-apa, sayang. Tunggu Javier mengurus sesuatu di luar kamar.”Dante pun turun dari gendongan Visha dan langsung berlari ke tempat tidur di mana Madoka biasanya terbaring.Anak laki-laki itu mengamati sekitar tempat tidur, mencari sesuatu. Lalu Visha menghampirinya dan bertanya, “Apa yang sedang kau cari, Nak?”“Paku. Atau apa ya, Mama? Dante mau menggantung ini.” Dante mengangkat 3 buah dream catcher yang dibuatnya bersama dengan Javier.Karena Visha tahu ceritanya dengan jelas, ia pun segera mencari sesuatu untuk menggantung benda tesebut.Setelah tergantung sempurna, Dante tersenyum puas. Anak laki-laki itu berkata dengan penuh percaya diri, “Dengan ini, Uncle Madoka pasti bisa mengalahkan musuh-musuh di dalam mimpinya.”Visha tersenyum haru. Namun melihat tempat tidur yang kosong itu, Visha berpikir bahwa dream catcher itu akan menjadi sebuah persembahan dari Dante unt
“Selamat datang, Tuan Vonzastin.”Visha segera bangkit dari kursinya dan menyapa Vonzastin dengan penuh hormat, seolah dia adalah raja.Vonzastin mengangguk sambil menempatkan dirinya di kursi yang letaknya di seberang Visha duduk. Visha pun mengikuti gerakan pria itu duduk, setelahnya.Dan segera, pandangan mata mereka bertemu. Visha melemparkan senyum termanisnya, sementara Vonzastin terlihat seperti sedang menilai wanita di hadapannya.“Saya tidak menyangka anak Tuan Luca secantik ini. Maafkan saya, sudah membuat Nona cantik menunggu terlalu lama.” Pria itu membungkuk hingga ujung hidungnya hampir menyentuh piring kosong di atas meja.Dengan tergesa Visha pun meminta Vonzastin mengangkat kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa-apa. Saya terlalu bersemangat dan malah datang terlalu cepat.”“Senang, tidak membuat Nona sakit hati. Mari kita nikmati makanan ini.”Visha mengangguk. Sebelumnya, Javier sudah mengirimkan anak buah untuk mengecek dapur restoran. Untuk memastikan Vonzastin tid
“Kalau begitu, saya setuju. Tapi saya harus mendapatkan tanda tangan di atas kontrak kerja sama itu sebelum acara pernikahan. Saya tidak mau kalau ternyata semua ini hanya kebohongan.” Visha memberi syarat.Vonzastin nampak mempertimbangkan permintaan Visha tersebut.Supaya lebih meyakinkan, Visha pun menambahkan dengan raut wajah yang dibuat sangat sedih, “Saya sudah bersedia menikah bahkan dengan masa depan diceraikan. Kalau saya meminta hal seperti ini saja, saya rasa adil.”Melihat dirinya membuat sedih seorang wanita cantik, Vonzastin pun langsung menjawab, “Baiklah, baiklah. Kalau begitu, mulai hari ini kau bisa memanggilku dengan sebutan Vonza. Supaya Ayah percaya.”“Mm. Vonza.”Visha mau tak mau meladeni ciuman pria itu. Ia sengaja menutupi telinganya, supaya tidak terdengar oleh Javier.Setelah selesai dari acara makan malam itu, Visha pun masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Javier. Dan ini pertama kalinya Visha bertemu dengan Shadow.Pria itu muncul karena merasa sanga
“Ha?!” Mulut Javier ternganga mendengar pertanyaan Visha. “Nona, jangan bercanda seperti itu. Apa anda sedang menguji iman—”“Hapus memori menjijikkan yang diberikan Vonza padaku tadi, Jav!” potong Visha dengan nada tinggi.Mendengar itu Javier semakin bingung. Tapi setelah melihat air mata Visha dan ingatan saat Visha terus saja berkumur di mobil, membuatnya mengepalkan tangan. Marah.“Apa dia menyentuh Nona?!” tanya Javier yang sudah tidak lagi berbicara tenang.“Jangan buat aku menjawabnya, Javier. Kalau kau mau menolongku, tolong aku. Kalau tidak kau bisa biarkan saja aku!” raung Visha kesal.Sejujurnya Visha merasa menyesal dan malu karena meminta Javier untuk menciumnya. Tapi ia hanya ingin membuang memori menjijikkan itu dan menggantinya dengan ciuman yang ia izinkan.Dan kini, ia lebih berharap kalau Javier mengatakan apa yang ingin dikatakan pria itu tadi, sebelum Visha memotong ucapannya.Javier pun berbalik menuju pintu kamar Visha. Wanita itu pun tak mungkin memaksa Javier
"Ah!" Napas Visha tersengal ketika Javier melepaskan bibirnya. Terkejut karena ketukan pintu yang sepertinya dilakukan oleh Eugene."Nona, kau harus mandi dan makan malam." Javier segera bangkit dari lantai dan segera pergi ke teras kamar Visha. Visha pun masih berusaha menenangkan jantungnya yang berisik, ditambah dengan napas yang masih tak teratur.Tok! Tok!"Nona Visha ...," panggil Eugene sekali lagi.Visha menatap pintu kamarnya, lalu berjalan mendekati untuk membuka pintu.Ia pun berkata, "Ah ... maaf Eugene. Aku malah tertidur. Apa kau bisa sampaikan pada Dante untuk makan lebih dulu saja dengan Ayah?""Astaga! Nona terlihat lelah memang. Apa mau kubuatkan susu hangat?" tanya Eugene menawarkan.Tapi Visha menggeleng. "Tak perlu. Aku akan mandi saja dan menyusul ke ruang makan.""Baik, Nona."Visha kembali menutup pintu itu dan sedikit berlari menuju teras kamarnya. Ia berharap Javier masih di sana. Tetapi sayang, Javier sepertinya tidak memikirkan hal yang sama dengan Visha.
"A—apa maksud Nona Navisha? Sa—saya ... saya tidak—""Tenang dulu. Saya punya bukti Anda menguping pembicaraan antara saya dengan Tuan Vonzastin." Visha memotong kegugupan Claire.Ia sudah bisa melihat bahwa Claire mulai terpojok."Saya hanya ingin tahu, apakah Tuan Vonci yang meminta Anda? Kalau benar, saya ingin protes. Saya merasa tidak dipercaya—""Tidak! Jangan!" Claire memekik, memotong ucapan Visha.Kini Claire terlihat semakin panik. Visha pura-pura mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan arti kalimat yang barusan diserukan Claire."Tidak apa? Jangan apa?" tanya Visha sambil memiringkan kepalanya."Bi—bisakah kita bicara di ruang tertutup, Nona Navisha?"Visha pura-pura menolaknya, "Tidak, Claire—" "Sebagai sesama perempuan ... tolong ... bolehkah Anda mendengarkan saya?" Claire menunduk sedalam-dalamnya, menunggu Visha memberinya kesempatan.Helaan napas panjang terdengar dari bibir Visha. Ia pun merapikan tablet-nya dan meminta salah satu staf restoran memindahkan makana
Beberapa hari setelah pembicaraannya dengan Claire, Visha kembali bertemu dengan Vonzastin.Sesuai janji pria itu, ia sudah membawakan dokumen kerjasama yang ditanda tangani Svonzeus—ayahnya."Aku tidak menyangka, sebenarnya Ayah sudah menandatangani dokumen ini saat aku membicarakan tentang kita, Visha."Visha tertegun sepersekian detik. "Benarkah?""Yes, ayah titip salam untukmu. Katanya, kau memang paling cocok memegang perusahaan mebel itu dibandingkan adikmu," celoteh Vonza dengan nada bangga.Visha jadi berkonflik dalam batinnya. Ia tidak menyangka kalau Svonzeus benar-benar menginginkan dirinya menjadi pendamping sang anak.Svonzeus mungkin tipe yang haus pujian dan penghargaan publik. Tapi sepertinya, Visha mendapatkan sesuatu yang tidak pernah pria tua itu tunjukkan pada dunia luar.Bahwa cintanya untuk keluarga, tidak tergoyahkan. Svonzeus tidak sedang berencana untuk menyingkirkan anaknya dari liga pertarungan memperebutkan calon istrinya.'Tapi, sepertinya Tuan muda yang s
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu