Azzalin melihat ke sekelilingnya, tampak pemandangan yang bersih dan asri. Banyaknya pepohonan di sekitar membuat udara di sekitar kos-kosan ini begitu sejuk.“Ayo, aku antar kamu masuk ke dalam,” suara Bintang sedikit mengagetkannya. Azzalyn mengangguk dan mengikuti langkah Bintang yang membawanya ke depan sebuah pintu rumah yang berada tepat di depan kos putri yang akan ia tinggali untuk sementara.“Ini rumah Ibu Kos nya?” tanya Azzalyn setengah berbisik.“Iya. Namanya Bu Retno. Beliau baik banget.”“Kok tahu kalau dia baik?”“Dulu ada teman SMA ku yang pernah ngekos juga di sini. Kamu bakal suka tinggal di sini. Selain Ibu kos nya baik, tempatnya juga bersih dan aman,” kata Bintang.Azzalyn hanya mengangguk. Tak lama pintu dibuka, dan muncul seorang perempuan paruh baya yang memakai kerudung instan berwarna cokelat tua. Wajahnya yang teduh dengan senyum yang menghiasi bibir membuat Azzalyn langsung merasa kalau dia adalah orang yang baik.“Eh, Nak Bintang. Udah lama ya kita nggak k
Azzalyn menatap dengan penuh pandangan benci pada gadis di depannya. Gadis yang baru saja menghina dan mengeluarkan kata tak pantas. Dwita tampak sedang bersenang-senang dengan dua orang temannya. Entah kenapa bisa secara kebetulan bertemu dengan Azzalyn seperti ini. Ah iya, tadi Pak Andri mengatakan kalau Riska dan Dwita memang sering datang ke hotel ini.“Oh ya? Apa kalau aku sedang berada di hotel, itu artinya aku sedang mencari pelanggan dan menjual diri?” tanya Azzalyn sambil memberi tatapan seolah menantang pada Dwita.”Aku nggak salah kan? Sepertinya sejak putus dari Kak Abyl kau kehabisan uang ya? Dan sekarang targetmu pasti Om-Om yang kaya. Kau kan matre!”“Jaga mulutmu Dwita! Kau sendiri apakah datang ke sini karena menjual diri juga?”“Aku nggak sama denganmu. Aku nggak perlu jual diri juga duitku udah banyak. Beda denganmu. Mamaku bilang, kau itu cuma anak perempuan yang kerjanya megangin ikan-ikan yang bau. Jadi jelas beda kan denganku yang setiap hari memegang uang yang
Baru jam 7 pagi. Azzalyn baru saja selesai melakukan over handle tugas dengan Arian, GSA yang bertugas pada shift malam. Sementara pagi ini ia akan bertugas di front desk berdua dengan Putra.“Kamar full ya?” tanya Azzalyn sambil menghitung uang kas di tangannya.“Iya, mana semalam ada tamu yang cerewet lagi. Berapa kali minta diganti bed covernya. Dia bilang gatal-gatal. Padahal semua bed cover sama aja kan? Pasti udah dicuci semua.”“Trus gimana? Masih gatal-gatal nggak dia?”“Masih, makanya semalam aku pusing banget tuh orang complain lewat telfon sampai berkali-kali, nggak lama dia langsung datang ke sini. Marah-marah dibilangnya kalau kita nggak nyuci sprei sama bed cover. Padahal Housekeeping Supervisor udah datang jelasin juga, masih aja ngomel tuh orang,” ujar Arian kesal.Azzalyn tersenyum. “Mungkin kulitnya sensitif kali.”“Ku rasa bukan kulitnya aja yang sensitif, tapi hatinya juga,” seloroh Putra sambil menghitung magnetic key card milik hotel. Mereka bertiga tertawa.“Gim
“Azzalyn, kok kamu pake seragam Doorgirl?” tanya Putra dengan tatapan heran.Azzalyn diam saja dan hanya menatap Putra dengan wajah yang kusut. Hatinya benar-benar panas. Dalam sekejap ia harus bertukar posisi dari GSA menjadi Doorgirl. Ia terpaksa menerima posisi tersebut dan memilih untuk tidak resign karena selain merasa tidak enak dengan Bintang, dia juga ingin menantang Riska yang ia yakini menjadi dalang dibalik semua ini. Azzalyn ingin membuktikan kalau dia tak akan kalah semudah itu.Bagaimanapun, tujuannya untuk kembali ke kota adalah untuk membalas dendam. Dan dia tidak akan segampang itu menyerah hanya karena Riska mengacaukan pekerjaannya.“Aku titip HP ku ya, Putra. Aku ke depan dulu,” ujar Azzalyn dengan nada suara lemah. Tanpa mempedulikan tatapan Putra yang mengandung banyak pertanyaan, ia berjalan lemah menuju pintu keluar hotel.“Loh, Mbak Azzalyn kok di sini? Bukannya di front desk?” tanya Beno heran.Azzalyn hanya tersenyum pahit. “Mulai sekarang aku tugasnya di si
“Maaf Bintang, aku nggak bisa meninggalkan tempat. Aku sedang kerja dan aku tak bisa pergi ke mana-mana seenaknya.” Azzalyn melepaskan tangan Bintang.“Tapi Azzalyn....”“Aku nggak apa-apa Bintang. Tolong biarkan aku bekerja dulu. Kita akan bicarakan ini nanti,” pinta Azzalyn.Bintang membuang napas kasar. Dia melihat ke sekeliling. Beberapa orang yang memang sedang berada di area sekitar lobi memang tampak memperhatikan mereka. Wajar saja kalau Azzalyn mungkin merasa tak enak hati.“Ayo Kak, antar aku ke lantai dua ya.” Dwita kembali berusaha menggandeng lengan Bintang. Namun pemuda itu menolak dengan halus.“Kamu naik sendiri ke atas ya, Dwita. Aku ada sedikit urusan.”“Mau ke mana Kak?” Dwita tampak kecewa. “Aku mau bertemu Andri,” jawab Bintang singkat. Namun cukup untuk membuat Azzalyn dan Dwita terkejut. Dwita bahkan langsung menatap tak suka ke arah Azzalyn. “Jadi karena dia, Kakak biarkan aku naik sendiri? Kakak nggak terima kalau dia diberi pekerjaan seperti ini, da
“Langsung pulang?” tanya Rini, saat melihat Azzalyn yang sedang membuka gulungan rambutnya. Mereka bertemu di loker. Sepertinya hari ini Rini datang terlambat karena tadi saat over handle hanya ada Beno.“Nggak langsung pulang ke kosan sih kayaknya, soalnya ada janji mau jalan sama teman.” Jawab Azzalyn.“Cowok?” tanya Rini lagi.“Maksudnya?”“Jalannya sama teman cowok?” “Ngapain nanya-nanya?” Kekeh Azzalyn.Rini manyun. “Kan cuma nanya. Mau tahu aja. Mbak punya pacar nggak?”“Kalau punya kenapa, kalau nggak punya kenapa?” Azzalyn masih menggoda Rini.“Ya nggak kenapa-napa sih. Aku cuma penasaran, gimana gantengnya pacar Mbak. Dan juga, ada anak Engineering yang nanyain Mbak ke aku waktu di kantin kemarin. Dia nanya, Mbak udah ada yang punya belum? Gitu...” jelas Rini panjang lebar.Azzalyn tersenyum. “Anak Engineering yang mana ya?”“Si Haidar, yang biasa suka lewat depan FO tuh Mbak, lumayan kok anaknya. Cakep.”“Kalau cakep buat kamu aja,” Azzalyn tertawa.“Eh nggak. O
“Kita bicarakan ini nanti aja Bintang. Nggak enak kalau kita harus berdebat di tepi jalan seperti ini,” bujuk Azzalyn. Bintang hanya bisa menurut meski hatinya merasa masih tak terima dengan kalimat aneh dari Azzalyn tadi. Mereka sampai di sebuah warung makan lesehan yang menjual aneka menu masakan, termasuk mie ayam kesukaan Azzalyn. Setelah pelayan mengambil pesanan, Bintang memandang Azzalyn tanpa kedip. Azzalyn sadar, cowok itu sedang meminta penjelasan darinya. “Kita makan dulu bisa?” tawar Azzalyn. “Aku lapar dan aku nggak mau kehilangan selera makan. Kamu tenang aja, aku pasti akan memberi penjelasan padamu,” sambungnya, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Bintang. Bintang hanya menghela napas kasar, sepertinya ia kembali harus bersabar. Saat makanan datang, mereka hanya bisa makan dalam diam. Bintang yang biasanya ceria dan banyak bicara kini tampak terlihat tak bersemangat. “Sekarang udah bisa ngomong?” tanya Bintang, sesaat setelah pelayan membersihkan meja mereka.
“Nggak ada rencana khusus. Tapi kamu bisa bersenang-senang dengan mempermainkannya selagi dia masih kerja di sana.” Ujar Riska.“Ma, kenapa Mama begitu membenci perempuan miskin itu? Apa benar hanya karena Mama nggak setuju hubungannya dengan Kak Abyl? Atau ada alasan lain?”“Mama punya alasan sendiri. Untuk sementara kamu dan Abyl nggak perlu tahu.”“Ma, dia bilang Mama pelakor. Dan dia suruh aku tanya ke Mama apa hubungan antara dia dan keluarga kita. Dia juga bilang aku seharusnya memanggil dia dengan sebutan Kakak. Apa maksudnya Ma?”Riska menggeram. Ia tak menyangka Azzalyn akan mengatakan hal tersebut pada Dwita.“Kapan dia mengatakan itu padamu?”“Kemarin, waktu pertama kali aku bertemu dengannya di hotel. Aku mau nanya Mama tapi lupa. Apa maksudnya ia mengatakan itu?”“Apa ada hal lain yang ia katakan?” tanya Riska.Dwita terlihat agak ragu menjawab. “Dia bilang, Mama pembunuh.”“Kurang ajar!” Bentak Riska, membuat Dwita terkejut.“Ma?” Dwita memanggil ibunya dengan agak takut
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug