Arka duduk termenung menghadap meja bar. Hingar bingar suara musik DJ tidak membuat dirinya terhibur. Ia tetap asyik menikmati kesendiriannya. Di depannya ada 10 botol soju yang sudah kosong. Ia memesan 1 lagi. “Sepertinya Anda sangat suntuk, apa mau saya panggilkan wanita untuk menemani Anda malam ini?” kata Eca – bartender yang berperawakan macho dan sudah bekerja lebih dari 10 tahun di Bar 69. Lelaki di depannya itu mulai mabuk. “Tidak.” Arka menghabiskan sojunya hingga tak tersisa. Rasa pening mulai menyerang kepalanya. Ia berusaha berdiri tegak, tapi lantai yang diinjaknya terasa bergerak. Badannya bergerak sempoyongan. “Tolong hubungi nomor ini. Dia istri saya,” pintanya sebelum ia ambruk ke lantai. Eca sudah terbiasa menangani lelaki mabuk. Dengan tenang ia memapah tubuh Arka dan menaruhnya di sofa yang terletak di sudut. Saat ia hendak menelpon nomor yang diberikan oleh Arka. Seorang perempuan menepuk bahunya. “Bi
Papa dan Mama mertuanya turun dari lantai dua. Keduanya berpakaian rapi. “Mama dan Papa mau keluar, kamu sebaiknya jaga rumah,” kata mama mertuanya ketus. Sedangkan papa mertuanya, menatapnya dengan tatapan lapar. Lelaki itu mengedipkan matanya pada Rhea. “Bagaimana tidurmu Rhea?” tanya papa mertuanya. “Nyenyak sekali Pa?” “Apa kamu menikmati permainan semalam?” Lelaki tua itu mendekatinya. “Permainan apa ya Pa?” “Kamu pikirkan saja sendiri,” kata papa mertuanya. Sontak Rhea kaget. Bau parfum lelaki khas dan berbeda dengan milik Arka-suaminya. Jangan… jangan… semalam… Rhea bergidik memikirkannya. Rhea mencium gaun tidurnya. Samar-sama ia mengendus bau asing yang bukan parfum miliknya. Ugh! Mungkinkah dia bercinta dengan papa mertuanya semalam? Pertanyaan itu terus menggelitik pikirannya. Jika Arka tidak pulang semalam. Siapa lagi lelaki yang bisa leluasa masuk ke rumah mereka? Selain papa mertuanya? Karena Karso, sopir mamanya tidak tinggal
Rinai yang tiba-tiba datang bersamaan saat ia turun dari mobil. Rinai yang tak seharusnya datang di hari yang panas serta merta membuat rambut Kumi basah. Perempuan itu dengan langkah terburu-buru memasuki Hotel Cantika, dan langsung menuju ke toilet untuk merapikan penampilannya. Hari ini dia mau bertemu dengan Chef Lukman yang akan mengajaknya mencicipi menu untuk ulang tahun Nenek minggu depan. Setelah mengeringkan rambut dengan tissue ia lalu menyisirnya dan memoleskan bedak tipis-tipis di wajahnya. Kumi melihat jam tangannya. Tinggal 8 menit lagi. Ia pun bergerak menuju kantor Chef Lukman yang berada di lantai 9. Perempuan itu berjalan dengan langkah cepat menuju pintu lift yang terbuka dan tanpa sengaja kakinya menginjak kaki seseorang. “Maaf, saya gak sengaja,” kata Kumi. Dia mendongak dan terkesiap setelah tahu kaki siapa yang dia injak. “Asem, aku tak bisa menghindar lagi.” Kata-kata itu ditelannya sendiri. Mau tak mau ia harus menghadapi makhluk yang menyebal
Rini menoleh dan melihat ke Kumi dengan sinis. “Bahaya apa?” jawab Rini ketus. “Eng di sana ada sesuatu yang akan membuat Tante kaget, iya kaget,” jawab Kumu gelagapan. “Halah, sana pergi gangguin kesenangan orang saja kamu!” Kumi duduk di belakang kemudi, matanya lekat melihat Tante Rini-ex mama mertuanya, bergandengan tangan mesra dengan seorang pemuda. Ia menduga umur pemuda itu seumuran dengan Arka. Mereka memasuki lobi Hotel Cantika dengan tertawa-tawa. Tiba-tiba pikirannya panik. Haruskah ia menelpon Tante Rini dan memintanya untuk segera pergi dari sana? Sebelum ex papa mertuanya melihat mereka? Namun… Untuk apa? Apakah omongannya nanti akan dipercaya oleh Tante Rini? Sementara dia tak punya bukti konkrit, untuk memperjelas larangannya. Bisa jadi perempuan itu akan menuduhnya macam-macam. Siapa juga yang peduli pada Kumi. Dia tak berhak melarang, dan bukan urusannya pula. Pecakapan monolog-monolog itu bermunculan
Kumi datang 5 menit lebih awal dari waktu yang ia janjikan pada Nora. Ia masuk ke café dan bertemu dengan Ines yang menyapanya. “Hi Kak, apa mau pesan sekarang?” tanya waitress berwajah manis itu. “Boleh. Tolong smooties vanilanya satu,” jawab Kumi dengan senyum merekah. Ines mengangguk. Kumi adalah salah satu pelanggannya. Ia tahu di mana ia bekerja. Gadis muda itu menyukainya karena selain baik, dia juga sering memberinya tips. “Lagi nunggu temannya ya Kak?” ucap Ines sambil membawa pesanan Kumi. Ia membawakan extra cookie untuknya. “Iya, Nora. Dia teman lamaku, dan pernah ke sini.” Kumi melihat cookie bertabur potongan coklat di mejanya. “Eh, aku gak pesen ini?” “Itu gratis buat Kak Kumi.” Kumi mengernyitkan keningnya tak mengerti. “Apa ada acara khusus?” “Itu perintah dari Ibu Nina, owner kami Kak. Sebagai ucapan terima kasih karena Kak Kumi selalu merekomendasikan Café Amora ke
“Lo jangan asal ngomong deh Nor? Lo gak sakit parah kan?” tanya Kumi dengan nada tertekan. Pengalaman menyaksikan Yashi melewati masa kritis telah membuatnya trauma dengan kata kematian. Ia mengamati Nora yang ada di depannya lebih dalam. Melalui mata Nora, Kumi bisa merasakan kesepian yang menyakitkan. Nora menghembuskan napas dalam-dalam, seolah-olah ingin melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya. “Gue kena cancer serviks stadium 3, dan gue merasa hidup gue gak bakalan panjang.” Matanya tampak putus asa. “Kadang gue pengen langsung mati, biar gue gak ngerasain sakitnya kemo, toh gak ada yang nunggu gue. Ibu gue sudah meninggal, sedangkan Bapak gue tak pernah peduli sama gue.” Hati Kumi langsung patah menerima kabar mengejutkan tersebut. Ia tak menyangka sama sekali, ada cerita sedih dibalik keceriaan Nora dan indahnya feed I*******m yang ia tampilkan. “Lo masih punya gue Nor,” ucap Kumi sambil memeluk Nora. Air mata Nora langsung pecah. Ia sesenggukan dalam pelukan hangat
“Abang cinta Sulis.” DEG Semua yang ada di situ terhenyak! Jadi Parang jatuh cinta! Shaka memegang peningnya. Ia tak pernah menyangka kakaknya yang spesial bisa mencintai gadis normal. Ia tertunduk tak tahu harus bagaimana. Sementara itu, Kumi memutar otaknya bagaimana mengalihkan perhatian dan meredakan amarah Parang. Sekelebat nama muncul di kepalanya, Sulis! Ia harus menelpon Sulis sekarang. Perlahan, wanita muda itu mundur dan mengambil ponsel di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat ia memencet nomor Sulis. Ada nada dering. Tapi Sulis tidak mengangkatnya. Kumi mencoba lagi, situasinya masih sama. Tak ada jawaban sama sekali dari Sulis. Situasi ini membuatnya tegang. Kumi memijit keningnya lembut. Ia lalu berpura-pura menelpon Sulis. “Sulis… ini Abang Parang marah.” Dia memperhatikan Parang yang langsung terlihat ingin tahu. Tangannya mulai mengendur. “Baik, nanti Ibu sampaikan sama Abang.” “Sulis?” tanya P
Kumi menghela napas. “Aku pulang dulu ya,” pamitnya ke Shaka. Masalah Nora lalu Parang membuat badannya lelah. Yang ia inginkan adalah mandi dan tidur. Shaka menangkap kegelisahan Kumi. Ia tahu Kumi memiliki kepekaan tinggi, dia mudah menyerap energy orang lain. Pria itu mengangguk dan memeluknya. “Istirahatlah, nanti telpon aku kalau kamu sampai di rumah.” Kumi mengangguk kecil. Shaka memang protektif padanya dan dia membiarkan hal itu selama masih lumrah. Waktu sudah menunjukkan jam 8.30 malam. Kumi teringat Yashi. Untuk menutupi rasa bersalahnya ia melakukan video call dengan Yashi. Mendengar suaranya, Yashi yang sedang dikeloni Ibu sontak cerah. “Mommy…!” suaranya menggemaskan. “Yashi tidur ya Nak? Sebentar lagi mommy sampai,” katanya sambil membawa mobilnya ke jalan raya. Kemudian matanya menangkap sosok wanita yang amat dikenalnya duduk bengong di halte. Kumi menghentikan mobilnya tepat di depan gadis m
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad