“Aneh!” gumam Shaka. Ia mengusap-usap dagunya, dan memikirkan siapa pemuja Kumi? Bagaimana pengirim itu tahu kamar yang mereka tempati sekaligus mengetahui Kumi membutuhkan baju? Shaka melirik Kumi yang sedang bersiap untuk mandi, wanita itu menggelung rambutnya ke atas, memperlihatkan lehernya yang putih. Shaka melihatnya, ia menarik napas sebentar. Dirinya tidak mengerti dengan sikap Kumi, tadi Kumi terkejut, tapi kini ia sama sekali tak menghiraukan soal siapa pengirim baju itu. Pemuda itu senewen sendiri. “Bajunya biar kusimpan,” kata Shaka tanpa memberikan alasannya. “Untuk apa kamu simpan? Kamu tidak memakainya. Sayang kan? Biar aku saja yang menyimpannya. Baju itu bisa kupakai, aku juga suka bahan kainnya, dingin,” kata Kumi. Ia mengambil pakaian yang ada dalam tas karton itu dan membawanya ke kamar mandi. Shaka mendengus. “Aku mau mencari siapa secret admirer yang mengirimu baju itu!” Kumi melongok dari pintu kamar mandi. “Untuk apa? Gak ada gunany
Kumi berbalik dan mundur beberapa langkah, badannya menegang, “Mama.” Lelaki di hadapannya itu tersenyum ramah. “Maaf Kumi, dia abangku. Namanya Parang Satria. Kami terbiasa memanggilnya Abang parang. Umurnya 29 tahun. Dia mungkin mengira kamu mamaku,” kata Shaka sedih. “Abang, dia Kumi, bukan Mama.” Kumi memperhatikan laki-laki itu dengan seksama. Mula-mula dari postur badannya yang pendek, kemudian wajahnya yang bulat, hidungnya kecil dan bertulang agak rata, matanya yang miring ke atas, tapi sorot matanya sangat polos seperti anak-anak. “Halo, namaku Kumi. Aku punya kejutan untukmu, dia lalu membuka pintu mobil dan mengambil Kaluna. “Kami masuk dulu ya Bang,” kata Shaka dengan sayang. Parang mengangguk senang. Lelaki itu berlari ke pos satpam dan bermain layang-layang. Ketika Shaka membuka pintu rumah. Hati Kumi langsung jatuh cinta dengan designnya. Rumah bergaya minimalis dan terkesan sejuk karena banyak tanaman hijau yang ditata apik, menyesuaikan dengan kont
Bab 26 Mata Kumi terpana saat berdiri di depan kamar tamu. Semua kata-katanya terkunci melihat kamar bernuanda putih di rumah Shaka telah disulap menjadi kamar bayi dengan semua perlengkapannya. Nenek mengambil alih kendali. Dia menggendong Kaluna dan duduk di sofa empuk yang terletak di sudut kamar. Bayi merah itu asyik menyusu dari botol dan nyaman dalam gendongan Nenek. Wajah Nenek memancarkan cahaya, ia terus memandang bayi mungil itu, takjub. Sulis memutar musik klasik Mozart dari ipod, setelah itu ia duduk di karpet berbulu, tangannya sibuk merajut sambil menemani Abang Parang bermain puzzle. Semua tampak tenang. Nenek memberi isyarat halus pada Kumi untuk pergi. Seseorang menyenggol tubuhnya. Kumi menoleh. “Aku Rio, sekretaris merangkap personal assisten Shaka. Kamu Kumi kan? Shaka banyak cerita tentang kamu.” Rio, lelaki kemayu itu memperkenalkan diri. Tangannya memegang fulpen. Telinga Kumi membesar mendengar cerita Rio. “
Seketika kakinya kaku melihat wajah yang muncul di hadapannya. N-ngapain k-kamu k-ke sini?” ulang Kumi. Mendadak hati Kumi gelisah, meski ia sudah tahu, pekerjaannya memiliki resiko bertemu dengan mantan suaminya. Akan tetapi, sejuta rasa marah, kecewa, sakit hati dan dendam tetap datang menghampiri tanpa mampu ia tolak. Terengah-engah Kumi menghalau perasaan negatif tersebut. Ia menunduk, menenggelamkan pikirannya pada lantai. “Apa kamu lupa aku salah satu CEO di perusahaan Shaka?” tanya Arka. Ia menyembunyikan keterkejutannya melihat Kumi di kantor Shaka. “Iya,” kata Kumi jujur. Rio menepuk pundak Kumi sebelum masuk. “Aku kangen kamu…” Kumi termangu. Matanya berkilat marah. “Bu, dipanggil Pak Shaka,” kata Wahyu, mendatangi Kumi. “Baik,” Wanita itu bergegas menemui Shaka di ruangannya. Dia mengetuk pintu. Kaki Kumi lunglai, melihat senyum Shaka. “Ada apa?” katanya kaku. “Maaf, aku
Kumi berdiri tegang, matanya berani menantang Arka. “Apa lagi yang kamu inginkan dariku Arka? Aku tidak ada waktu untuk melayanimu.” “Aku serius, aku mau mengajakmu keluar,” kata Arka percaya diri. Ia hendak meraih tangan Kumi tapi wanita itu mengibaskannya. “Please Kumi, luangkan waktumu. Aku ingin mencicipi tubuhmu lagi,” katanya blak-blakan. Senyum Kumi menyeringai. Tangannya gatal ingin menampar pipi lelaki itu. “Untuk apa? Masa lalu kita sudah kubuang. Maaf, aku banyak kerjaan. Tolong jangan ganggu aku!” Kumi meninggalkannya sendirian di ruang meeting. Arka tak menduga Kumi akan menolaknya! Dan ini membuat hatinya terluka. Selama ini ia selalu mendapatkan apa yang ia mau. “Sombong!” gumamnya kesal. “Sial! Kenapa kuceraikan dia,” kata Arka menumpahkan kekecewaannya. Perubahan Kumi membuat adrenalinnya berpacu lebih cepat. Wanita itu semakin cantik dan keibuan setelah melahirkan. Ada rasa penyesalan yang menyergap dirinya. Setan-setan dalam
Arka menyeringai. “Apa kamu gunakan anakmu untuk mencari perhatian Shaka, heh! Ingat Kumi. Dia anakku. Aku tak rela kamu memanfaatkan bayi itu untuk mencari perhatian laki-laki!” gertaknya. “Untuk apa kamu menggoda Kumi lagi? Bukankah kamu sudah mencampakkan dia?” ucap Shaka keras dan setengah menghardir Arka. Jantung Kumi hendak meletus mendengar suara pria itu dari dalam pos satpam. Kapan dia masuk? Arka lalu melepaskan tangan Kumi. Ia mendengus kesal, melihat bosnya berjalan ke arahnya. “Saya mau mengajak Kumi makan malam Pak dan lebih mengenal bayinya? Apakah itu tidak boleh?” ujarnya dengan suara dingin. “Kamu lucu sekali Arka. Kamu baru saja menikah kenapa sekarang mau mengusik kehidupan Kumi dan bayinya. Apakah kamu tidak takut dengan Rhea?” kata Shaka mencemooh. “Pulanglah, sebelum aku marah.” Gigi Arka gemeretuk. Andaikan saja Shaka bukan bosnya, dia mau mengajaknya duel. Dia tidak membantah dan patuh pada perintah Shaka. Ia
Kumi panik! Badannya gemetaran. “Mbok Yem… Mbok Yem, cepat ke mari!” jeritnya histeris Untuk beberapa detik, Kumi berdiri terpaku menatap tubuh Shaka yang tergeletak di lantai dengan darah segar dari keluar dari kepalanya. Ia masih bingung apa yang harus ia lakukan. Mbok yem dan dua pembantu di rumah Shaka lari tergopoh-gopoh ke Kumi. “Mbok Yem, lihat itu, Shaka…!” Tangan Kumi menunjuk Shaka. “Aduhh! Apa yang harus kita lakukan Bu,’ kata Mbok Yem. Ia sangat khawatir. “Mbok Irah kamu jaga Nenek. Sulis, kamu jaga Abang.” Kumi menenangkan diri. “Mbok, panggil dokter ke sini. Saya mau memeriksa Shaka.” Ia lalu menghampiri Shaka dan memeriksa keadaannya. Wanita itu bernapas lega melihat pemuda itu masih bernapas. “Mbok Yem, cepat ambilkan kotak P3K dan es batu!” Kemudian Kumi memeriksa kepala Shaka. Sepertinya lelaki itu jatuh dan kepalanya membentur sudut meja. Selanjutnya dengan pengetahuannya Kumi
Kumi dan Shaka kaget. Perlahan keceriaan di wajah Kumi berangsur menghilang ketika melihat Rhea berdiri di depan pintu kamar Shaka. Rhea lalu berjalan anggun dengan high heels warna nude berujung runcing. Kumi tidak mengerti sama sekali kenapa Rhea kerap datang ke rumah Shaka? Apakah Rhea hanya sekedar berkunjung sebagai kawan Shaka atau hanya ingin menyakitinya saja? Ia mengatupkan kedua mulutnya rapat. “Mentang-mentang Nenek percaya kepadamu lantas kamu seenaknya saja berulah semaumu?” Rhea tersenyum sinis. “Aku lebih mengenal Shaka daripada kamu!! Ingat kamu ini haanya pembantunya Shaka dan Nenek!” Jelas sekali ia menghina Kumi dan merasa posisinya lebih tinggi daripada Kumi. Shaka marah Rhea menghina Kumi. “Ngapain kamu masuk ke kamar orang! Kumi itu kekasihku dan aku yang memintanya di sini. Sedangkan status kamu di sini apa?!! Pergi sana!” usirnya. Suara Shaka menggelegegar, mengagetkan Kumi dan Rhea. Lelaki itu sangat marah Rhea melanggar
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad