Bab 147 Otot-otot di leher Kumi kesakitan saat tangan itu semakin kuat mencekik lehernya. Bukannya menyerah, dengan panik Kumi berusaha melepaskan tangan itu dari lehernya. “Untuk apa kamu menelpon Shaka heh!” Kumi terkejut dengan pertanyaan orang itu. Menilik dari suaranya, dia menduga orang yang mencekiknya adalah seorang perempuan, tapi siapakah dia?Mungkinkah Kumi mengenalnya? Bagaimana ia tahu soal Shaka? Masalahnya, ia tidak bisa melihat orang itu, karena dia mencekiknya dari belakang. Ia mengulur-ulur waktu sambil mengingat-ingat pemilik suara itu. “S-siapa y-yang menelpon Shaka. Kamu salah dengar!” ucap Kumi kesulitan bicara. “Ka… ka… tadi itu siapa?” tanyanya bengis. “A-aku menelpon Arka, dia mantan suamiku,” jawab Kumi. Lehernya sakit sekali. “Siapapun kamu, tolong lepaskan tanganmu,” pintanya memohon. “Hahahha… jangan kau pikir, aku akan melepaskanmu. Sebab saat ini juga aku mau membunuhmu
Keesokan paginya, setelah pulang dari kantor polisi. Kumi memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanannya ke Laos dengan menggunakan kapal ferry kayu.Meninggalkan Yumi yang langsung ditahan oleh polisi setempat. Ia dijerat kasus melakukan rencana pembunuhan.Kumi tidak lagi peduli lagi dengan wanita itu. Semua ia serahkan pada pihak kepolisian setempat.Menurut informasi yang dirilis kepolisian. Alasan Yumi mau membunuhnya ada kaitannya dengan Dream Land. Yumi mengaku di kepolisian, ia telah mengikuti Kumi semenjak di Jakarta karena Kumi tidak memberikan apa yang ia mau.Namun Kumi tak begitu mempercayainya.Menurut Kumi, jelas sekali alasan itu mengada-ada. Semua informasi yang Yumi minta telah ia berikan. Apa lagi yang inginkan darinya?Kumi juga telah menceritakan masalah Yumi kepada Aji. Ia tahu lelaki itu juga mengejar Yumi dengan kasus yang berbeda."Yumi adalah tangan kanan Teguh, wanita itu lihai sekali. Dia bermain sangat cantik dalam menyembunyikan aset-aset Teguh. Tapi k
Sesampainya di perbatasan Thailand -Laos. Kumi langsung mendatangi kantor imigrasi setelah itu dia naik tuk-tuk ke tempat ferry kayu.Kemudian membeli air, roti baguette, selai kacang, pisang dan biskuit untuk Yashi untuk stok perjalanan 8 jam ke depan plus sandwich buatan Anong.Tubuh Kumi yang mungil semakin tenggelam dengan barang-barang bawaannya. Meski tampak kerepotan, wanita itu berjalan tegap dengan satu tangannya memegang tangan Yashi yang berjalan di sampingnya melintasi serombongan turis."Halo... Halo," sapa Yashi ramah pada tiap orang yang dilewatinya.Orang-orang tersenyum dan menyapanya balik.Kumi geli melihat aksi anaknya. Ini menjadi penghiburan tersendiri bagi Kumi.Di jalan tanah yang kotor, Kumi melihat berbagai macam orang mulai dari warga lokal dan turis asing berbaris rapi menunggu masuk ke kapal. Sambil menunggu antrean masuk. Kumi merapikan jaket Yashi. Dia juga memeriksa tas kecil Yashi tempat anak itu membawa nappy dan bekalnya.Selanjutnya ia mencari tem
Bab 150“Kita tidak bisa ke Thailand sekarang, Bos!” kata Rio tegas. “Kenapa? Apa kamu tidak suka aku mau menemui Kumi?” tanya Shaka pedas.“Bukan begitu. Perusahaan sedang membutuhkan Bos, terutama masalah Dream Land! Aku khawatir jika Bos pergi, si Hong licik itu akan berbuat ulah,” ucap Rio mengingatkan Shaka dengan nada yang agak tinggi. Cepat sekali Rio tegang semenjak Kumi berhenti bekerja dan rentetan peristiwa yang membuat tanggung jawabnya semakin besar.Rio mengurusi banyak hal, bukan hanya soal pekerjaan tapi masalah pribadi Shaka dan keluarganya. Sementara urusan perceraian pria itu belum kelar dengan Nada dan terkesan berbelit-belit. Karena keluarga Nada tidak terima dengan sikap Shaka yang meninggalkan Nada di malam pertama pernikahan. Nyonya Hong – mamanya Nada malah berani meminta bagian setengah harta Shaka sebagai ganti rugi sakit hati dan rasa malu keluarganya. Akan tetapi Shaka tidak mengabulkan permintaan wanita serakah itu. Dia kemudian menugaskan Rio
Matahari pagi bersinar cukup terik di sertai angin yang bertiup kencang menerpa kulit Kumi. Wanita itu menaikkan hoodie di atas kepalanya. Bersama beberapa orang turis dari Jerman, Kumi berdiri menunggu antrean masuk ke kapal ferry kayu yang kemarin membawa mereka, menuju Luang Prabang. Semalam kapal ferry berhenti di Pakbeng, Kumi menginap di hostel kecil dengan pemandangang sungai Mekong. Tempatnya bersih dan nyaman sehingga ia dapat beristirahat dengan nyaman bersama Yashi setelah 8 jam perjalanan panjang. Berbekal pengalaman kemarin. Kumi membuat overnight oat yang ia isi dengan buah pisang dan peanut butter sebagai bekal makan siangnya nanti selain roti baquette. Di kapal tak banyak pilihan makanan, penjual di situ hanya menyediakan mie. Itu pun harganya sudah naik berkali-kali lipat. Kapal baru berangkat ke Luang Prabang jam 10 pagi. Mata Kumi asyik menyisir pemandangan indah dan kehidupan penduduk lokal yang unik d
Sakha Mahasura. Lelaki perhatian dan mempesona. Aroma tubuhnya yang wangi dan maskulin. Sayang Yashi. Tampan dan pemilik mata hazel. Ting! Tiap malam Kumi menghalau bayangannya supaya tak hadir mengusik mimpi. Menyembunyikan kegalauan dan rasa rindunya. Tapi kini ia justru terengah-engah memikirkan keadaan lelaki itu. Bagaimana kondisinya saat ini. Andai ia punya sayap, ia mau segera terbang menemuinya. “Sakha…” ratap Kumi pilu. Kabut tebal menggelayuti hatinya. Ia amat khawatir dengan keadaan pria itu. Berulang kali dia membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Kumi, lo di mana, kami mencarimu, keadaan Sakha dan perusahaan gawat. Tolong hubungi balik gue secepatnya, kami butuh bantuan lo – Rio. Kumi, there is a guy, Shaka Mahasura, he called me and asked about you. He told me that wants to meet you, but I didn’t tell him that you are in Luang Prabang now. He seems really worries about you. Take
Kumi berdiri tercekat di samping ranjang Shaka. Dia masih bingung apa yang menggerakkanya hingga mengubah itinerary perjalanannya kembali ke Jakarta. Kemudian langsung menuju Rumah Sakit Siloam di mana Shaka dirawat. “Shaka koma, hanya keajaiban yang bisa membuatnya bangun,” ucap Rio sedih memegang pundak Kumi. Bibir perempuan itu terkunci rapat. Hatinya giris melihat lelaki itu tak berdaya, di atas ranjang dengan selang-selang yang menempel di tubuhnya. "Daddy... ayo main, " panggil Yashi. Tangannya yang mungil memegang tangan Shaka. Rio sudah meminta ijin Dokter Ridwan supaya membiarkan bocah itu masuk menengok Shaka. Anak kecil itu mendongak, melihat ke Kumi. " Mommy, Daddy tidak angun?" Ia bertanya dengan kosa kata yang belum lengkap. "Daddy sakit, dia masih tidur," ucap Kumi menjelaskan. Yashi lalu membuka tas ransel miliknya. Kemudian ia mengambil sirup obat panasnya dan memberikan pada Kumi. "Mommy, kasih Daddy,.." Bocah kecil itu cerdas sekali. Ia berpikir Shaka s
“Kumi… lo mau pergi ke mana?” tanya Rio panik. Ia tidak pernah melihat pemandangan sesedih ini. “Entahlah, gue belum memutuskan,” jawab Kumi seraya mengedikkan bahunya ke atas. Ia masih belum berniat untuk pulang ke rumahnya. “Apa lo mau menginap di apartemen gue dulu?” Rio menawarkan diri. Hatinya sesak dan tak enak hati melihat Kumi bersedih. Perasaan bersalah bersarang di dada Rio. Pikirannya terlalu naif, ia meminta Kumi datang semata-mata karena mau membantu Shaka untuk bangkit. Rio lupa ada Nenek. Kedatangan Nenek telah menggagalkan rencananya. Insting lelaki itu mengatakan, Nenek telah melontarkan kata-kata buruk sehingga membuat Kumi bersedih. “Terima kasih. Tapi gue gak mau merepotkan elo.” “Lantas, lo mau pergi ke mana?” desak Rio. Kumi tersenyum tipis. “Melanjutkan perjalananku.” Kumi menepuk lengan Rio. “Cepatlah kembali ke kamar Shaka. Nanti Nenek marah kepadamu,” balasnya ringan. Ia membuang na
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad