Kakek Nugraha menatap Carlo dengan penuh tanya. "Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia menanyakan tentang Intan?"Carlo menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya. "Entahlah, Kek. Mungkin Tommy sudah sadar dan mulai merasa kehilangan istrinya itu."Tommy yang masih lemah dan dalam pengaruh obat kembali tidur dengan lelap. Malam itu Kakek Nugraha dan Carlo menemani Tommy tidur di rumah sakit. Walaupun Carlo sudah meminta kakeknya untuk pulang, tetapi kakek yang tegas dan sangat menyayangi cucunya itu memilih tetap tinggal di sisi Tommy.Menjelang pagi Tommy kembali bangun, ia meraba kepalanya yang masih diperban. Ia sudah bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi sebelumnya. Ia merasa aneh, karena mobil berwarna putih yang semula diam di tempat parkir tiba-tiba melaju menabrak dirinya. Ia merasa kejadian itu memang sudah direncanakan dengan matang."Kamu sudah bangun?" tanya Carlo yang duduk di kursi dan sudah berpakaian rapi.Tommy melihat di sofa yang berjarak dua meter darinya
Kondisi kesehatan Mama Alex terus mengalami peningkatan. Alex selalu menemani sang mama dengan setia dalam setiap proses pengobatan yang harus dijalani.Pagi itu Alex menyuapi mamanya sebelum berangkat bekerja. Hati seorang mama bisa merasakan bahwa hati Alex sedang terluka. Baru kali ini Mama Alex melihat putranya benar-benar serius pada seorang wanita."Alex, apa kamu baik-baik saja?""Iya, kenapa Mama bertanya seperti itu?" tanya Alex."Mama adalah orang yang melahirkan kamu, Nak. Mama bisa melihat dari wajahmu kalau hatimu masih bersedih. Ada apa, Nak?"Alex menggenggam tangan mamanya dan menciumnya. Ia bersyukur karena saat ini mamanya sudah lebih tenang dan segar. Menurut dokter, Mama Alex juga boleh pulang ke rumah besok."Alex, apa kamu benar-benar mencintai dia?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Mama Alex dan membuat Alex terpaku. Ia terdiam, tetapi sang mama tentu bisa membaca dengan jelas apa yang dirasakan oleh putranya saat ini."Iya, Ma. Aku benar-benar mencintai Int
"Aku sangat bahagia karena orang tuaku sudah menerima kamu dan merestui kita, Sayang,," kata Alex.Intan tersenyum, ia juga merasa bersyukur karena ada harapan baru untuk hubungannya dengan Alex. Alex mengantar Intan kembali ke rumahnya. Ia mengecup kening Intan sebelum wanita yang sangat ia cintai itu turun dari mobil."Terimakasih, Alex. Aku juga bahagia," kata Intan."Aku akan menjemputmu bekerja besok pagi. Sampai jumpa besok. Aku mencintaimu," kata Alex.Intan melambaikan tangan dan melihat mobil Alex berlalu. Ia masuk ke dalam rumahnya dengan senyum menghiasi wajahnya."Kenapa, Mbak? Sepertinya hari ini Mbak sangat bahagia," kata Rudy.Ibu Intan juga menatap Intan dan ingin menanyakan hal yang sama. Sudah sangat lama rasanya ia tidak melihat Intan tersenyum seperti itu.Intan menghempaskan tubuhnya di sofa. "Aku sangat senang, apa kalian tahu? Orang tua Alex sudah merestui hubungan kami.""Wah, itu benar-benar berita yang mengejutkan. Aku pikir Papa Alex orang yang sangat tegu
"Sherin, jaga ucapanmu! Jangan bicara seperti itu pada kekasihku!" kata Alex dengan tegas. Alex memegang tangan Intan dan menariknya sedikit ke belakang tubuhnya. "Mas, itu kenyataan. Aku gak sedang memfitnah tanpa dasar. Aku pikir seleramu pada wanita sangat tinggi, Mas, tapi ternyata wanita seperti ini saja sudah membuat kamu takluk." Sherin tersenyum meremehkan Intan.Beberapa saudara Alex mulai saling berbisik setelah mendengar ucapan Sherin tentang status Caroline yang sudah pernah menikah dan mempunyai anak."Namamu Sherin? Kalau kamu ingin berkenalam denganku, seharusnya kita bisa berbincang dengan lebih sopan dan lebih baik, aku percaya kamu berpendidikan tinggi dan mengerti cara berkomunikasi yang baik," ujar Intan.Intan yang saat ini dikenal sebagai Caroline, tentu bukan wanita yang dahulu mungkin terbiasa menerima hinaan seperti itu. Intan yang sekarang tidak akan membiarkan orang lain merendahkan dirinya dan bisa melindungi dirinya sendiri. Intan merasakan perbedaan yan
Seorang wanita duduk lemas dan bersandar di tempat tidurnya. Tanpa mengucap sepatah kata pun dan bahkan enggan menyalakan lampu.Asisten rumah tangga yang cemas masuk ke dalam kamar itu dan menyalakan lampunya. "Non Silvy, ada yang perlu bibi bantu? Apa Nona mau bercerita sama bibi? Apa yang membuat Nona sedih?"Silvy hanya diam, tatapan matanya kosong. Bibi yang sudah bekerja di rumah Silvy selama belasan tahun mendekat dan duduk di hadapan Silvy. Bibi membelai rambut sang nona dan kembali berusaha mengajaknya bicara."Nona mau makan apa? Bibi ambilkan makanan, ya?" Melihat Silvy tetap diam membisu, asisten rumah tangga itu semakin cemas. Silvy kemarin pulang ke rumah itu dalam keadaan yang menyedihkan. Ia yang biasanya rapi dan selalu berdandan cantik tiba-tiba muncul setelah cukup lama tidak pulang ke rumah. Wajahnya kusut, rambut dan pakaiannya lusuh. Tidak ada yang Silvy mau lakukan selain duduk diam dan menangis. Silvy tidak mau berbicara dengan siapa saja. Bibi keluar dari
Tommy sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan sang mama mertua. Ia justru menunggu saat seperti itu agar dapat menjelaskan semua yang terjadi.Carlo yang berdiri di dekat Tommy bersiaga memegang ponselnya. Ia harus bersiap jika ada kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Secepatnya Carlo akan menelepon anak buahnya yang berjaga di depan pintu kamar itu."Silakan duduk, Ma," kata Tommy. "Ah, Mama datang kemari bukan untuk duduk santai atau menjenguk kamu. Mama datang untuk meminta pertanggungjawaban kamu, Tom!""Tenang dulu, Ma! Ada banyak hal yang harus saya jelaskan."Mama Silvy duduk di kursi di samping tempat tidur Tommy. Ia menyilangkan kakinya dan menatap Tommy dengan tajam."Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kalau kamu ada di sini, sepatutnya Silvy harus ada di sini, bukan? Kenapa Silvy malah pulang ke rumahnya dan enggan bicara dengan siapapun?""Saya akan segera menceraikan Silvy," jawab Tommy dengan yakin."Apa?! Apa Mama gak salah mendengar? Kamu mau mencer
Pratiwi pulang kembali ke rumah Silvy dan melihat kondisi putrinya itu kian memburuk. Silvy terbaring lemah di tempat tidurnya dengan mata terpejam. "Nak, mama harus pulang besok. Kamu harus sembuh dan sehat di sini. Sekalipun mungkin pernikahanmu dengan Tommy gak bisa diselamatkan, kamu gak boleh hancur seperti ini." Lirih Pratiwi. Silvy tetap bergeming, hanya air mata yang mengalir di sudut matanya yang tetap tertutup rapat. Pratiwi meninggalkan kamar itu dan menutup pintunya dari luar dengan hati-hati. Di luar asisten rumah tangga yang paling senior sudah menunggu sangat nyonya. "Bi, saya harus kembali ke luar negeri besok. Ada suami dan anak-anak yang menunggu saya di sana. Tolong temani dan jaga Silvy!" kata Pratiwi. "Nyonya, kondisi Nona Silvy belum stabil, bahkan sepertinya semakin memburuk. Bagaimana kalau kita membawa dia ke rumah sakit? Setidaknya mungkin ada obat dan cairan infus yang bisa masuk ke tubuhnya. Saya takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Nona. Jangan sam
Siang itu Rudy masuk ke ruangan Intan dengan terburu-buru. "Mbak, ada berita besar yang beredar di kalangan pengusaha di kota ini.""Ada apa, Rud?" tanya Intan. Intan memang jarang memantau perkembangan yang terjadi di kalangan pengusaha atau tentang dunia bisnis. Ia menyerahkan dan mempercayakan semua itu pada Rudy. "Kakek Nugraha kritis dan kondisinya semakin melemah. Saat ini ia ada di rumah sakit dan sepertinya akan segera dibawa ke Singapura," jawab Rudy. "Apa?! Kakek?" Intan sangat terkejut, ia menggigit bibirnya dan merasa sangat gelisah. "Kakek Nugraha memang sudah lama mengalami komplikasi penyakit. Mungkin beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini memang sangat menyita pikiran dan tenaganya. Tommy yang mengalami kecelakaan, lalu bercerai, tertangkapnya pelaku perencanaan pembunuhan Tommy, semuanya pasti membuat kakek merasa gak tenang."Intan berdiri dan memijit pelipisnya, tak bisa dipungkiri rasa rindu dan sayang untuk Kakek Nugraha masih ada di lubuk hatinya. I
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r