Sementara di rumah Amran masih diam dan berjalan perlahan ke ruang depan, beberapa kali dirinya menatap keluar namun urung untuk melangkah maju."Ayo!" Sari menarik tangan Amran ke depan, dan kini lelaki itu berdiri di depan Sri dan Satria."Selamat siang." Ucapan Amran terdengar lirih.Sri dan Satria menatap Amran dengan wajah dingin, bahkan dari pandangan pertama mereka bisa tau seperti apa Amran itu. beberapa kali Amran menggaruk sendiri tengkukny yang tak gatal, membuat Satria melihat ada yang tak benar daru cara lelaki ini bersikap."Selamat siang, perkenalkan saya Iyan dan inu istri saya Meilin." Satria berdiri memperkenalkan diri."Saya Amran." Ucap Amran dengan wajah gugupnya, dia selalu gemetar setiap kali bertemu orang yang sangat kaya raya."Kamu siapa?" Tanya Sri saat melihat Amran berdiri di hadapannya, dia bukan tak mendengar saat Amran memperkenalkan diri, namun sepertinya dia ingin mendengar lagi lelaki itu bicara."Amran, saya Amran.""Dia lelaki di foto itu." Ucao Yu
"Katakan siapa yang kau pilih!" Suara Aini bergema di ruang kosong yang hanya terisi dirinya dan Wanita cantik dengan rambut tergerai."Apa maksudnya?""Mas Arka atau bayimu!" Ucap Aini lagi, senyumnya memancarkan rasa tak terima dengan keadaan yang ada."Apa maksudnya mas Arka atau bayi kami?"prak! Tamparan kerasa terdengar, Lusi tersungkur dengan wajah merah. Aini mendekat dengan wajah kesal, matanya nyalang menatap jijik pada wanita di hadapannya itu."Jangan kira aku akan membiarkan kamu menjadi benalu falam kehidupanku dan mas Arka, jika bayi itu lahir maka ku pastikan kau pun harus merelakannya pergi."Lusi mendekap perutnya yang belum terlalu besar, dia menatap lekat wajah Aini seolah meminta penggampunan, berulang kali tubuhnya mendapat siksaan, namun bukan itu yang dia takutkan, baginya keselamatan bayinya lebib pernting sekarang."Aku akan pergi dari hidup kalian." Ucapnya lirih, meski kalimat itu bagai cemeti mencambuk hatinya yang terkoyak lara, Lusi lebih ikhlad melepask
Lusi tak pernah pulang, wanita bernama asli Yayuk itu nampaknya menikmati kehidupan barunya menjadi wanita panggilan. Bukankah begitu caranya menjalani hidup selama ini, dia menerim tawaran menjadi Lusi hanya karena nama itu mungkin bisa merubah hidupnya yang kelam."Kau akan kembali ke kantor?" Lusi palsu baru saja selesai melayani tamu, dia bertanya pada lelaki yang baru saja melalui malam panjang dengannya di hotel melati dekat tempatnya bekerja."Ya, aku harus kembali ke proyek, katakan, apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?""Tentu saja, kapanpun kamu mau." Ucap Lusi lagi dan kini mendaratkan ciuman di bibir lelaki itu."Kau selalu bisa membuat aku suka Lusia." Ucap Lelaki itu dengan wajah puasnya"Benarkah, jika begitu beri aku bonus tuan Rio."Lelaki itu tertawa dan memberikan Lusi beberapa lembar uang. "Bonusmu!" Ucapnya lalu kembali memakai baju yang belum semia terkancing rapi."Terimakasih tuan!" Ucap Lusi dan berjalan sempoyongan ke luar kamar.Setelahnya menerima bayaran
Hari ini Sri bangun dengan terkejut, kabar Aini kabur dari rumah sakit membuat dirinya merasa cemas sekarang, bahkan sejak beberapa hari lalu dia tak membiarkan Mutia sendirian, meski Aini tak tau dimana rumah mereka, Sri tau wanita itu bisa saja melakukan hal buruk.s"Jadi bagaimana, apakah Aini sudah di temukan?" Tanya Sri cemas, dia tak tau bagaimana harus bersikap sekarang."Belum, sejauh inu kami masih teruss berusaha mencari. Tapi wanita ini sangat licik nyonya, kita semua tau Aini adalah wanita yang benar-benar penuh siasat."Sei meremas kesal tangannya sendiri. "Harusnya aku tak membiarkan wanita seperti ini hidup!" Ucapnya menyesalu mengapa tak dia selesaikan saja hidup Aini sejak awal, kebaikannya ternyata mungkin membawanya pada masalah lagi."Kita akan segera menemukan wanita ini nyonya, saya berjanji." Arman memberi hormat, lalu keluar ruangan Sri setelah merasa tak ada lagi yang akan dia sampaikan.Sri berjalan gusar masuk kembali ke kamar Mutia, gadis itu duduk di dekat
Fandi memarkirkan mobilnya di halaman rumah Haryati, setelahnya dia keluar bersama Aini yang terlihat sangat berantakan. Rumah itu kosong setelah kepergian Haryati, jadilah Fandi memutuskan kembali saja kerumah itu. Halaman rumah nampak sangat kotor, bahkan beberspa ranting pohon jatuh berserakan, entah sejak berapa lama Fandi tak datang ke rumah orang tuanya."Apa tak ada orang?" Tanya Aini, dia juga memperhatikan lampu rumah yang tak menyala meski hari mulai gelap."Tak ada, rumah ini kosong sekarang.""Kosong? kemana ibumu?""Meninggal."Aini menutuo mulutnya sendiri karena terkejut " Bagaimana bisa, dia sakit?""Nanti saja ceritanya, kamu mau mandi dulu?" Tanya Fandi pada Aini, dia melihat wanita itu tak lagi menarik sekarang."Ya, apa ada baju ganti?""Akan aku carikan, mungkin ada baju Fani di rumah ini." Ucap Fandi, dia yakin Fanu meninggalkan beberspa bajunya di sini, sejsk dulu adikny selalu malad membawa banyak baju saat ke rumah ibunya, jadi memilih meninggalkan beberapa ba
Arman datang setengah berlari, informasi yang dia dapatkan sudah di tunggu Sri sejak lama, harusnya dia mendapatkan informasi itu beberaoa waktu lalu, namun entah kenao itu semua bisa luput dari dirinya."Dimana nyonya?" Tanya Arman saat melihat ruang kerja Sri kosong."Di kamar Mutia, ada apa tuan Arman?" Yunita bertanya dengan terkejut, pembantu rumah itu juga dekat dengab keluar Sri."Aku ada informasi penting, aku ke atas dulu." Ucap Amran tal ingin memberi tau orang lain lebih dulu.Dengan tak sabar Arman mengetuk pintu kamar Mutia dan tak berapa lama kemudian Sri keluar perlahan."Ada apa man, kenapa begitu cemas?"*Ada kabar nyony, tentang wanita bernama Lusi."Sri tersenyum kecut. "Lusi yang mana, ada dua Luso sekarang." Arman menunduk, dia tau Sri sedang menyindir informasi yang dia berikan sebelum nya. "Maaf nyonya, tapi kali ini saya yakin ini benar."Sri kembali melihat ke arah Mutia, gadis itu masih sibuk dengan kanvas lukisnya."Sayang, mama harus ke ruang keej sebenta
Hari ini Fani menemui suaminya, dia ingin bercerita tentang apa yang sudah dia dapatkan. Menanti di ruang tunggu, Danu datang dengan baju tahanan dan tangan terborgol ke depan."Kau datang?" Danu bicara dengan dingin, lama Fani tak menemui suaminya itu, bahkan beberapa kali jadwal telepon dari Danu tak pernah dia terima."Halo mas, kenapa dingin begitu?" Fani tersenyum, tak merasa bersalah pada Danu."Kenapa? kau kira aku marah karena apa?"Fani Merasa Danu sedang menyindirnya."Aku minta maaf mas, tapi aku juga berjuang sendiri agar bisa hidup. Salah siapa kamu di penjara." Fani mulai merajuk juga."Ya, semua memang salahku, bahkan aku mencuri untukmu juga jadi salahku sendiri!" Ucap Danu kesal.Fani tersenyum mendengar raju777y77y766766y6666y6yyy666y6666yy6yy6y6y6yyyyyyyyyyyyy6y6y6y66yy6yyyt6yy66yyy7y6y666y6y666y6666yyy66g66666tt6tyttt666tyyg6ty6t6tggyyyhgkan suaminy, dia lalu mendekat ke arah kaca dan berbisik pada Danu. "Jangan marah, aku punya sesuatu untukmu." Ucapnya dengan sen
Berjalan gontai setelah menyadari hasil menipunya ternyata juga di tipu orang, sudah terbayang dia akan hidup enak, nyatanya investasi yang dia impikan hanyalah tipuan."Bagaimana sekarang!" Fani lemas tak berdaya, dia duduk bersandar pada akar pohon beringin di taman tepi jalan.Menyaksikan orang lalu lalang dengan santai nya seolah tak memiliki beban seberat dirinya sekarang."Kemana lagi aku harus mencari orang itu!" Ucap Fani kesal, dia ingin sekali meluapkan amarahnya, tapu pada siapa, bahkan dirinya sendiri sekarang adalah penipu juga."Kenapa mereka tak ada otak!" Ucapnya kesal sekali.Fani merenungi apa yang terjadi, perhiasan dan uang yang ia dapat dari rumah Fandi sudah hanbis dia jual, bahkan uang Kila juga ikut masuk ke dalamnya, tapi tak ada satupun yang berhasil dia dapat sekarang. Beberapa lembar uang masih ada di saku celana, tapi bagaimana dia akan menjalani hari-hari setelah ini."Apa aku pulang saja ke rumah ibu?" Terbersit dalam pikiran dia akan kembali ke rumah ib
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil