Owen menggelengkan kepalanya dan menjawab dengan tidak fokus. Saat ini, hatinya hanya memikirkan Theresa. Dia sedang memikirkan bagaimana dia akan memberi penjelasan kepada Theresa nanti."Bagus kalau bukan," sahut Marisa dengan lega sambil menyunggingkan senyuman di wajahnya.Marisa bisa merasakan bahwa meskipun Theresa masih bukan pacar Owen, nada bicara Owen terdengar seperti menyukai Theresa. Namun, bagi Marisa itu bukan masalah yang besar. Hubungan dia dan Owen begitu kuat, mungkin saja Owen juga menyukai dirinya di lubuk hati terdalam. Selama Theresa bukan pacar Owen, maka Marisa masih punya kesempatan.Apalagi, Marisa telah mengenal Owen lebih awal daripada Theresa selama tujuh atau delapan tahun. Mereka bisa dianggap teman yang memiliki hubungan yang spesial, jadi dia tidak mungkin kalah dari Theresa!"Marisa, apa yang kamu katakan barusan? Aku nggak dengar," tanya Owen yang kembali merespons."Nggak apa-apa," jawab Marisa sambil menggigit bibirnya. Saat teringat dengan nasiha
Rachel memelototkan matanya dengan kesal kepada Owen."Kalau begitu, gimana? Rachel, kamu harus membantuku." Raut wajah Owen seketika menjadi sedih dan dia langsung melihat Rachel dengan tatapan yang memohon."Kamu datang dengan tangan kosong, nggak ada sedikit pun ketulusan yang kamu tunjukkan. Gimana aku membantumu?" ucap Rachel dengan nada kesal."Ketulusan apa?" Owen tertegun dan tidak mengerti maksud perkataan Rachel."Menurutmu? Benar-benar bodoh sekali!" pungkas Rachel sambil memutarkan matanya.Rachel melambaikan tangannya yang mengisyaratkan Owen untuk mendekat. Lalu, dia berbisik, "Pria Bodoh, kalau kamu mau Kak Theresa nggak marah lagi, setidaknya kamu harus menyiapkan bunga segar ataupun hadiah untuk menghiburnya. Kalau nggak, apa gunanya kalau dia membukakan pintu untukmu? Apa kamu mau menggunakan kemampuan bicaramu untuk membuatnya nggak marah lagi?""Ini …." Owen seolah-olah mendapat pukulan keras di kepalanya dan seketika sadar."Rachel, aku mengerti sekarang. Terima ka
Theresa berdiri dan pergi ke arah pintu, lalu membuka pintu yang terkunci.Klek!Saat pintu terbuka, Theresa merasa terkejut karena seikat bunga mawar merah segar mendadak muncul di hadapannya. Selanjutnya, sebelum dia sempat merespons apa yang sedang terjadi, Owen sudah menyelinap masuk dan langsung menutup pintu kamarnya."Owen, untuk … apa kamu masuk kemari?" Wajah Theresa yang cantik seketika menjadi dingin. Dia segera menyadari bahwa dia kemungkinan sudah ditipu oleh Owen dan Rachel."Theresa, bunga segar untuk wanita yang cantik. Bunga mawar ini untukmu, semoga kamu suka, ya," ucap Owen sambil tersenyum, lalu menyodorkan bunga di tangannya."Memangnya aku bilang aku mau?" kata Theresa dengan munafik. Dia langsung memalingkan wajahnya dan tidak menggubris Owen lagi.Owen bergegas menceritakan kejadian itu dengan sederhana dan menjelaskan, "Theresa, aku tahu kamu sedang emosi. Dengarkan penjelasanku, aku dan Marisa nggak ada hubungan apa pun. Kami benar-benar nggak ada apa-apa. Saa
Pada akhirnya, perjuangannya melemah dan Theresa jatuh lemas dalam pelukan Owen.Setelah berlalu begitu lama, wajah Theresa menjadi sangat memerah dan terlihat terengah-engah. Pada saat ini, Owen baru dengan enggan melepaskan bibir Theresa yang memikat itu dan mengakhiri ciuman yang bergairah itu."Berengsek! Ini adalah ciuman pertamaku, kamu malah merebutnya begitu saja," ucap Theresa dengan wajah yang memerah. Dia lalu mengangkat kepalan tangannya dan menumbuk dada Owen beberapa kali, tetapi dia tidak menggunakan tenaga yang besar."Ciuman pertama? Seharusnya bukan, 'kan? Ciuman pertamamu sejak awal sudah menjadi milikku," pungkas Owen dengan ekspresi aneh. Dia sontak teringat kejadian saat dia diam-diam mencium Theresa terakhir kali itu."Kamu asal bicara! Sejak kapan kamu merebut ciuman pertamaku? Apa mungkin kamu pernah melakukan hal yang nggak senonoh kepadaku?" tanya Theresa dengan keheranan.Sebodoh apa pun Owen, dia juga tidak akan mengakui hal itu. Jadi, dia pun bergegas menj
Kebahagiaan datang terlalu tiba-tiba. Owen tidak menyangka Theresa benar-benar menyetujui pernyataan cinta darinya. Bisa dibayangkan betapa bahagianya Owen dalam hatinya saat ini!Dalam sekejap, Owen tidak bisa mengendalikan kebahagiaan dalam hatinya. Dia menunduk dan ingin mencium bibir Theresa yang memesona itu lagi. Untung saja, kali ini Theresa bereaksi lebih cepat. Dia bergegas mengangkat tangannya yang indah untuk menahan bibir Owen."Biarkan aku selesaikan perkataanku dulu. Aku bisa menyetujuimu, tapi Kakek dan ayahku mungkin nggak akan setuju. Jadi, aku harap kelak kamu harus lebih berusaha untuk mendapat pengakuan dari Kakek dan yang lainnya," omel Theresa dengan wajah yang kesal dan merasa sedikit cemas dalam hatinya.Sebenarnya, sejak dulu Theresa sudah menyukai Owen. Namun, karena perbedaan status mereka berdua yang terlalu jauh, dia menjadi tidak berani menghadapi perasaan itu. Bagaimanapun juga, Owen hanya anak yatim piatu yang tidak punya latar belakang apa pun dan juga
"Selain itu, Osum juga pria yang normal. Gimana mungkin dia bisa menahan diri ketika pria dan wanita hanya berduaan dalam sebuah ruangan? Oh, nggak, aku nggak bisa memanggilnya Osum lagi. Mulai sekarang, aku seharusnya memanggil dia 'Kakak Ipar'," kata Rachel.Saat berbicara, Rachel mengedipkan matanya kepada Owen dan berkata sambil tersenyum, "Kakak Ipar, benar nggak yang aku bilang?""Ya, sangat masuk akal," jawab Owen yang bergegas mengangguk. Dia merasa senang dengan panggilan "Kakak Ipar" dari Rachel. Namun, dia sontak berpikir dan menyadari ada yang tidak beres. Bukankah sekarang dia telah mengakui bahwa dia tidak bisa menahan diri secara tidak langsung?"Kalian …." Theresa memelototi Owen dengan kesal. Dia merasa sangat malu dan berharap mencari tempat untuk bersembunyi."Sudah, Kak Theresa, Kak Owen, aku ada urusan serius mencari kalian berdua. Hari ini kita belum mulai berkultivasi, jadi lebih baik kita cepat berkultivasi," ucap Rachel dengan tidak sabaran. Akhirnya, dia pun m
Alden sangat murka, lalu dia mengangkat tangannya dan hendak menampar Lucy beberapa kali lagi."Ayah, hentikan …." Pada saat ini, suara yang lemah terdengar dari tempat tidur sehingga mengembalikan akal sehat Alden."Fredi, kamu sudah sadar? Bagaimana keadaanmu sekarang?" Alden menahan amarah dalam hatinya, lalu bergegas berjalan ke samping tempat tidur."Aku …." Fredi membuka mulutnya, lalu ekspresinya menjadi sangat putus asa saat teringat dengan kejadian ketika dirinya dilumpuhkan oleh Owen."Fredi, aku tahu kamu sangat sedih sekarang. Kamu tenang saja. Sekalipun menghabiskan seluruh kekayaan keluarga kita, aku juga akan membuat Owen sengsara dan membalaskan dendammu," ucap Alden dengan emosi dan langsung memukul meja."Ayah, jangan," kata Fredi yang tampak sangat terkejut dan ketakutan. Wajahnya seketika menjadi pucat. Jika bukan karena dirinya menderita cedera parah, dia mungkin akan langsung melompat dari tempat tidur."Fredi, ada apa denganmu?" tanya Alden dengan kebingungan."A
"Ayah, setelah kejadian ini terjadi, aku menjadi lebih mengerti. Kekuatan yang kecil nggak akan bisa mengalahkan kekuatan besar. Kita harus segera berhenti. Aku nggak mau mengorbankan anggota keluarga yang lain karena kesalahanku sendiri," pungkas Fredi.Fredi menghela napas, lalu berkata dengan ekspresi yang tenang, "Ditambah lagi, kali ini Owen sudah menyinggung putra dari Raja Utaram, Tuan Calvin dan tuan muda dari Keluarga Warren. Tuan Calvin dan Tuan Ricardo pasti nggak akan melepaskannya dengan begitu mudah. Kita jangan mencari masalah sendiri lagi."Setelah berhasil selamat dari ambang kematian, pemikiran Fredi sudah menjadi lebih dewasa. Owen memang sudah membuatnya menjadi cacat, tetapi setidaknya dia masih bisa tetap hidup. Fredi memang tidak bisa menjadi pria sejati lagi untuk sisa hidupnya, tetapi dengan kekuasaan dan kekayaan Keluarga Leonard, setidaknya dia masih bisa hidup dalam kemewahan dan kekayaan.Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa lebih baik hidup daripada ma